Cerdas Berdemokrasi Pancasila
loading...
A
A
A
Parameter Pancasila
Dalam rangka menambal kecacatan demokrasi versi EIU, atau lemahnya kebebasan sipil versi IDI tersebut, maka kualitas demokrasi menuju Pilpres 2024 perlu diperkuat. Ini berarti, wacana Pilpres 2024 baiknya tidak melulu soal siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden, tetapi sejauh mana budaya demokrasi menguat untuk melahirkan pilpres yang berkualitas.
Jika Pilpres 2024 ingin diadakan demi memperkuat kualitas demokrasi, maka terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Mengapa Pancasila? Karena Pancasila merupakan filsafat dasar negara Indonesia yang sempurna bagi perumusan sistem dan praktik demokrasi.
Pertama, demokrasi adalah upaya bangsa Indonesia untuk membangun kedaulatan rakyat sebagai praksis dari kedaulatan Tuhan. Ini merupakan landasan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi demokrasi, yang disebut Teo-Demokrasi (demokrasi berketuhanan). Dalam prinsip ini, berdemokrasi merupakan perintah agama dengan inti nilai perwujudan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan kepemimpinan yang diperintahkan Tuhan.
Untuk itu, dalam demokrasi Indonesia, tidak ada sekularisme, sehingga demokrasi tidak bisa diharamkan atas nama agama.
Kedua, demokrasi sebagai sistem politik yang melindungi dan memenuhi Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, tujuan dari demokrasi bukanlah suksesi kekuasaan sehingga melahirkan apa yang disebut Max Weber (1921) sebagai “demokrasi Kaisaris”, yakni demokrasi yang hanya memilih pergantian para Kaisar.
Melampaui itu, demokrasi Indonesia ialah demokrasi yang diabdikan untuk memuliakan HAM dari warga negara. Dimensi HAM yang dipenuhi meluas, dari hak sipil-politik, hingga hak sosial-ekomi dan budaya.
Ketiga, demokrasi tidak hanya bernuansa politik (kekuasaan), tetapi juga kebangsaan. Artinya, praktik demokrasi didasarkan pada kesadaran untuk menjaga keutuhan bangsa. Untuk itu, politisasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dilarang dalam demokrasi, karena ia merusak persatuan bangsa.
Keempat, sistem demokrasi di Indonesia mengacu pada model demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), melalui perluasan musyawarah (deliberasi), bukan hanya antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, tetapi juga antara negara dan masyarakat sipil (civil society). Hal ini dilakukan melalui aktivasi nalar publik (public reason) untuk mengkritisi dan menyempurnakan kebijakan negara di dalam ruang publik (public sphere).
Dalam hal ini, media dan dunia digital bisa menjadi ruang publik yang menguatkan peran opini publik (public opinion) dalam meyempurnakan kebijakan negara. Hanya melalui metode ini, maka ideal demokrasi langsung (direct democracy) bisa diwujudkan melalui demokrasi perwakilan (representative democracy).
Perluasan musyawarah dalam demokrasi Pancasila disebabkan pada tujuan utama demokrasi, yakni kesejahteraan rakyat (sila kelima) serta ranah perjuangannya, yakni pemuliaan kemanusiaan (sila kedua). Oleh karenanya, ruang demokrasi tidak bisa terbatas di lembaga-lembaga negara, tetapi harus diperluas ke ruang publik, dimana rakyat bisa mengakses proses perumusan kebijakan publik.
Dalam rangka menambal kecacatan demokrasi versi EIU, atau lemahnya kebebasan sipil versi IDI tersebut, maka kualitas demokrasi menuju Pilpres 2024 perlu diperkuat. Ini berarti, wacana Pilpres 2024 baiknya tidak melulu soal siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden, tetapi sejauh mana budaya demokrasi menguat untuk melahirkan pilpres yang berkualitas.
Jika Pilpres 2024 ingin diadakan demi memperkuat kualitas demokrasi, maka terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Mengapa Pancasila? Karena Pancasila merupakan filsafat dasar negara Indonesia yang sempurna bagi perumusan sistem dan praktik demokrasi.
Pertama, demokrasi adalah upaya bangsa Indonesia untuk membangun kedaulatan rakyat sebagai praksis dari kedaulatan Tuhan. Ini merupakan landasan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi demokrasi, yang disebut Teo-Demokrasi (demokrasi berketuhanan). Dalam prinsip ini, berdemokrasi merupakan perintah agama dengan inti nilai perwujudan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan kepemimpinan yang diperintahkan Tuhan.
Untuk itu, dalam demokrasi Indonesia, tidak ada sekularisme, sehingga demokrasi tidak bisa diharamkan atas nama agama.
Kedua, demokrasi sebagai sistem politik yang melindungi dan memenuhi Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, tujuan dari demokrasi bukanlah suksesi kekuasaan sehingga melahirkan apa yang disebut Max Weber (1921) sebagai “demokrasi Kaisaris”, yakni demokrasi yang hanya memilih pergantian para Kaisar.
Melampaui itu, demokrasi Indonesia ialah demokrasi yang diabdikan untuk memuliakan HAM dari warga negara. Dimensi HAM yang dipenuhi meluas, dari hak sipil-politik, hingga hak sosial-ekomi dan budaya.
Ketiga, demokrasi tidak hanya bernuansa politik (kekuasaan), tetapi juga kebangsaan. Artinya, praktik demokrasi didasarkan pada kesadaran untuk menjaga keutuhan bangsa. Untuk itu, politisasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dilarang dalam demokrasi, karena ia merusak persatuan bangsa.
Keempat, sistem demokrasi di Indonesia mengacu pada model demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), melalui perluasan musyawarah (deliberasi), bukan hanya antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, tetapi juga antara negara dan masyarakat sipil (civil society). Hal ini dilakukan melalui aktivasi nalar publik (public reason) untuk mengkritisi dan menyempurnakan kebijakan negara di dalam ruang publik (public sphere).
Dalam hal ini, media dan dunia digital bisa menjadi ruang publik yang menguatkan peran opini publik (public opinion) dalam meyempurnakan kebijakan negara. Hanya melalui metode ini, maka ideal demokrasi langsung (direct democracy) bisa diwujudkan melalui demokrasi perwakilan (representative democracy).
Perluasan musyawarah dalam demokrasi Pancasila disebabkan pada tujuan utama demokrasi, yakni kesejahteraan rakyat (sila kelima) serta ranah perjuangannya, yakni pemuliaan kemanusiaan (sila kedua). Oleh karenanya, ruang demokrasi tidak bisa terbatas di lembaga-lembaga negara, tetapi harus diperluas ke ruang publik, dimana rakyat bisa mengakses proses perumusan kebijakan publik.