Cerdas Berdemokrasi Pancasila
loading...
A
A
A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
PADA 5 September lalu, Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI mengadakan webinar bertema Cerdas Berdemokrasi. Webinar ini mengurai tantangan demokrasi di era digital dengan tujuan mendorong generasi milenial aktif berdemokrasi.
Penulis menjadi pembicara dalam webinar tersebut bersama anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono dan pendiri Taman Bintang Indonesia, Faida Indana. Dalam webinar itu, penulis mengurai tantangan demokrasi terutama menjelang Pemilihan Presiden 2024, serta upaya penguatan kualitas demokrasi berdasarkan Pancasila.
Artinya, menjelang Pilpres 2024, kita berada dalam kualitas tertentu dari demokrasi. Pemahaman terhadap kualitas ini dibutuhkan agar pilpres ke depan bisa meningkatkan kualitas tersebut, bukan malah memperburuk.
Kualitas demokrasi kita telah dinilai oleh beberapa pihak, baik luar negeri maupun dalam negeri. Survei internasional oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang Indeks Demokrasi Global 2020 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 167 negara dengan skor 6,3.
Dengan skor ini, Indonesia dimasukkan dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Indikatornya meliputi; pemilu dan kemajemukan (7,92), fungsi dan kinerja pemerintah (7,50), partisipasi politik (6,11), budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,59). Dari indikator tersebut, faktor terendah demokrasi kita ialah budaya politik dan kebebasan sipil.
Lemahnya budaya politik dan kebebasan sipil ini diafirmasi oleh Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut IDI, skor ancaman atau penggunaan kekerasan masyarakat yang menghambat kebebasan sipil naik dari 2019 (83,82), menjadi 86,95 pada 2020.
Pada saat bersamaan, ancaman atau penggunaan kekerasan aparat pemerintah yang menghambat kebebasan sipil menurun dari 2019 (65,69) menjadi 58,82 pada 2020.
Berbagai penilaian ini menunjukkan bahwa pada level budaya politik, demokrasi kita masih memiliki titik lemah. Artinya, nilai-nilai demokrasi belum dipahami, dihayati dan dipraktikkan oleh masyarakat sebagai nilai-nilai luhur yang disadari keluhurannya. Pentingnya penguatan budaya politik karena ia menjadi bagian dari parameter konsolidasi demokrasi.
Sebagaimana kita ketahui, demokrasi disebut terkonsolidasi ketika mengalami tiga hal. Pertama, suksesi kekuasaan dilakukan secara periodik melalui pemilihan umum. Artinya, suksesi tidak terjadi melalui kudeta dan hal-hal yang bersifat ekstra-parlementer.
Kedua, dinamika politik dikelola melalui mekanisme hukum. Artinya, dinamika politik tidak menimbulkan konflik karena dikelola berdasarkan otoritas hukum. Ketiga, kuatnya budaya kewargaan (civic culture) yang menopang budaya demokrasi. Budaya kewargaan, atau budaya masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai kewarganegaraan modern merupakan landasan kultural bagi tegaknya budaya demokrasi.
Parameter Pancasila
Dalam rangka menambal kecacatan demokrasi versi EIU, atau lemahnya kebebasan sipil versi IDI tersebut, maka kualitas demokrasi menuju Pilpres 2024 perlu diperkuat. Ini berarti, wacana Pilpres 2024 baiknya tidak melulu soal siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden, tetapi sejauh mana budaya demokrasi menguat untuk melahirkan pilpres yang berkualitas.
Jika Pilpres 2024 ingin diadakan demi memperkuat kualitas demokrasi, maka terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Mengapa Pancasila? Karena Pancasila merupakan filsafat dasar negara Indonesia yang sempurna bagi perumusan sistem dan praktik demokrasi.
Pertama, demokrasi adalah upaya bangsa Indonesia untuk membangun kedaulatan rakyat sebagai praksis dari kedaulatan Tuhan. Ini merupakan landasan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi demokrasi, yang disebut Teo-Demokrasi (demokrasi berketuhanan). Dalam prinsip ini, berdemokrasi merupakan perintah agama dengan inti nilai perwujudan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan kepemimpinan yang diperintahkan Tuhan.
Untuk itu, dalam demokrasi Indonesia, tidak ada sekularisme, sehingga demokrasi tidak bisa diharamkan atas nama agama.
Kedua, demokrasi sebagai sistem politik yang melindungi dan memenuhi Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, tujuan dari demokrasi bukanlah suksesi kekuasaan sehingga melahirkan apa yang disebut Max Weber (1921) sebagai “demokrasi Kaisaris”, yakni demokrasi yang hanya memilih pergantian para Kaisar.
