Mobilisasi Parsial dan Referendum oleh Rusia, Babak Baru Perang Rusia-Ukraina
loading...
A
A
A
Revy Marlina MA
Dosen Hubungan Internasional di LSPR Jakarta, Pengamat Kebijakan Luar Negeri Rusia dan Resolusi Konflik di Post-Soviet Space
PENGUMUMAN oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada Rabu (21/9/2022), membuka babak baru perang Rusia-Ukraina. Dua poin penting mengenai pengumuman ini adalah 1) Mobilisasi parsial angkatan bersenjatan Rusia yang rencananya akan menambahkan sekitar 300.000 personil dalam perang melawan Ukraina. 2) Vladimir Putin juga akan mendorong referendum yang dimulai kemarin, pada Jumat (23/9/2022) hingga Selasa (27/9/2022) di
empat wilayah, yakni: Luhansk, Donetsk, Zaporizhzha, dan Kherson.
Satu pertanyaan dalam referendum ini adalah: Apakah anda bersedia untuk bergabung dengan federasi Rusia? Pemerintah Ukraina menyatakan bahwa mobilisasi parsial dilakukan dikarenakan kekalahan Rusia di sebelah timur.
Ukraina mengatakan telah merebut kembali 6.000 km persegi (2.317 mil persegi) wilayah dari Rusia di awal bulan ini, ketika memaksa unit Rusia kembali di wilayah Kharkiv. Namun, Sergei Markov, mantan penasihat dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, menyatakan bahwa penambahan pasukan dilakukan sebab jumlah tentara Rusia saat ini dua kali lebih kecil dari jumlah tentara Ukraina.
Baca juga: NATO dan EU: Sejauh Apa Bantuan Mereka terhadap Ukraina?
Hal ini menjadi paradoksial, karena Rusia memiliki jumlah populasi lebih besar dari Ukraina. Terlebih negara Rusia dalam keadaan damai tidak memiliki jumlah tentara yang sama dengan Ukraina dalam keadaan kondisi darurat militer.
Maka itu, Rusia mengubah strategi untuk menyeimbangkan kekuatan militer dengan Ukraina dengan melakukan mobilisasi parsial. Pengumuman yang dilakukan oleh Putin mengenai mobilisasi parsial menimbulkan kerusuhan di dalam negeri.
Sebab tidak hanya angkatan bersenjata yang diminta untuk terjun ke medan perang, namun juga rakyat biasa, seperti mahasiswa yang mendapat panggilan untuk bergabung dalam mobilisasi parsial ini. Alhasil, terjadi bentrokkan di berbagai kota besar di Rusia, seperti Moscow dan St. Petersbug.
Sebagian besar masyarakat melarikan diri dari Rusia ke negara-negara bebas visa. Istanbul, Turki dan Yerevan, Armenia menjadi dua tujuan teratas sebagai tempat tujuan melarikan diri.
Referendum yang dilakukan di empat wilayah, yakni: Luhansk, Donetsk, Zaporizhzha, dan Kherson, mengingatkan kita akan referendum yang dilakukan oleh Rusia delapan tahun lalu, di Krimea pada 2014.
Sama halnya dengan yang terjadi di Krimea, pelaksanaan referendum yang dilakukan di keempat wilayah ini, mengundang reaksi yang sama bagi negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa. Mereka mengecam apa yang dilakukan oleh Rusia, sebab hal ini ilegal, tidak sah dan melanggar prinsip integritas teritorial negara di mata hukum internasional. Walau, Moscow masih dengan landasan bahwa referendum dilakukan untuk melindungi penutur bahasa Rusia di wilayah-wilayah ini akibat penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Ukraina.
Dosen Hubungan Internasional di LSPR Jakarta, Pengamat Kebijakan Luar Negeri Rusia dan Resolusi Konflik di Post-Soviet Space
PENGUMUMAN oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada Rabu (21/9/2022), membuka babak baru perang Rusia-Ukraina. Dua poin penting mengenai pengumuman ini adalah 1) Mobilisasi parsial angkatan bersenjatan Rusia yang rencananya akan menambahkan sekitar 300.000 personil dalam perang melawan Ukraina. 2) Vladimir Putin juga akan mendorong referendum yang dimulai kemarin, pada Jumat (23/9/2022) hingga Selasa (27/9/2022) di
empat wilayah, yakni: Luhansk, Donetsk, Zaporizhzha, dan Kherson.
Satu pertanyaan dalam referendum ini adalah: Apakah anda bersedia untuk bergabung dengan federasi Rusia? Pemerintah Ukraina menyatakan bahwa mobilisasi parsial dilakukan dikarenakan kekalahan Rusia di sebelah timur.
Ukraina mengatakan telah merebut kembali 6.000 km persegi (2.317 mil persegi) wilayah dari Rusia di awal bulan ini, ketika memaksa unit Rusia kembali di wilayah Kharkiv. Namun, Sergei Markov, mantan penasihat dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, menyatakan bahwa penambahan pasukan dilakukan sebab jumlah tentara Rusia saat ini dua kali lebih kecil dari jumlah tentara Ukraina.
Baca juga: NATO dan EU: Sejauh Apa Bantuan Mereka terhadap Ukraina?
Hal ini menjadi paradoksial, karena Rusia memiliki jumlah populasi lebih besar dari Ukraina. Terlebih negara Rusia dalam keadaan damai tidak memiliki jumlah tentara yang sama dengan Ukraina dalam keadaan kondisi darurat militer.
Maka itu, Rusia mengubah strategi untuk menyeimbangkan kekuatan militer dengan Ukraina dengan melakukan mobilisasi parsial. Pengumuman yang dilakukan oleh Putin mengenai mobilisasi parsial menimbulkan kerusuhan di dalam negeri.
Sebab tidak hanya angkatan bersenjata yang diminta untuk terjun ke medan perang, namun juga rakyat biasa, seperti mahasiswa yang mendapat panggilan untuk bergabung dalam mobilisasi parsial ini. Alhasil, terjadi bentrokkan di berbagai kota besar di Rusia, seperti Moscow dan St. Petersbug.
Sebagian besar masyarakat melarikan diri dari Rusia ke negara-negara bebas visa. Istanbul, Turki dan Yerevan, Armenia menjadi dua tujuan teratas sebagai tempat tujuan melarikan diri.
Referendum yang dilakukan di empat wilayah, yakni: Luhansk, Donetsk, Zaporizhzha, dan Kherson, mengingatkan kita akan referendum yang dilakukan oleh Rusia delapan tahun lalu, di Krimea pada 2014.
Sama halnya dengan yang terjadi di Krimea, pelaksanaan referendum yang dilakukan di keempat wilayah ini, mengundang reaksi yang sama bagi negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa. Mereka mengecam apa yang dilakukan oleh Rusia, sebab hal ini ilegal, tidak sah dan melanggar prinsip integritas teritorial negara di mata hukum internasional. Walau, Moscow masih dengan landasan bahwa referendum dilakukan untuk melindungi penutur bahasa Rusia di wilayah-wilayah ini akibat penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Ukraina.