Mahkamah Konstitusi dalam Pusaran Politik
loading...
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UII
BERBEDA dengan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya yang lebih banyak menangani permasalahan hukum biasa, peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks ketatanegaraan Indonesia semuanya beririsan dengan persoalan politik.
Hal ini dapat dilihat dari empat kewenangan dan satu kewajiban yang melekat pada MK, yaitu: (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945, (b) memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, (c) memutus pembubaran partai politik, (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan (e) MK berkewajiban memberi putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Baca Juga: koran-sindo.com
Mengingat fungsinya yang sangat penting dan sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, tidak berlebihan bila satu-satunya jabatan yang oleh konstitusi diharuskan untuk diisi oleh para negarawan adalah hanya hakim MK. Pada jabatan lainnya, konstitusi tidak memberi mandat serupa. Hal ini dimaksudkan agar hakim MK dengan segala potensi godaan politik yang ada dapat tetap tak tergoyahkan dan teguh mempertahankan integritasnya dalam mengawal konstitusi.
Namun, sayangnya, upaya untuk mengintervensi MK secara politik terus berlangsung sampai saat ini. Yang terbaru adalah soal wacana DPR untuk kembali melakukan perubahan atas UU MK yang sebenarnya UU ini baru saja, yaitu tahun 2020, diubah.
Secara garis besar, ada dua materi perubahan yang sedang diwacanakan, yaitu soal batas minimal usia hakim MK dan perlunya lembaga pengusul calon hakim MK, yaitu DPR, pemerintah, dan MA, untuk sewaktu-waktu dapat mengevaluasi kinerja hakim MK, bahkan memberhentikannya bila hal tersebut diperlukan.
Catatan Kritis
Berkaitan dengan usia calon hakim MK, ketentuan ini sudah beberapa kali mengalami perubahan. Pertama kali berlaku aturan minimal berusia 40 tahun, lalu berubah menjadi 47 tahun, dan terakhir pada tahun 2020 kembali diubah menjadi minimal berusia 55 tahun. DPR menginginkan agar ketentuan yang saat ini berlaku diturunkan menjadi minimal umur 50 tahun.
Memang menurut beberapa putusan MK, berkaitan dengan syarat umur, itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah, sehingga hal ini tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma. Artinya DPR dan Presiden diberi kebebasan untuk menentukannya.
Namun penting bagi DPR dan pemerintah untuk memiliki kajian dan parameter yang objektif mengenai hal ini, sebab pembentukan hukum bisa secara sengaja (by design) tidak diarahkan guna mewujudkan keadilan, tetapi dipolitisasi untuk memberikan keuntungan kepada satu pihak dan merugikan pihak lain. Ibarat pagar, pagar itu dibuat tinggi agar satu pihak terlindungi dan pihak lain tidak bisa melewatinya.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UII
BERBEDA dengan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya yang lebih banyak menangani permasalahan hukum biasa, peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks ketatanegaraan Indonesia semuanya beririsan dengan persoalan politik.
Hal ini dapat dilihat dari empat kewenangan dan satu kewajiban yang melekat pada MK, yaitu: (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945, (b) memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, (c) memutus pembubaran partai politik, (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan (e) MK berkewajiban memberi putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Baca Juga: koran-sindo.com
Mengingat fungsinya yang sangat penting dan sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, tidak berlebihan bila satu-satunya jabatan yang oleh konstitusi diharuskan untuk diisi oleh para negarawan adalah hanya hakim MK. Pada jabatan lainnya, konstitusi tidak memberi mandat serupa. Hal ini dimaksudkan agar hakim MK dengan segala potensi godaan politik yang ada dapat tetap tak tergoyahkan dan teguh mempertahankan integritasnya dalam mengawal konstitusi.
Namun, sayangnya, upaya untuk mengintervensi MK secara politik terus berlangsung sampai saat ini. Yang terbaru adalah soal wacana DPR untuk kembali melakukan perubahan atas UU MK yang sebenarnya UU ini baru saja, yaitu tahun 2020, diubah.
Secara garis besar, ada dua materi perubahan yang sedang diwacanakan, yaitu soal batas minimal usia hakim MK dan perlunya lembaga pengusul calon hakim MK, yaitu DPR, pemerintah, dan MA, untuk sewaktu-waktu dapat mengevaluasi kinerja hakim MK, bahkan memberhentikannya bila hal tersebut diperlukan.
Catatan Kritis
Berkaitan dengan usia calon hakim MK, ketentuan ini sudah beberapa kali mengalami perubahan. Pertama kali berlaku aturan minimal berusia 40 tahun, lalu berubah menjadi 47 tahun, dan terakhir pada tahun 2020 kembali diubah menjadi minimal berusia 55 tahun. DPR menginginkan agar ketentuan yang saat ini berlaku diturunkan menjadi minimal umur 50 tahun.
Memang menurut beberapa putusan MK, berkaitan dengan syarat umur, itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah, sehingga hal ini tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma. Artinya DPR dan Presiden diberi kebebasan untuk menentukannya.
Namun penting bagi DPR dan pemerintah untuk memiliki kajian dan parameter yang objektif mengenai hal ini, sebab pembentukan hukum bisa secara sengaja (by design) tidak diarahkan guna mewujudkan keadilan, tetapi dipolitisasi untuk memberikan keuntungan kepada satu pihak dan merugikan pihak lain. Ibarat pagar, pagar itu dibuat tinggi agar satu pihak terlindungi dan pihak lain tidak bisa melewatinya.