Melampaui itu, demokrasi Indonesia ialah demokrasi yang diabdikan untuk memuliakan HAM dari warga negara. Dimensi HAM yang dipenuhi meluas, dari hak sipil-politik, hingga hak sosial-ekomi dan budaya.
Ketiga, demokrasi tidak hanya bernuansa politik (kekuasaan), tetapi juga kebangsaan. Artinya, praktik demokrasi didasarkan pada kesadaran untuk menjaga keutuhan bangsa. Untuk itu, politisasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dilarang dalam demokrasi, karena ia merusak persatuan bangsa.
Keempat, sistem demokrasi di Indonesia mengacu pada model demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), melalui perluasan musyawarah (deliberasi), bukan hanya antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, tetapi juga antara negara dan masyarakat sipil (civil society). Hal ini dilakukan melalui aktivasi nalar publik (public reason) untuk mengkritisi dan menyempurnakan kebijakan negara di dalam ruang publik (public sphere).
Dalam hal ini, media dan dunia digital bisa menjadi ruang publik yang menguatkan peran opini publik (public opinion) dalam meyempurnakan kebijakan negara. Hanya melalui metode ini, maka ideal demokrasi langsung (direct democracy) bisa diwujudkan melalui demokrasi perwakilan (representative democracy).
Perluasan musyawarah dalam demokrasi Pancasila disebabkan pada tujuan utama demokrasi, yakni kesejahteraan rakyat (sila kelima) serta ranah perjuangannya, yakni pemuliaan kemanusiaan (sila kedua). Oleh karenanya, ruang demokrasi tidak bisa terbatas di lembaga-lembaga negara, tetapi harus diperluas ke ruang publik, dimana rakyat bisa mengakses proses perumusan kebijakan publik.
Kelima, demokrasi tidak hanya memenuhi hak-hak politik (memilih dan dipilih dalam pemilu), akan tetapi kewajiban negara dalam menyejahterakan rakyat. Artinya, tujuan demokrasi bukanlah suksesnya pemilu dan pilpres, tetapi suksesnya parlemen dan pemerintah terpilih dalam mewujudkan kebijakan yang pro-rakyat.
Landasan lima sila Pancasila tersebut, mesti dipahami serta dipraktikkan oleh setiap warga negara dalam berdemokrasi, terutama menjelang Pilpres 2024. Pengamalan atas parameter demokrasi Pancasila tersebut menjadi ukuran kecerdasan kita dalam berdemokrasi. Jika tidak, maka demokrasi kita akan senantiasa dinilai cacat oleh dunia internasional, sebab budaya demokrasi dan kualitas pemerintahan yang masih jauh dari idealitas demokrasi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
PADA 5 September lalu, Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI mengadakan webinar bertema Cerdas Berdemokrasi. Webinar ini mengurai tantangan demokrasi di era digital dengan tujuan mendorong generasi milenial aktif berdemokrasi.
Penulis menjadi pembicara dalam webinar tersebut bersama anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono dan pendiri Taman Bintang Indonesia, Faida Indana. Dalam webinar itu, penulis mengurai tantangan demokrasi terutama menjelang Pemilihan Presiden 2024, serta upaya penguatan kualitas demokrasi berdasarkan Pancasila.
Artinya, menjelang Pilpres 2024, kita berada dalam kualitas tertentu dari demokrasi. Pemahaman terhadap kualitas ini dibutuhkan agar pilpres ke depan bisa meningkatkan kualitas tersebut, bukan malah memperburuk.
Kualitas demokrasi kita telah dinilai oleh beberapa pihak, baik luar negeri maupun dalam negeri. Survei internasional oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang Indeks Demokrasi Global 2020 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 167 negara dengan skor 6,3.
Dengan skor ini, Indonesia dimasukkan dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Indikatornya meliputi; pemilu dan kemajemukan (7,92), fungsi dan kinerja pemerintah (7,50), partisipasi politik (6,11), budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,59). Dari indikator tersebut, faktor terendah demokrasi kita ialah budaya politik dan kebebasan sipil.
Lemahnya budaya politik dan kebebasan sipil ini diafirmasi oleh Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut IDI, skor ancaman atau penggunaan kekerasan masyarakat yang menghambat kebebasan sipil naik dari 2019 (83,82), menjadi 86,95 pada 2020.
Pada saat bersamaan, ancaman atau penggunaan kekerasan aparat pemerintah yang menghambat kebebasan sipil menurun dari 2019 (65,69) menjadi 58,82 pada 2020.
