Ketidakpastian Ekonomi dan Bauran Kebijakan
loading...
A
A
A
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif atau pada periode Januari—Agustus 2022 mencapai USD34,9 miliar. Nilai ekspor secara kumulatif pada periode tersebut tercatat USD194,6 miliar. Pada Agustus 2022, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD27,91 miliar, tumbuh 30,15% year on year (yoy) atau 9,17% secara month to month (mtm).
Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia. Peningkatan ekspor didorong oleh ekspor migas yang naik 64,46% (yoy) dan ekspor non migas tumbuh 28,39% (yoy). Meski demikian, ancaman resesi dan fluktuasi yang terus terjadi pada harga komoditas dunia akan menjadi ancaman bagi ekspor dan ekonomi Indonesia ke depan, terutama melihat tren pelemahan harga komiditas karena krisis domestik serta kekhawatiran terhadap kondisi resesi ekonomi global.
Dampak Perubahan Suku Bunga
Inflasi yang tinggi saat ini, disikapi oleh bank sentral di berbagai negara dengan menaikkan tingkat suku bunga dan memperketat likuiditas. Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Bank Sentral Inggris (BoE) menaikkan suku bunga masing-masing 75 bps dan 50 bps ke tingkat 3,25% dan 2,25%. Keduanya mengambil langkah tersebut untuk menekan inflasi yang masih tinggi pada level 8,3% yoy (AS) dan 9,9% yoy (Inggris).
Bagi AS, ini merupakan kenaikan suku bunga kelima sepanjang 2022, dengan total 300 bps. Sementara itu, Inggris sudah tujuh kali melakukan kenaikan suku bunga dengan total 200 bps.
Begitu juga dengan Bank Indonesia (BI), memasuki paruh kedua tahun ini, suku bunga acuan BI 7- Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) kembali dinaikkan sebesar 50 bps menjadi 4,25%. BI juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 bps, masing-masing menjadi 3,50% dan 5,00%. Kebijakan kenaikan suku bunga dilakukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0?1%.
Akibat kenaikan tingkat suku bunga tersebut, peredaran uang di Indonesia mulai mengalami perlambatan. BI mencatat pada Agustus 2022, nilai M2 tumbuh melambat 9,5% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya 9,6% (yoy). Kondisi ini mempengaruhi capaian inflasi yang diperkirakan 6,2%, ternyata mampu di kontrol menjadi 5,95% (September). Bagi dunia perbankan, perlu terus berhati-hati dalam mendorong lending untuk pembiayaan sektor riil dan menjaga produksi tetap berjalan dan berkembang.
Sektor Riil Jadi Kunci
Konsumsi sangat penting bagi perekonomian Indonesia karena 58% Produk Domestik Bruto (PDB) berasal dari sektor ini. Oleh sebab itu, melalui struktur ekonomi Tanah Air yang ditopang konsumsi domestik membuat peluang Indonesia untuk terseret arus resesi global mengecil.
Berdasarkan survei Bloomberg, tingkat risiko resesi Indonesia hanya 3%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan mayoritas negara di dunia. Sebuah negara dikategorikan rentan menghadapi resesi jika angka risiko mencapai 70%. Merujuk hal tersebut maka ancaman resesi ekonomi dunia seyogyanya dapat diantisipasi oleh Indonesia dengan menjaga daya beli masyarakat dan memperbaiki kinerja industri manufaktur.
Ancaman resesi ekonomi adalah gejolak eksternal yang tak cukup apabila dihalau hanya sebatas melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter. Gejolak ekonomi global ini sewaktu-waktu bisa menguji soliditas serta stabilitas ekonomi Indonesia.
Oleh sebab itu, produktivitas dan kinerja sektor riil sebagai penggerak aktivitas ekonomi perlu distimulus, terutama pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sangat penting bagi pemerintah untuk memperkuat ekonomi domestik, penguatan UMKM dan sektor ekonomi yang berbasis domestik resources demi menuju kemandirian ekonomi Indonesia.
Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia. Peningkatan ekspor didorong oleh ekspor migas yang naik 64,46% (yoy) dan ekspor non migas tumbuh 28,39% (yoy). Meski demikian, ancaman resesi dan fluktuasi yang terus terjadi pada harga komoditas dunia akan menjadi ancaman bagi ekspor dan ekonomi Indonesia ke depan, terutama melihat tren pelemahan harga komiditas karena krisis domestik serta kekhawatiran terhadap kondisi resesi ekonomi global.
Dampak Perubahan Suku Bunga
Inflasi yang tinggi saat ini, disikapi oleh bank sentral di berbagai negara dengan menaikkan tingkat suku bunga dan memperketat likuiditas. Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Bank Sentral Inggris (BoE) menaikkan suku bunga masing-masing 75 bps dan 50 bps ke tingkat 3,25% dan 2,25%. Keduanya mengambil langkah tersebut untuk menekan inflasi yang masih tinggi pada level 8,3% yoy (AS) dan 9,9% yoy (Inggris).
Bagi AS, ini merupakan kenaikan suku bunga kelima sepanjang 2022, dengan total 300 bps. Sementara itu, Inggris sudah tujuh kali melakukan kenaikan suku bunga dengan total 200 bps.
Begitu juga dengan Bank Indonesia (BI), memasuki paruh kedua tahun ini, suku bunga acuan BI 7- Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) kembali dinaikkan sebesar 50 bps menjadi 4,25%. BI juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 bps, masing-masing menjadi 3,50% dan 5,00%. Kebijakan kenaikan suku bunga dilakukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0?1%.
Akibat kenaikan tingkat suku bunga tersebut, peredaran uang di Indonesia mulai mengalami perlambatan. BI mencatat pada Agustus 2022, nilai M2 tumbuh melambat 9,5% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya 9,6% (yoy). Kondisi ini mempengaruhi capaian inflasi yang diperkirakan 6,2%, ternyata mampu di kontrol menjadi 5,95% (September). Bagi dunia perbankan, perlu terus berhati-hati dalam mendorong lending untuk pembiayaan sektor riil dan menjaga produksi tetap berjalan dan berkembang.
Sektor Riil Jadi Kunci
Konsumsi sangat penting bagi perekonomian Indonesia karena 58% Produk Domestik Bruto (PDB) berasal dari sektor ini. Oleh sebab itu, melalui struktur ekonomi Tanah Air yang ditopang konsumsi domestik membuat peluang Indonesia untuk terseret arus resesi global mengecil.
Berdasarkan survei Bloomberg, tingkat risiko resesi Indonesia hanya 3%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan mayoritas negara di dunia. Sebuah negara dikategorikan rentan menghadapi resesi jika angka risiko mencapai 70%. Merujuk hal tersebut maka ancaman resesi ekonomi dunia seyogyanya dapat diantisipasi oleh Indonesia dengan menjaga daya beli masyarakat dan memperbaiki kinerja industri manufaktur.
Ancaman resesi ekonomi adalah gejolak eksternal yang tak cukup apabila dihalau hanya sebatas melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter. Gejolak ekonomi global ini sewaktu-waktu bisa menguji soliditas serta stabilitas ekonomi Indonesia.
Oleh sebab itu, produktivitas dan kinerja sektor riil sebagai penggerak aktivitas ekonomi perlu distimulus, terutama pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sangat penting bagi pemerintah untuk memperkuat ekonomi domestik, penguatan UMKM dan sektor ekonomi yang berbasis domestik resources demi menuju kemandirian ekonomi Indonesia.