Kado Pahit Hari Tani
loading...
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP),
Bagi petani, 24 September merupakan tanggal keramat. Persis 59 tahun lalu, Presiden Soekarno menetapkan 24 September sebagai Hari Tani. Tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan pengesahan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Mengapa? UUPA merupakan produk anak bangsa yang diniscayakan membalik sistem sosial feodal warisan kolonialisme. Saat itu, sumberdaya agraria dikuasai segelintir elite. UUPA yang bercorak populis hendak membalik kondisi agraria yang tidak adil itu.
Penetapan Hari Tani didasari oleh peran dan posisi penting petani sebagai penopang eksistensi sebuah bangsa. Di negara manapun, baik di negara maju dan lebih-lebih di negara berkembang, posisi dan peran petani tak tergantikan.
Oleh karena itu, di negara maju sekali pun petani ditempatkan sebagai profesi terhormat dan dilindungi negara. Sayangnya, saat UUPA baru dilaksanakan beberapa tahun pergantian rezim terjadi.
Sejak itu sampai saat ini UUPA mati suri: keberadaannya masih legal dan diakui tetapi tak pernah dilaksanakan serius. Akhirnya, cita-cita UUPA memuliakan dan mensejahterakan petani bagai menggantang asap. Petani tetap dalam wajahnya yang dulu; miskin, gurem, udik, dan jauh dari kemajuan.
Di era Presiden Jokowi ada upaya melaksanan UUPA dengan mengeluarkan Perpres Reforma Agraria No 86/2018. Di dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perpres ini masuk peti-es alias tak pernah dibuat.
Perpres Reforma Agraria mengamanatkan adanya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) pusat hingga kabupaten/kota. Semua provinsi dan kabupaten membentuknya.
GTRA mengadakan rakor untuk melihat potensi reforma agraria (RA) dan membahas aduan masyarakat. Hasil putaran GTRA provinsi dan kabupaten melahirkan surat usulan lokasi-lokasi untuk ditetapkan sebagai tanah obyek RA oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang. Ali-alih usulan ditetapkan, dibahas pun tidak (Nurdin, 2022).
Janji-janji membagikan 9 juta hektare (ha) program RA jauh dari realisasi. Sebaliknya, justru terjadi selebrasi program RA semu dalam dua bentuk: perhutanan sosial dan sertifikasi tanah. RA yang dimaksudkan untuk membalik pola penguasaan dan kepemilikan lahan yang timpang tak berubah.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP),
Bagi petani, 24 September merupakan tanggal keramat. Persis 59 tahun lalu, Presiden Soekarno menetapkan 24 September sebagai Hari Tani. Tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan pengesahan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Mengapa? UUPA merupakan produk anak bangsa yang diniscayakan membalik sistem sosial feodal warisan kolonialisme. Saat itu, sumberdaya agraria dikuasai segelintir elite. UUPA yang bercorak populis hendak membalik kondisi agraria yang tidak adil itu.
Penetapan Hari Tani didasari oleh peran dan posisi penting petani sebagai penopang eksistensi sebuah bangsa. Di negara manapun, baik di negara maju dan lebih-lebih di negara berkembang, posisi dan peran petani tak tergantikan.
Oleh karena itu, di negara maju sekali pun petani ditempatkan sebagai profesi terhormat dan dilindungi negara. Sayangnya, saat UUPA baru dilaksanakan beberapa tahun pergantian rezim terjadi.
Sejak itu sampai saat ini UUPA mati suri: keberadaannya masih legal dan diakui tetapi tak pernah dilaksanakan serius. Akhirnya, cita-cita UUPA memuliakan dan mensejahterakan petani bagai menggantang asap. Petani tetap dalam wajahnya yang dulu; miskin, gurem, udik, dan jauh dari kemajuan.
Di era Presiden Jokowi ada upaya melaksanan UUPA dengan mengeluarkan Perpres Reforma Agraria No 86/2018. Di dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perpres ini masuk peti-es alias tak pernah dibuat.
Perpres Reforma Agraria mengamanatkan adanya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) pusat hingga kabupaten/kota. Semua provinsi dan kabupaten membentuknya.
GTRA mengadakan rakor untuk melihat potensi reforma agraria (RA) dan membahas aduan masyarakat. Hasil putaran GTRA provinsi dan kabupaten melahirkan surat usulan lokasi-lokasi untuk ditetapkan sebagai tanah obyek RA oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang. Ali-alih usulan ditetapkan, dibahas pun tidak (Nurdin, 2022).
Janji-janji membagikan 9 juta hektare (ha) program RA jauh dari realisasi. Sebaliknya, justru terjadi selebrasi program RA semu dalam dua bentuk: perhutanan sosial dan sertifikasi tanah. RA yang dimaksudkan untuk membalik pola penguasaan dan kepemilikan lahan yang timpang tak berubah.