Hancurnya Keadaban Hukum
loading...
A
A
A
Antonius Benny Susetyo
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
BAGAIMANA kini wajah peradilan di Indonesia? Tampaknya bukan lagi rusak, melainkan sudah tak berwajah. Bagaimana tidak, penegak hukum pada lembaga pengadilan tertinggi kerap kali mencoreng dunia peradilan di negeri sendiri. Itulah kiranya yang menggerus ketenteraman nurani rakyat sedari dulu sampai akhir-akhir ini.
Sungguh ironis, belum lama ini operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap oknum kasus dugaan suap perkara di Mahkamah Agung (MA) kembali terjadi. Ini menambah deretan kasus-kasus sebelumnya dan semakin terang benderang fakta tentang adanya mafia peradilan di Indonesia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Hal ini pun bukan masalah baru; hukum begitu mudah dipermainkan oleh oknum aparat penegak hukum. Hati nurani mereka telah mati, keadilan yang didambakan semua orang nyatanya hanya untuk segelintir orang saja, yakni mereka yang memiliki kekuatan untuk membelinya.
Konstitusi yang mengatakan adanya persamaan derajat di hadapan hukum hanyalah rangkaian kata-kata manis yang kosong. MA adalah benteng pertahanan terakhir untuk para pencari keadilan, namun kasus OTT tersebut bisa menghancurkan peradaban hukum karena hukum sudah diinjak-injak. Hal itu menunjukkan bahwa peradilan hukum sudah hancur lebur.
Semakin banyak orang menyoroti kasus ini. Dengan lantang dan tanpa malu-malu, kepada masyarakat dipertontonkan bahwa permainan uang di dalam tubuh penegak hukum dan keadilan benar terjadi. Para hamba hukum dan masyarakat sebagai pencari keadilan berhadapan dengan budaya jual beli keadilan yang sangat ironis. Masyarakat diberi sebuah tontonan oleh para elite bahwa hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomilah yang dapat membeli dan merasakan “keadilan” yang seperti itu.
Keadaan semacam itu menjadikan Indonesia darurat hukum. Lantas jika rakyat menghadapi situasi semacam itu, lagi dan lagi, bagaimana hukum bisa diakses oleh semua orang, jika hukum bisa ditukar, dipangkas bahkan dimanipulasi oleh materi belaka yang membuat hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal.
Alih-alih memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada para pencari keadilan, penegak hukum malah menjadi perusak hukum. Gaji cukup tinggi yang dibuat untuk membebaskan mereka dari kesulitan finansial rasanya tidak mujarab bagi sang rakus. Para oknum itu hanyut dalam godaan-godaan yang menjerumuskan, tampaknya mereka melewatkan kelas pembelajaran tentang adab.
Sepatutnya para penegak hukum merenungi eksistensi dirinya di negara ini karena adalah berkat perjuangan para pendiri bangsa (the founding fathers) yang mencita-citakan negara Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadilan. Tapi ia malah mengkhianati cita-cita luhur bangsa.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
BAGAIMANA kini wajah peradilan di Indonesia? Tampaknya bukan lagi rusak, melainkan sudah tak berwajah. Bagaimana tidak, penegak hukum pada lembaga pengadilan tertinggi kerap kali mencoreng dunia peradilan di negeri sendiri. Itulah kiranya yang menggerus ketenteraman nurani rakyat sedari dulu sampai akhir-akhir ini.
Sungguh ironis, belum lama ini operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap oknum kasus dugaan suap perkara di Mahkamah Agung (MA) kembali terjadi. Ini menambah deretan kasus-kasus sebelumnya dan semakin terang benderang fakta tentang adanya mafia peradilan di Indonesia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Hal ini pun bukan masalah baru; hukum begitu mudah dipermainkan oleh oknum aparat penegak hukum. Hati nurani mereka telah mati, keadilan yang didambakan semua orang nyatanya hanya untuk segelintir orang saja, yakni mereka yang memiliki kekuatan untuk membelinya.
Konstitusi yang mengatakan adanya persamaan derajat di hadapan hukum hanyalah rangkaian kata-kata manis yang kosong. MA adalah benteng pertahanan terakhir untuk para pencari keadilan, namun kasus OTT tersebut bisa menghancurkan peradaban hukum karena hukum sudah diinjak-injak. Hal itu menunjukkan bahwa peradilan hukum sudah hancur lebur.
Semakin banyak orang menyoroti kasus ini. Dengan lantang dan tanpa malu-malu, kepada masyarakat dipertontonkan bahwa permainan uang di dalam tubuh penegak hukum dan keadilan benar terjadi. Para hamba hukum dan masyarakat sebagai pencari keadilan berhadapan dengan budaya jual beli keadilan yang sangat ironis. Masyarakat diberi sebuah tontonan oleh para elite bahwa hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomilah yang dapat membeli dan merasakan “keadilan” yang seperti itu.
Keadaan semacam itu menjadikan Indonesia darurat hukum. Lantas jika rakyat menghadapi situasi semacam itu, lagi dan lagi, bagaimana hukum bisa diakses oleh semua orang, jika hukum bisa ditukar, dipangkas bahkan dimanipulasi oleh materi belaka yang membuat hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal.
Alih-alih memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada para pencari keadilan, penegak hukum malah menjadi perusak hukum. Gaji cukup tinggi yang dibuat untuk membebaskan mereka dari kesulitan finansial rasanya tidak mujarab bagi sang rakus. Para oknum itu hanyut dalam godaan-godaan yang menjerumuskan, tampaknya mereka melewatkan kelas pembelajaran tentang adab.
Sepatutnya para penegak hukum merenungi eksistensi dirinya di negara ini karena adalah berkat perjuangan para pendiri bangsa (the founding fathers) yang mencita-citakan negara Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadilan. Tapi ia malah mengkhianati cita-cita luhur bangsa.