Hancurnya Keadaban Hukum

Rabu, 05 Oktober 2022 - 12:55 WIB
loading...
Hancurnya Keadaban Hukum
Antonius Benny Susetyo (Foto: Ist)
A A A
Antonius Benny Susetyo
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)

BAGAIMANA kini wajah peradilan di Indonesia? Tampaknya bukan lagi rusak, melainkan sudah tak berwajah. Bagaimana tidak, penegak hukum pada lembaga pengadilan tertinggi kerap kali mencoreng dunia peradilan di negeri sendiri. Itulah kiranya yang menggerus ketenteraman nurani rakyat sedari dulu sampai akhir-akhir ini.

Sungguh ironis, belum lama ini operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap oknum kasus dugaan suap perkara di Mahkamah Agung (MA) kembali terjadi. Ini menambah deretan kasus-kasus sebelumnya dan semakin terang benderang fakta tentang adanya mafia peradilan di Indonesia.

Baca Juga: koran-sindo.com

Hal ini pun bukan masalah baru; hukum begitu mudah dipermainkan oleh oknum aparat penegak hukum. Hati nurani mereka telah mati, keadilan yang didambakan semua orang nyatanya hanya untuk segelintir orang saja, yakni mereka yang memiliki kekuatan untuk membelinya.

Konstitusi yang mengatakan adanya persamaan derajat di hadapan hukum hanyalah rangkaian kata-kata manis yang kosong. MA adalah benteng pertahanan terakhir untuk para pencari keadilan, namun kasus OTT tersebut bisa menghancurkan peradaban hukum karena hukum sudah diinjak-injak. Hal itu menunjukkan bahwa peradilan hukum sudah hancur lebur.

Semakin banyak orang menyoroti kasus ini. Dengan lantang dan tanpa malu-malu, kepada masyarakat dipertontonkan bahwa permainan uang di dalam tubuh penegak hukum dan keadilan benar terjadi. Para hamba hukum dan masyarakat sebagai pencari keadilan berhadapan dengan budaya jual beli keadilan yang sangat ironis. Masyarakat diberi sebuah tontonan oleh para elite bahwa hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomilah yang dapat membeli dan merasakan “keadilan” yang seperti itu.

Keadaan semacam itu menjadikan Indonesia darurat hukum. Lantas jika rakyat menghadapi situasi semacam itu, lagi dan lagi, bagaimana hukum bisa diakses oleh semua orang, jika hukum bisa ditukar, dipangkas bahkan dimanipulasi oleh materi belaka yang membuat hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal.

Alih-alih memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada para pencari keadilan, penegak hukum malah menjadi perusak hukum. Gaji cukup tinggi yang dibuat untuk membebaskan mereka dari kesulitan finansial rasanya tidak mujarab bagi sang rakus. Para oknum itu hanyut dalam godaan-godaan yang menjerumuskan, tampaknya mereka melewatkan kelas pembelajaran tentang adab.

Sepatutnya para penegak hukum merenungi eksistensi dirinya di negara ini karena adalah berkat perjuangan para pendiri bangsa (the founding fathers) yang mencita-citakan negara Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadilan. Tapi ia malah mengkhianati cita-cita luhur bangsa.

Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tapi mari menilik fenomena-fenomena penegakan hukum yang tajam untuk kalangan bawah dan tumpul untuk kalangan atas. Misalnya kasus pada 2018, Saulina Sitorus yang berusia 92 tahun divonis 1 bulan 14 hari penjara karena menebang pohon durian milik kerabatnya.

Kasus Rasminah lantaran mencuri enam piring majikannya, kasus pencurian semangka, kasus pencurian pisang, dan kasus-kasus lainnya. Jika penegakan hukum seperti itu tetap terjadi, maka bukan lagi kepercayaan rakyat, melainkan negara kita akan mengalami kehancuran.

