Kasus Lukas Enembe, Pukat UGM Ungkap Sejumlah Hal Perlu Dilakukan KPK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengungkapkan sejumlah hal yang perlu dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus Gubernur Papua Lukas Enembe . Diketahui, Lukas Enembe sudah dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK karena alasan sakit.
Di sisi lain, muncul dorongan kepada KPK untuk menjemput paksa Lukas Enembe. Kendati demikian, hal tersebut dinilai tidak mudah dilakukan lantaran massa pendukung Lukas Enembe menjaga kediaman Gubernur Papua itu.
Zaenur Rohman menyarankan KPK menggunakan pendekatan atau menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat dan agama. Kemudian, penyidik KPK dinilai perlu menjelaskan bahwa Lukas Enembe menghadapi proses hukum murni.
"KPK bisa pendekatan ke tokoh masyarakat, jelaskan bahwa ini proses hukum murni, tidak ada politik dan lain-lain. Tugas KPK membangun komunikasi dengan tokok adat, tokoh agama,” kata Zaenur, Rabu (12/10/2022).
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi cara KPK menghindari penolakan masyarakat saat upaya paksa dengan cara penangkapan. Dia pun menyoroti adanya aksi sebagian masyarakat yang melindungi Lukas Enembe.
Dia berpendapat bahwa ada sikap kontradiktif sebagian masyarakat dalam menyikapi kepala daerah yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi. Hampir semua survei menyebutkan bahwa masyarakat menilai korupsi sebagai masalah serius yang harus diberantas atau tidak ada yang mendukung tindak pidana korupsi.
Kendati demikian, ada saja kelompok masyarakat yang membela tokoh yang didukung menjadi tersangka kasus dugaan korupsi. "Misalnya mengatakan bahwa kasus tersebut rekayasa dijebak lawan politik," tuturnya.
Pembelaan para pendukung kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi pernah terjadi di Buol hingga merintangi penangkapan. Zaenur membeberkan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya fenomena dukungan sebagian masyarakat terhadap tersangka kasus dugaan korupsi.
Pertama, kata dia, kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi adalah tokoh elite yang selama ini memiliki pengaruh kuat. “Termasuk pengaruh dalam bidang ekonomi dan sumber daya. Banyak orang yang hidupnya bergantung kepada tersangka," ungkapnya.
Sedangkan yang kedua, adanya kesamaan latar belakang primordial antara tersangka dan para pendukungnya seperti satu suku, organisasi kemasyarakatan (ormas), atau organisasi keagamaan.
Dari faktor tersebut, ada perasaan pendukung ingin melindungi kelompoknya. Kemudian yang ketiga, tersangka selama ini memelihara konstituen seperti dengan politik uang atau pork barrel, yakni kebijakan yang menguntungkan para pendukungnya.
Selanjutnya yang keempat, tersangka dugaan korupsi masih punya jaringan elite pendukung yang bisa menggerakkan massa. Kelima, rendahnya kesadaran hukum masyarakat, dan kondisi itu dimanfaatkan oleh elite untuk menggerakkan massa.
Sedangkan yang keenam, tidak tertutup kemungkinan adanya massa bayaran. Ketujuh atau yang terakhir, dimungkinkan juga masyarakat tidak terlalu percaya sistem hukum bakal mewujudkan keadilan. Umumnya, masyarakat berpikir bahwa yang melakukan korupsi banyak pejabat, tetapi hanya pihak tertentu yang diproses hukum.
Zaenur mengatakan ada beberapa hal perlu dilakukan terus-menerus untuk mengubah situasi itu. Salah satunya, kata dia, pendidikan antikorupsi kepada masyarakat perlu dilakukan.
“Secara terus-menerus masyarakat harus memperoleh informasi bahwa korupsi artinya uang masyarakat diambil oleh para elite. Sehingga korupsi harus dilawan oleh semua pihak. Kedua, pemberantasan politik uang. Ketiga, penegakan hukum yang adil," pungkasnya.
Sebelumnya, KPK memastikan bakal memproses hukum Lukas Enembe menggunakan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Lukas merupakan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait sejumlah proyek di Papua.
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menyayangkan pernyataan tim penasihat hukum Lukas Enembe yang meminta penanganan perkara dugaan korupsi di Provinsi Papua menggunakan hukum adat. "KPK menyayangkan pernyataan dari penasihat hukum tersangka, yang mestinya tahu dan paham persoalan hukum ini sehingga bisa memberikan nasihat-nasihat secara profesional. Kami khawatir statement yang kontraproduktif tersebut justru dapat menciderai nilai-nilai luhur masyarakat Papua itu sendiri," kata Ali Fikri, Selasa (11/10/2022).
