Pemolisian New Normal
loading...
A
A
A
Oleh Dadang Sudiadi
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
New normal itu tidak normal karena kita melakukan berbagai kegiatan dalam koridor penerapan protokol Covid-19. Namun kenyataannya warga masyarakat justru menganggap new normal adalah normal sehingga malah tidak menerapkan protokol tersebut. Di sinilah tantangannya karena kita tahu bahwa selama pandemi Covid-19 pengawasan penerapan protokol Covid-19 selain diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan instansi terkait lainnya selain juga dibebankan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Tugas tersebut dilaksanakan secara relatif baik oleh Polri, walaupun banyak hal yang menyebabkan pelaksanaannya tidak berjalan dengan mulus. Sebelum protokol Covid-19, dalam kondisi normal, terkait kejahatan dan ketertiban masyarakat Polri memilki tugas pokok dan fungsi sebagai penegak hukum, pemelihara ketertiban dan pelayanan kepada masyarakat yang sering disingkat linyomyan atau melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. (Baca: Kalung Eucalyptus Disebut Antivirus Covid-19, Ini Tanggapan Pakar Kesehatan)
Dalam konteks linyomyan saja masih banyak kekurangan dan masalah yang dihadapi oleh Polri; mulai dari jumlah dan kualitas personel kepolisian, anggaran, kearifan lokal dan berbagai hal lainnya. Ini ditambah dengan tugas mengawasi penerapan protokol kesehatan untuk pencegahan penularan Covid-19 beserta kejahatan dan pelanggaran hukum yang menyertainya di era new normal ini.
Masalah dan Penanganannya
Penegakan protokol Covid-19 di masa new normal, harus dilaksanakan sebaik-baiknya agar penyebaran virus corona dapat dikendalikan. Protocol Covid-19 seperti keharusan mencuci tangan, menjaga jarak dan menggunakan masker tentunya harus ditaati oleh semua orang termasuk Polri. Selain itu upaya untuk memetakan penyebaran covid dilakukan secara masif melalui rapid test dan dilanjutkan dengan tes PCR.
Dalam hal tes ini reaksi masyarakat beragam. Ada yang yang mendukung dan bersedia untuk melakukan tes, bahkan tes mandiri dengan biaya lumayan mahal. Namun banyak juga yang tidak bersedia karena takut terdeteksi reaktif sehingga yang bersangkutan justru harus melakukan tes lanjutan dan perawatan atau melakukan isolasi mandiri. Umumnya, mereka yang tidak bersedia adalah yang bekerja di sektor non-formal karena mereka sangat tergantung pada penghasilan hari ini untuk dapat hidup hari ini. Oleh karena itu dapat dipahami adanya beberapa penolakan terhadap rencana pelaksanaan rapid test.
Begitu juga ada sekian banyak masalah berkaitan dengan meninggalnya penderita corona yang pemakamannya harus mengikuti protocol Covid-19, sehingga di beberapa tempat dianggap sebagai pengabaian terhadap tatacara perlakuan terhadap mayat yang selama kondisi normal selalu dilakukan. Bahkan ada pula penolakan terhadap para petugas medis yang selama ini menangani pasien corona sampai dengan penolakan pemakaman bagi jenazah penderita korona dan jenazah petugas medis yang meninggal karena menangani pasien corona.
Ini semua, lebih lanjut berakibat pada potensi konflik antarwarga dan antara warga dengan pemerintah khususnya petugas penegak protocol Covid-19; atau bahkan konflik antar pejabat pengelola wilayah atau negara atau dengan sesama pejabat, yang kerap sekali terjadi. Dalam skala yang lebih besar lagi, ini potensial menimbulkan masalah di masyarakat yang tidak semata terkait dengan penyebaran virus corona tetapi juga masalah kejahatan secara umum atau kejahatan yang menyertai pandemi corona ini. (Baca juga: Jubir Covid-19 Ungkap ada 552 Kasus Baru Covid di Jawa Timur)
Kerusuhan di Amerika Serikat (AS) sebagai akibat meninggalnya George Floyd di Minnesota dan seminggu kemudian Brooks di Atlanta, telah memicu kerusuhan yang meluas alih-alih fakta bahwa keduanya -menurut informasi yang ada- adalah pelanggar hukum, kalaupun tidak boleh disebut sebagai penjahat. Mereka berdua tewas di tangan petugas kepolisian di masing-masing negara bagian di AS. Seorang pembicara dalam sebuah webinar, menyatakan bahwa sistem kepolisian yang fragmented di AS-lah yang jadi penyebab police brutality tersebut, -karena tidak ada pedoman yang jelas tentang kontrol terhadap praktik kepolisian di negara bagian di AS. Namun demikian, kerusuhan yang meluas itu secara kriminologis-sosiologis tentunya terkait juga dengan situasi kondisi pandemi Covid-19 di AS dan negara-negara bagiannya.