Relasi kuasa yang dibangun oleh para penegak hukum dengan penguasa materi menjadi salah satu faktor penyebab fenomena-fenomena itu terjadi. Hak-hak dan kekebalan hakim dapat ditembus dengan hubungan di antara aktor-aktor dalam kepentingannya yang diselimuti tingkat kekuasaan yang berbeda. Akhirnya para penegak hukum dibuat silau dan tidak bisa memberikan penindakan hukum yang berasaskan Pancasila.

Padahal, untuk mewujudkan keadilan hukum, dibutuhkan iktikad politik yang kuat dari para aparat penegak hukum. Tanpanya, nyaris tidak mungkin keadilan hukum bisa diwujudkan. Penguasa memiliki kekuasaan yang bisa mengarahkan, memfasilitasi, dan menciptakan suasana yang kondusif guna terwujudnya hukum sebagai panglima, untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat.

Hukum menjadi sekadar permainan bagi mereka yang memiliki kekuatan uang dan politik. Hukum hanya hiasan belaka, sebab hukum tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan di negeri ini. Keadilan hanya permainan bagi mereka yang berkuasa. Ini menandakan hilangnya keadaban hukum.

Hukum mudah dimanipulasi dan direkayasa asal bisa memenuhi keinginan pihak tertentu. Hukum ditegakkan sekaligus dilecehkan, sering kali mengabaikan sisi utamanya, yakni keadilan. Kepekaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang tidak seimbang muncul.

Masyarakat memiliki perasaan yang tidak bisa dimanipulasi, bahkan dikendalikan. Atas itu semua, apabila jajaran penegak hukum masih sering bertindak di luar batas-batas kepekaan masyarakat, yang terjadi adalah kristalisasi ketidakpuasan dari berbagai penjuru. Bahaya paling besar dari perkara seperti ini adalah kemunduran yang luar biasa dari proses demokrasi yang sudah kita percayai untuk membangun bangsa ini.

Hukum sering kali hanya menjadi pajangan dan retorika pasal-pasal di depan cengkeraman kekuasaan dan orang kuat hukum tak lagi memiliki taring. Hukum mandul karena hanya mampu menginjak ke bawah dan mengangkat yang di atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini.

Persoalan dari apa yang sudah terjadi dengan tertangkap tangannya pihak dari MA ini adalah adanya tangan tersembunyi yang berkuasa di negeri ini. Hukum benar-benar mudah dipermainkan dan hanya menjadi pajangan bagi mereka yang memiliki uang, kekuasaan, dan pengaruh politik. Hukum sekadar hiasan belaka, sebab hukum tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan di negeri ini. Keadilan hanya permainan bagi mereka yang berkuasa. Inilah penyebab hilangnya keadaban hukum.

Hukum telah kehilangan keadabannya, maka hukum kehilangan juga rasa kemanusiaan dan keadilan. Masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap lembaga hukum, masyarakat juga kehilangan rasa hormat dan apresiasi terhadap otoritas hukum. Akibatnya masyarakat semakin memiliki kecenderungan untuk menjalankan hukum dengan hukum sendiri atau yang sering disebut main hakim sendiri (vigilante).

Hukum adalah kebutuhan dasar bagi semua individu karena hukum merupakan bagian dari keamanan individu itu sendiri. Tanpa hukum, orang-orang dapat dengan liar memangsa dan menerkam pihak lain tanpa terkecuali. Hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya manusia yang aman dan damai.

Motif dari kasus suap di MA itu karena relasi kuasa yang tidak seimbang, manipulasi kekuasaan terjadi karena power yang absolut. Maka perlu pembenahan hukum dengan cara MA mengadakan reformasi besar-besaran dan menyeleksi ulang hakim-hakim MA.

Dengan demikian menjadi amat penting untuk menciptakan kembali kepercayaan rakyat melalui pembangunan neraca (keadilan) dengan merombak struktural dan bersih-bersih di lingkungan MA demi terwujudnya sila kelima Pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang berimplikasi pada kedamaian dan kesejahteraan bagi semua orang.

Saatnya keadaban hukum dipulihkan kembali dengan reformasi lembaga hukum demi tegaknya nilai keadilan publik.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3106 seconds (0.1#10.140)