Profil Sariamin Ismail, Novelis Perempuan Pertama Indonesia yang Punya Banyak Nama Samaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sosok Sariamin Ismail mungkin sudah tak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya para pecinta karya sastra .
Dalam riwayatnya, Sariamin dikenal sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia. Karya pertamanya adalah novel berjudul Kalau Tak Untung yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1934.
Baca juga : Mendobrak Batasan dalam Membaca Karya Sastra
Disadur dari Skripsi berjudul Masalah Hibriditas dan Ambivalensi Alensi dalam Novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA karya Nurlaily Hanifa Amalia, Selasih merupakan nama samaran dari Sariamin Ismail.
Dia lahir di Kota Pajang, Sinurut, Sumatera Barat pada 31 Juli 1909. Sariamin merupakan putri dari pasangan Lau dan Sari Uyah. Ayahnya sendiri bergelar Datuk Raja Malintang.
Pada riwayat pendidikannya, Sariamin lulus Sekolah Dasar pada 1921, kemudian tamat Meisjes Normaal School (MNS) pada 1925. Setelah lulus, dia sempat menjadi guru di Bengkulu, sebelum akhirnya diangkat menjadi Kepala Sekolah.
Selain itu, dirinya juga cukup aktif sebagai Ketua Serikat Kaum Ibu Sumatera Cabang Padangpanjang, pengurus PNS (Pengawas Daerah Karesidenan Sumbar), serta pengurus Meisyekring.
Pada tahun 1939, Sariamin Ismail pindah ke Aceh sebelum akhirnya menetap di Kuantan pada 1941. Dalam kurun waktu tersebut, dia mengisi waktunya sebagai guru. Disela-sela kesibukannya, dia juga sering mengadakan pertunjukan sandiwara bertendens di Kuantan, Pekanbaru, hingga Tanjung Pinang.
Setelah bekerja sekitar 34 tahun, pada 1968 Sariamin pensiun dan berencana untuk menikmati masa pensiunnya.
Beralih ke kehidupannya sebagai novelis, Sariamin Ismail menerbitkan karya pertamanya berupa novel yang berjudul Kalau Tak Untung pada tahun 1933. Perilisan novel ini menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia.
Setelah novel ini sukses mengangkat namanya, pada 1937 dia menerbitkan kembali sebuah novel berjudul Pengaruh Keadaan. Sebagai seorang pengarang, Sariamin diketahui pernah mengalami masa ‘mandul’ atau dalam artian tidak membuat karya, yakni dari kurun tahun 1942 hingga dengan 1970.
Baca juga : Menilik 5 Festival Besar Sastra, Anak Sastra Wajib Tahu
Untuk alasannya sendiri karena perhatiannya banyak tertuju pada kehidupan rumah tangga dan dunia pendidikan terkait sekolah yang dibinanya. Pada akhirnya, dia kembali menulis sejak tahun 1976 atas saran dari menantunya karena namanya sudah mulai dilupakan orang.
Pada tahun 1981, bukunya yang berjudul Panca Juara kembali diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam kehidupannya sebagai pengarang, Sariamin Ismail memiliki cukup banyak nama samaran yang pernah digunakan.
Selain Selasih ataupun Seleguri, dia pernah menggunakan nama lain seperti Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, Mande Rubiah, dan lainnya. Adapun alasannya sendiri untuk meminimalisir kemungkinan ditangkap pihak berwenang karena karya-karyanya.
Di akhir hayatnya, Sariamin Ismail meninggal dunia pada 15 Desember 1995 di Pekanbaru dalam usia 86 tahun. Meski sudah cukup lama, namun karya-karyanya akan selalu dikenang dan abadi bersama para pembacanya.
Dalam riwayatnya, Sariamin dikenal sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia. Karya pertamanya adalah novel berjudul Kalau Tak Untung yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1934.
Baca juga : Mendobrak Batasan dalam Membaca Karya Sastra
Disadur dari Skripsi berjudul Masalah Hibriditas dan Ambivalensi Alensi dalam Novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA karya Nurlaily Hanifa Amalia, Selasih merupakan nama samaran dari Sariamin Ismail.
Dia lahir di Kota Pajang, Sinurut, Sumatera Barat pada 31 Juli 1909. Sariamin merupakan putri dari pasangan Lau dan Sari Uyah. Ayahnya sendiri bergelar Datuk Raja Malintang.
Pada riwayat pendidikannya, Sariamin lulus Sekolah Dasar pada 1921, kemudian tamat Meisjes Normaal School (MNS) pada 1925. Setelah lulus, dia sempat menjadi guru di Bengkulu, sebelum akhirnya diangkat menjadi Kepala Sekolah.
Selain itu, dirinya juga cukup aktif sebagai Ketua Serikat Kaum Ibu Sumatera Cabang Padangpanjang, pengurus PNS (Pengawas Daerah Karesidenan Sumbar), serta pengurus Meisyekring.
Pada tahun 1939, Sariamin Ismail pindah ke Aceh sebelum akhirnya menetap di Kuantan pada 1941. Dalam kurun waktu tersebut, dia mengisi waktunya sebagai guru. Disela-sela kesibukannya, dia juga sering mengadakan pertunjukan sandiwara bertendens di Kuantan, Pekanbaru, hingga Tanjung Pinang.
Setelah bekerja sekitar 34 tahun, pada 1968 Sariamin pensiun dan berencana untuk menikmati masa pensiunnya.
Beralih ke kehidupannya sebagai novelis, Sariamin Ismail menerbitkan karya pertamanya berupa novel yang berjudul Kalau Tak Untung pada tahun 1933. Perilisan novel ini menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia.
Setelah novel ini sukses mengangkat namanya, pada 1937 dia menerbitkan kembali sebuah novel berjudul Pengaruh Keadaan. Sebagai seorang pengarang, Sariamin diketahui pernah mengalami masa ‘mandul’ atau dalam artian tidak membuat karya, yakni dari kurun tahun 1942 hingga dengan 1970.
Baca juga : Menilik 5 Festival Besar Sastra, Anak Sastra Wajib Tahu
Untuk alasannya sendiri karena perhatiannya banyak tertuju pada kehidupan rumah tangga dan dunia pendidikan terkait sekolah yang dibinanya. Pada akhirnya, dia kembali menulis sejak tahun 1976 atas saran dari menantunya karena namanya sudah mulai dilupakan orang.
Pada tahun 1981, bukunya yang berjudul Panca Juara kembali diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam kehidupannya sebagai pengarang, Sariamin Ismail memiliki cukup banyak nama samaran yang pernah digunakan.
Selain Selasih ataupun Seleguri, dia pernah menggunakan nama lain seperti Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, Mande Rubiah, dan lainnya. Adapun alasannya sendiri untuk meminimalisir kemungkinan ditangkap pihak berwenang karena karya-karyanya.
Di akhir hayatnya, Sariamin Ismail meninggal dunia pada 15 Desember 1995 di Pekanbaru dalam usia 86 tahun. Meski sudah cukup lama, namun karya-karyanya akan selalu dikenang dan abadi bersama para pembacanya.
(bim)