Ketidakpastian Ekonomi dan Bauran Kebijakan
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Belum sepenuhnya bumi ini bangkit dari pandemi, kini ancaman krisis energi dan pangan menanti. Ini merupakan imbas terganggunya rantai suplai makanan dunia, naiknya harga komoditas, serta invasi Rusia ke Ukraina.
Pascapandemi, gangguan rantai pasok tak terelakkan akibat aksi saling balas sanksi antara Barat dan Rusia. Alhasil, distribusi beberapa komoditas utama dunia saat ini terganggu. Akibatnya, kelangkaan dan kenaikan tajam harga komoditas tak terbendung.
Ketidakpastian ekonomi global pun kini menjadi keniscayaan. Praktis tidak ada negara yang bisa bersembunyi di balik ancaman krisis. Bahkan, berbagai negara maju di Eropa pun kini tampak rentan didera krisis energi. Terutama saat kawasan tersebut kini mendekati musim dingin yang butuh banyak energi untuk pemanas.
Imbas dari semua gangguan tersebut kini dunia terancam resesi karena inflasi yang tinggi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi. International Monetary Fund (IMF) bahkan telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 4,4% menjadi 3,6%.
Pemangkasan dilakukan di tengah berlanjutnya kemerosotan kondisi ekonomi global. Selain IMF, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga memproyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022 sebesar 3% secara tahunan. Lebih rendah dari perkiraan semula di akhir tahun lalu, 4,5%.
Penurunan ini diproyeksi berlangsung hingga 2023 dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 2,8%. Begitu juga dalam laporan UN Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat ke 2,5% di 2022 dan jatuh ke 2,2% di 2023.
Berkaca pada kondisi yang terjadi, IMF dan Bank Dunia juga telah memproyeksikan bahwa sedikitnya terdapat 60 negara yang bakal ambruk akibat resesi global.
Lebih lanjut menurut UNCTD, negara-negara yang terdampak tajam adalah negara berkembang di Amerika Latin dan negara pendapatan lemah di Afrika. Ironisnya, berdasarkan data UNCTAD, Indonesia akan menjadi negara kedua di negara G20 yang paling rugi dalam hal kehilangan potensi ekonomi akibat resesi global.
Resesi di berbagai negara menyebabkan terjadinya penurunan laju ekspor Indonesia karena adanya penurunan permintaan yang secara otomatis dapat melemahkan harga komoditas. Saat ini, sejatinya harga komoditas masih tinggi sehingga mampu memberikan keuntungan bagi nilai ekspor Indonesia.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Belum sepenuhnya bumi ini bangkit dari pandemi, kini ancaman krisis energi dan pangan menanti. Ini merupakan imbas terganggunya rantai suplai makanan dunia, naiknya harga komoditas, serta invasi Rusia ke Ukraina.
Pascapandemi, gangguan rantai pasok tak terelakkan akibat aksi saling balas sanksi antara Barat dan Rusia. Alhasil, distribusi beberapa komoditas utama dunia saat ini terganggu. Akibatnya, kelangkaan dan kenaikan tajam harga komoditas tak terbendung.
Ketidakpastian ekonomi global pun kini menjadi keniscayaan. Praktis tidak ada negara yang bisa bersembunyi di balik ancaman krisis. Bahkan, berbagai negara maju di Eropa pun kini tampak rentan didera krisis energi. Terutama saat kawasan tersebut kini mendekati musim dingin yang butuh banyak energi untuk pemanas.
Imbas dari semua gangguan tersebut kini dunia terancam resesi karena inflasi yang tinggi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi. International Monetary Fund (IMF) bahkan telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 4,4% menjadi 3,6%.
Pemangkasan dilakukan di tengah berlanjutnya kemerosotan kondisi ekonomi global. Selain IMF, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga memproyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022 sebesar 3% secara tahunan. Lebih rendah dari perkiraan semula di akhir tahun lalu, 4,5%.
Penurunan ini diproyeksi berlangsung hingga 2023 dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 2,8%. Begitu juga dalam laporan UN Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat ke 2,5% di 2022 dan jatuh ke 2,2% di 2023.
Berkaca pada kondisi yang terjadi, IMF dan Bank Dunia juga telah memproyeksikan bahwa sedikitnya terdapat 60 negara yang bakal ambruk akibat resesi global.
Lebih lanjut menurut UNCTD, negara-negara yang terdampak tajam adalah negara berkembang di Amerika Latin dan negara pendapatan lemah di Afrika. Ironisnya, berdasarkan data UNCTAD, Indonesia akan menjadi negara kedua di negara G20 yang paling rugi dalam hal kehilangan potensi ekonomi akibat resesi global.
Resesi di berbagai negara menyebabkan terjadinya penurunan laju ekspor Indonesia karena adanya penurunan permintaan yang secara otomatis dapat melemahkan harga komoditas. Saat ini, sejatinya harga komoditas masih tinggi sehingga mampu memberikan keuntungan bagi nilai ekspor Indonesia.