R20 untuk Kemanusiaan dan Peradaban
loading...
A
A
A
Imam Taufiq
Rektor UIN Walisongo Semarang
SATU di antara visi utama agama adalah menebarkan kasih-sayang (rahmat) dan damai (silm). Bahkan secara telologis, semua agama menyerukan pada kasih-sayang dan menawarkan jalan kebahagiaan, bukan sebaliknya untuk menakut-nakuti dan meneror mereka.
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, goal dari rahmat yang sejati adalah menyampaikan kebaikan kepada orang lain, meskipun di saat yang sama kebaikan tersebut dibenci olehnya. Dengan demikian, Islam dan setiap agama datang untuk mengatur kehidupan manusia agar menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan dan non-diskriminasi demi membangun peradaban kemanusiaan.
Peradaban kemanusiaan hari ini berada dalam pencapaian yang luar biasa khususnya dalam bidang teknologi. Teknologi tidak hanya mentransformasikan cakrawala baru dalam kehidupan manusia dengan menembus batas-batas negara sehingga membantu manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Namun, di waktu yang bersamaan kehadiran teknologi juga memunculkan persoalan baru dan tidak jarang justru menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kehadiran teknologi faktanya malah mempermudah manusia untuk semakin serakah dalam mengekploitasi alam dan memperbudak kemanusiaan yang pada gilirannya justru menyulut peperangan.
R20: Tema, Konteks dan Signifikansi
Mencuatnya sejumlah problematika global dalam bidang politik dan ekonomi termasuk pandemi Covid-19 menggugah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas keagamaan terbesar di dunia untuk turut serta andil dalam menegaskan peran penting agama bagi kemanusiaan dan pembangunan peradaban.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) berpendapat bahwa agama bisa menjadi solusi bagi persoalan global, jika agama mampu mendorong nilai-nilai moral dan spiritualnya untuk diresapkan ke dalam struktur politik dan ekonomi global sehingga akan mengarah kepada peradaban manusia yang diharapkan.
Hal inilah yang mendasari PBNU menggagas adanya forum Religion of Twenty (R20) yang dilaksanakan pada 2 sampai 3 November di Bali dengan menggandeng Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) atau Rabithah al-‘Alam al-Islami sebagai mitra resmi. Forum R20 ini juga menjadi salah satu rangkaian dari Presidensi G20 Indonesia atau The Group of Twenty (G20) di mana Indonesia menjadi tuan rumah.
Tema yang diangkat dalam forum Religion of Twenty (R20) ini adalah “Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solutions: A Global Movement for Shared Moral and Spiritual Values”. Tema ini sangat menarik karena menuntut peran serta agama sebagai sumber inspirasi dan sekaligus solusi bagi persoalan global melalui nilai-nilai moral dan spiritual.
Hadirnya agama dalam memecahkan persoalan global merupakan ikhtiar sekaligus spirit dari momentum kebangkitan kedua (al-nahdah al-saniyyah) bagi Nahdlatul Ulama yang akan merayakan 1 abad kelahirannya pada tahun ini.
Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU bahkan memastikan penyelenggaraan R20 ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi karena didesain berbeda dari forum dialog antaragama sebelumnya.
Pada fase sebelumnya dialog antaragama hanya berkutat pada diplomasi antartokoh agama saja sehingga tidak memberikan efek nyata terhadap kehidupan beragama di dunia. R20 akan menjadi sejarah dimulainya satu platform diskusi antarpemimpin agama yang lebih jujur dan lebih langsung menyasar masalah-masalah nyata yang ada.
Nilai signifikan lainnya adalah bahwa R20 ini juga akan mencari solusi dari ketidakjujuran agama yang seringkali malah menjerumuskan pada politik identitas dan mengandung banyak masalah di dalamnya. Sehingga R20 diharapkan dapat melahirkan sebuah konsensus yang akan disepakati bersama oleh para pimpinan dan tokoh agama, kemudian konsensus tersebut secara bersama-sama akan dijadikan sebagai gerakan global oleh masing-masing tokoh agama dan pada akhirnya akan menjadi gerakan agama yang berkelanjutan (sustainable religious movement).
Agama untuk Kemanusiaan dan Peradaban
R20 merupakan ruang perjumpaan kemanusiaan dan peradaban, bukan hanya tokoh agama. Hal ini sangat signifikan karena beberapa hal. Pertama, dialog lintas iman (interfaith dialogue) untuk menegaskan bahwa identitas agama sebagai titik kumpul (assembly point) di tengah krisis sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan. Meski identitas memiliki fungsi untuk membentuk karakteristik yang membedakan antara satu dengan yang lain (others) yang berpotensi memicu konflik, akan tetapi agama juga bisa menjadi identitas pemersatu sebagai sesama insan beriman berbasis nilai keilahian dan kemanusiaan.