Di sisi lain, muncul dorongan kepada KPK untuk menjemput paksa Lukas Enembe. Kendati demikian, hal tersebut dinilai tidak mudah dilakukan lantaran massa pendukung Lukas Enembe menjaga kediaman Gubernur Papua itu.
Zaenur Rohman menyarankan KPK menggunakan pendekatan atau menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat dan agama. Kemudian, penyidik KPK dinilai perlu menjelaskan bahwa Lukas Enembe menghadapi proses hukum murni.
"KPK bisa pendekatan ke tokoh masyarakat, jelaskan bahwa ini proses hukum murni, tidak ada politik dan lain-lain. Tugas KPK membangun komunikasi dengan tokok adat, tokoh agama,” kata Zaenur, Rabu (12/10/2022).
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi cara KPK menghindari penolakan masyarakat saat upaya paksa dengan cara penangkapan. Dia pun menyoroti adanya aksi sebagian masyarakat yang melindungi Lukas Enembe.
Dia berpendapat bahwa ada sikap kontradiktif sebagian masyarakat dalam menyikapi kepala daerah yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi. Hampir semua survei menyebutkan bahwa masyarakat menilai korupsi sebagai masalah serius yang harus diberantas atau tidak ada yang mendukung tindak pidana korupsi.
Kendati demikian, ada saja kelompok masyarakat yang membela tokoh yang didukung menjadi tersangka kasus dugaan korupsi. "Misalnya mengatakan bahwa kasus tersebut rekayasa dijebak lawan politik," tuturnya.
Pembelaan para pendukung kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi pernah terjadi di Buol hingga merintangi penangkapan. Zaenur membeberkan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya fenomena dukungan sebagian masyarakat terhadap tersangka kasus dugaan korupsi.
Pertama, kata dia, kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi adalah tokoh elite yang selama ini memiliki pengaruh kuat. “Termasuk pengaruh dalam bidang ekonomi dan sumber daya. Banyak orang yang hidupnya bergantung kepada tersangka," ungkapnya.
Sedangkan yang kedua, adanya kesamaan latar belakang primordial antara tersangka dan para pendukungnya seperti satu suku, organisasi kemasyarakatan (ormas), atau organisasi keagamaan.
Dari faktor tersebut, ada perasaan pendukung ingin melindungi kelompoknya. Kemudian yang ketiga, tersangka selama ini memelihara konstituen seperti dengan politik uang atau pork barrel, yakni kebijakan yang menguntungkan para pendukungnya.
Selanjutnya yang keempat, tersangka dugaan korupsi masih punya jaringan elite pendukung yang bisa menggerakkan massa. Kelima, rendahnya kesadaran hukum masyarakat, dan kondisi itu dimanfaatkan oleh elite untuk menggerakkan massa.
Sedangkan yang keenam, tidak tertutup kemungkinan adanya massa bayaran. Ketujuh atau yang terakhir, dimungkinkan juga masyarakat tidak terlalu percaya sistem hukum bakal mewujudkan keadilan. Umumnya, masyarakat berpikir bahwa yang melakukan korupsi banyak pejabat, tetapi hanya pihak tertentu yang diproses hukum.
Zaenur mengatakan ada beberapa hal perlu dilakukan terus-menerus untuk mengubah situasi itu. Salah satunya, kata dia, pendidikan antikorupsi kepada masyarakat perlu dilakukan.
“Secara terus-menerus masyarakat harus memperoleh informasi bahwa korupsi artinya uang masyarakat diambil oleh para elite. Sehingga korupsi harus dilawan oleh semua pihak. Kedua, pemberantasan politik uang. Ketiga, penegakan hukum yang adil," pungkasnya.
Sebelumnya, KPK memastikan bakal memproses hukum Lukas Enembe menggunakan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Lukas merupakan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait sejumlah proyek di Papua.
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menyayangkan pernyataan tim penasihat hukum Lukas Enembe yang meminta penanganan perkara dugaan korupsi di Provinsi Papua menggunakan hukum adat. "KPK menyayangkan pernyataan dari penasihat hukum tersangka, yang mestinya tahu dan paham persoalan hukum ini sehingga bisa memberikan nasihat-nasihat secara profesional. Kami khawatir statement yang kontraproduktif tersebut justru dapat menciderai nilai-nilai luhur masyarakat Papua itu sendiri," kata Ali Fikri, Selasa (11/10/2022).
(rca)