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
New normal itu tidak normal karena kita melakukan berbagai kegiatan dalam koridor penerapan protokol Covid-19. Namun kenyataannya warga masyarakat justru menganggap new normal adalah normal sehingga malah tidak menerapkan protokol tersebut. Di sinilah tantangannya karena kita tahu bahwa selama pandemi Covid-19 pengawasan penerapan protokol Covid-19 selain diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan instansi terkait lainnya selain juga dibebankan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Tugas tersebut dilaksanakan secara relatif baik oleh Polri, walaupun banyak hal yang menyebabkan pelaksanaannya tidak berjalan dengan mulus. Sebelum protokol Covid-19, dalam kondisi normal, terkait kejahatan dan ketertiban masyarakat Polri memilki tugas pokok dan fungsi sebagai penegak hukum, pemelihara ketertiban dan pelayanan kepada masyarakat yang sering disingkat linyomyan atau melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. (Baca: Kalung Eucalyptus Disebut Antivirus Covid-19, Ini Tanggapan Pakar Kesehatan)
Dalam konteks linyomyan saja masih banyak kekurangan dan masalah yang dihadapi oleh Polri; mulai dari jumlah dan kualitas personel kepolisian, anggaran, kearifan lokal dan berbagai hal lainnya. Ini ditambah dengan tugas mengawasi penerapan protokol kesehatan untuk pencegahan penularan Covid-19 beserta kejahatan dan pelanggaran hukum yang menyertainya di era new normal ini.
Masalah dan Penanganannya
Penegakan protokol Covid-19 di masa new normal, harus dilaksanakan sebaik-baiknya agar penyebaran virus corona dapat dikendalikan. Protocol Covid-19 seperti keharusan mencuci tangan, menjaga jarak dan menggunakan masker tentunya harus ditaati oleh semua orang termasuk Polri. Selain itu upaya untuk memetakan penyebaran covid dilakukan secara masif melalui rapid test dan dilanjutkan dengan tes PCR.
Dalam hal tes ini reaksi masyarakat beragam. Ada yang yang mendukung dan bersedia untuk melakukan tes, bahkan tes mandiri dengan biaya lumayan mahal. Namun banyak juga yang tidak bersedia karena takut terdeteksi reaktif sehingga yang bersangkutan justru harus melakukan tes lanjutan dan perawatan atau melakukan isolasi mandiri. Umumnya, mereka yang tidak bersedia adalah yang bekerja di sektor non-formal karena mereka sangat tergantung pada penghasilan hari ini untuk dapat hidup hari ini. Oleh karena itu dapat dipahami adanya beberapa penolakan terhadap rencana pelaksanaan rapid test.
Begitu juga ada sekian banyak masalah berkaitan dengan meninggalnya penderita corona yang pemakamannya harus mengikuti protocol Covid-19, sehingga di beberapa tempat dianggap sebagai pengabaian terhadap tatacara perlakuan terhadap mayat yang selama kondisi normal selalu dilakukan. Bahkan ada pula penolakan terhadap para petugas medis yang selama ini menangani pasien corona sampai dengan penolakan pemakaman bagi jenazah penderita korona dan jenazah petugas medis yang meninggal karena menangani pasien corona.
Ini semua, lebih lanjut berakibat pada potensi konflik antarwarga dan antara warga dengan pemerintah khususnya petugas penegak protocol Covid-19; atau bahkan konflik antar pejabat pengelola wilayah atau negara atau dengan sesama pejabat, yang kerap sekali terjadi. Dalam skala yang lebih besar lagi, ini potensial menimbulkan masalah di masyarakat yang tidak semata terkait dengan penyebaran virus corona tetapi juga masalah kejahatan secara umum atau kejahatan yang menyertai pandemi corona ini. (Baca juga: Jubir Covid-19 Ungkap ada 552 Kasus Baru Covid di Jawa Timur)
Kerusuhan di Amerika Serikat (AS) sebagai akibat meninggalnya George Floyd di Minnesota dan seminggu kemudian Brooks di Atlanta, telah memicu kerusuhan yang meluas alih-alih fakta bahwa keduanya -menurut informasi yang ada- adalah pelanggar hukum, kalaupun tidak boleh disebut sebagai penjahat. Mereka berdua tewas di tangan petugas kepolisian di masing-masing negara bagian di AS. Seorang pembicara dalam sebuah webinar, menyatakan bahwa sistem kepolisian yang fragmented di AS-lah yang jadi penyebab police brutality tersebut, -karena tidak ada pedoman yang jelas tentang kontrol terhadap praktik kepolisian di negara bagian di AS. Namun demikian, kerusuhan yang meluas itu secara kriminologis-sosiologis tentunya terkait juga dengan situasi kondisi pandemi Covid-19 di AS dan negara-negara bagiannya.