Di sinilah peran agama, pemimpin dan pemeluknya diuji, sejauh mana agama hadir berkontribusi di luar urusan rumah tangganya untuk membangun solidaritas dan tanggung jawab bersama. Sebagai masyarakat global (global citizenship), pemeluk agama perlu mendefinisikan konsep keimanan global (global faith): iman yang meyakini tentang Keesaan Tuhan, keadaban dan kemanusiaan yang berkontribusi pada peradaban, untuk mewujudkan persaudaraan berbasis peradaban (ukhuwwah hadariyyah).
Kedua, aksi bersama (collective action), R20 bisa menjadi ruang untuk konsolidasi antar pemimpin agama untuk menyusun kesepahaman lintas iman dan strategi implementasinya.
Selain deklarasi, upaya implementasinya secara bertahap dan berkelanjutan perlu diinsiasi. Draf peta jalan dialog antariman global akan memberi kontributisi bagi terwujudnya The World Religious Forum.
Langkah yang dilakukan pemerintah, Kementerian Agama dan Nahdhatul Ulama dibawah koordinasi Gus Yahya patut diapreasi. Partisipasi dari tokoh agama, akademisi, dan pihak terkait akan menyukseskan tujuan utama dari acara ini sebagai gerakan internasional untuk mewujudkan dua hal: konsep moral bersama (shared moral) dan nilai spiritual.. Kedua hal tersebut menjadi sistem kultural global yang perlu didiskusikan bersama untuk melandasi aksi bersama.
Dalam konteks agama Islam, aksi bersama tersebut bisa dilakukan dengan melakukan pembacaan ulang (ijtihad), dari persoalan teologis ke persoalan kemanusiaan dan peradaban. Teks kegamaan perlu menjadi rujukan dengan diselaraskan dengan konteks, keterpaduan antara tradisionalitas dan modernitas. Formulasi hukum perlu dipahami dengan pendekatan Maqasid Syar'ah dan Fiqh al-waqi''. Diskursus studi Islam diintegrasikan dengan pendekatan sains, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, agama hadir dalam realitas kontekstual sebagai agen perubahan sosial, yang membumikan nilai kemanusiaan untuk peradaban.
Rektor UIN Walisongo Semarang
SATU di antara visi utama agama adalah menebarkan kasih-sayang (rahmat) dan damai (silm). Bahkan secara telologis, semua agama menyerukan pada kasih-sayang dan menawarkan jalan kebahagiaan, bukan sebaliknya untuk menakut-nakuti dan meneror mereka.
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, goal dari rahmat yang sejati adalah menyampaikan kebaikan kepada orang lain, meskipun di saat yang sama kebaikan tersebut dibenci olehnya. Dengan demikian, Islam dan setiap agama datang untuk mengatur kehidupan manusia agar menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan dan non-diskriminasi demi membangun peradaban kemanusiaan.
Peradaban kemanusiaan hari ini berada dalam pencapaian yang luar biasa khususnya dalam bidang teknologi. Teknologi tidak hanya mentransformasikan cakrawala baru dalam kehidupan manusia dengan menembus batas-batas negara sehingga membantu manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Namun, di waktu yang bersamaan kehadiran teknologi juga memunculkan persoalan baru dan tidak jarang justru menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kehadiran teknologi faktanya malah mempermudah manusia untuk semakin serakah dalam mengekploitasi alam dan memperbudak kemanusiaan yang pada gilirannya justru menyulut peperangan.
R20: Tema, Konteks dan Signifikansi
Mencuatnya sejumlah problematika global dalam bidang politik dan ekonomi termasuk pandemi Covid-19 menggugah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas keagamaan terbesar di dunia untuk turut serta andil dalam menegaskan peran penting agama bagi kemanusiaan dan pembangunan peradaban.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) berpendapat bahwa agama bisa menjadi solusi bagi persoalan global, jika agama mampu mendorong nilai-nilai moral dan spiritualnya untuk diresapkan ke dalam struktur politik dan ekonomi global sehingga akan mengarah kepada peradaban manusia yang diharapkan.
Hal inilah yang mendasari PBNU menggagas adanya forum Religion of Twenty (R20) yang dilaksanakan pada 2 sampai 3 November di Bali dengan menggandeng Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) atau Rabithah al-‘Alam al-Islami sebagai mitra resmi. Forum R20 ini juga menjadi salah satu rangkaian dari Presidensi G20 Indonesia atau The Group of Twenty (G20) di mana Indonesia menjadi tuan rumah.
Tema yang diangkat dalam forum Religion of Twenty (R20) ini adalah “Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solutions: A Global Movement for Shared Moral and Spiritual Values”. Tema ini sangat menarik karena menuntut peran serta agama sebagai sumber inspirasi dan sekaligus solusi bagi persoalan global melalui nilai-nilai moral dan spiritual.
Hadirnya agama dalam memecahkan persoalan global merupakan ikhtiar sekaligus spirit dari momentum kebangkitan kedua (al-nahdah al-saniyyah) bagi Nahdlatul Ulama yang akan merayakan 1 abad kelahirannya pada tahun ini.
Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU bahkan memastikan penyelenggaraan R20 ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi karena didesain berbeda dari forum dialog antaragama sebelumnya.
Pada fase sebelumnya dialog antaragama hanya berkutat pada diplomasi antartokoh agama saja sehingga tidak memberikan efek nyata terhadap kehidupan beragama di dunia. R20 akan menjadi sejarah dimulainya satu platform diskusi antarpemimpin agama yang lebih jujur dan lebih langsung menyasar masalah-masalah nyata yang ada.
Nilai signifikan lainnya adalah bahwa R20 ini juga akan mencari solusi dari ketidakjujuran agama yang seringkali malah menjerumuskan pada politik identitas dan mengandung banyak masalah di dalamnya. Sehingga R20 diharapkan dapat melahirkan sebuah konsensus yang akan disepakati bersama oleh para pimpinan dan tokoh agama, kemudian konsensus tersebut secara bersama-sama akan dijadikan sebagai gerakan global oleh masing-masing tokoh agama dan pada akhirnya akan menjadi gerakan agama yang berkelanjutan (sustainable religious movement).
Agama untuk Kemanusiaan dan Peradaban
R20 merupakan ruang perjumpaan kemanusiaan dan peradaban, bukan hanya tokoh agama. Hal ini sangat signifikan karena beberapa hal. Pertama, dialog lintas iman (interfaith dialogue) untuk menegaskan bahwa identitas agama sebagai titik kumpul (assembly point) di tengah krisis sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan. Meski identitas memiliki fungsi untuk membentuk karakteristik yang membedakan antara satu dengan yang lain (others) yang berpotensi memicu konflik, akan tetapi agama juga bisa menjadi identitas pemersatu sebagai sesama insan beriman berbasis nilai keilahian dan kemanusiaan.
Di sinilah peran agama, pemimpin dan pemeluknya diuji, sejauh mana agama hadir berkontribusi di luar urusan rumah tangganya untuk membangun solidaritas dan tanggung jawab bersama. Sebagai masyarakat global (global citizenship), pemeluk agama perlu mendefinisikan konsep keimanan global (global faith): iman yang meyakini tentang Keesaan Tuhan, keadaban dan kemanusiaan yang berkontribusi pada peradaban, untuk mewujudkan persaudaraan berbasis peradaban (ukhuwwah hadariyyah).
Kedua, aksi bersama (collective action), R20 bisa menjadi ruang untuk konsolidasi antar pemimpin agama untuk menyusun kesepahaman lintas iman dan strategi implementasinya.
Selain deklarasi, upaya implementasinya secara bertahap dan berkelanjutan perlu diinsiasi. Draf peta jalan dialog antariman global akan memberi kontributisi bagi terwujudnya The World Religious Forum.
Langkah yang dilakukan pemerintah, Kementerian Agama dan Nahdhatul Ulama dibawah koordinasi Gus Yahya patut diapreasi. Partisipasi dari tokoh agama, akademisi, dan pihak terkait akan menyukseskan tujuan utama dari acara ini sebagai gerakan internasional untuk mewujudkan dua hal: konsep moral bersama (shared moral) dan nilai spiritual.. Kedua hal tersebut menjadi sistem kultural global yang perlu didiskusikan bersama untuk melandasi aksi bersama.
Dalam konteks agama Islam, aksi bersama tersebut bisa dilakukan dengan melakukan pembacaan ulang (ijtihad), dari persoalan teologis ke persoalan kemanusiaan dan peradaban. Teks kegamaan perlu menjadi rujukan dengan diselaraskan dengan konteks, keterpaduan antara tradisionalitas dan modernitas. Formulasi hukum perlu dipahami dengan pendekatan Maqasid Syar'ah dan Fiqh al-waqi''. Diskursus studi Islam diintegrasikan dengan pendekatan sains, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, agama hadir dalam realitas kontekstual sebagai agen perubahan sosial, yang membumikan nilai kemanusiaan untuk peradaban.
(bmm)