Berbagai penilaian ini menunjukkan bahwa pada level budaya politik, demokrasi kita masih memiliki titik lemah. Artinya, nilai-nilai demokrasi belum dipahami, dihayati dan dipraktikkan oleh masyarakat sebagai nilai-nilai luhur yang disadari keluhurannya. Pentingnya penguatan budaya politik karena ia menjadi bagian dari parameter konsolidasi demokrasi.
Sebagaimana kita ketahui, demokrasi disebut terkonsolidasi ketika mengalami tiga hal. Pertama, suksesi kekuasaan dilakukan secara periodik melalui pemilihan umum. Artinya, suksesi tidak terjadi melalui kudeta dan hal-hal yang bersifat ekstra-parlementer.
Kedua, dinamika politik dikelola melalui mekanisme hukum. Artinya, dinamika politik tidak menimbulkan konflik karena dikelola berdasarkan otoritas hukum. Ketiga, kuatnya budaya kewargaan (civic culture) yang menopang budaya demokrasi. Budaya kewargaan, atau budaya masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai kewarganegaraan modern merupakan landasan kultural bagi tegaknya budaya demokrasi.
Parameter Pancasila
Dalam rangka menambal kecacatan demokrasi versi EIU, atau lemahnya kebebasan sipil versi IDI tersebut, maka kualitas demokrasi menuju Pilpres 2024 perlu diperkuat. Ini berarti, wacana Pilpres 2024 baiknya tidak melulu soal siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden, tetapi sejauh mana budaya demokrasi menguat untuk melahirkan pilpres yang berkualitas.
Jika Pilpres 2024 ingin diadakan demi memperkuat kualitas demokrasi, maka terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Mengapa Pancasila? Karena Pancasila merupakan filsafat dasar negara Indonesia yang sempurna bagi perumusan sistem dan praktik demokrasi.
Pertama, demokrasi adalah upaya bangsa Indonesia untuk membangun kedaulatan rakyat sebagai praksis dari kedaulatan Tuhan. Ini merupakan landasan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi demokrasi, yang disebut Teo-Demokrasi (demokrasi berketuhanan). Dalam prinsip ini, berdemokrasi merupakan perintah agama dengan inti nilai perwujudan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan kepemimpinan yang diperintahkan Tuhan.
Untuk itu, dalam demokrasi Indonesia, tidak ada sekularisme, sehingga demokrasi tidak bisa diharamkan atas nama agama.
Kedua, demokrasi sebagai sistem politik yang melindungi dan memenuhi Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, tujuan dari demokrasi bukanlah suksesi kekuasaan sehingga melahirkan apa yang disebut Max Weber (1921) sebagai “demokrasi Kaisaris”, yakni demokrasi yang hanya memilih pergantian para Kaisar.
Melampaui itu, demokrasi Indonesia ialah demokrasi yang diabdikan untuk memuliakan HAM dari warga negara. Dimensi HAM yang dipenuhi meluas, dari hak sipil-politik, hingga hak sosial-ekomi dan budaya.
Ketiga, demokrasi tidak hanya bernuansa politik (kekuasaan), tetapi juga kebangsaan. Artinya, praktik demokrasi didasarkan pada kesadaran untuk menjaga keutuhan bangsa. Untuk itu, politisasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dilarang dalam demokrasi, karena ia merusak persatuan bangsa.
Keempat, sistem demokrasi di Indonesia mengacu pada model demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), melalui perluasan musyawarah (deliberasi), bukan hanya antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, tetapi juga antara negara dan masyarakat sipil (civil society). Hal ini dilakukan melalui aktivasi nalar publik (public reason) untuk mengkritisi dan menyempurnakan kebijakan negara di dalam ruang publik (public sphere).
Dalam hal ini, media dan dunia digital bisa menjadi ruang publik yang menguatkan peran opini publik (public opinion) dalam meyempurnakan kebijakan negara. Hanya melalui metode ini, maka ideal demokrasi langsung (direct democracy) bisa diwujudkan melalui demokrasi perwakilan (representative democracy).
Perluasan musyawarah dalam demokrasi Pancasila disebabkan pada tujuan utama demokrasi, yakni kesejahteraan rakyat (sila kelima) serta ranah perjuangannya, yakni pemuliaan kemanusiaan (sila kedua). Oleh karenanya, ruang demokrasi tidak bisa terbatas di lembaga-lembaga negara, tetapi harus diperluas ke ruang publik, dimana rakyat bisa mengakses proses perumusan kebijakan publik.
Kelima, demokrasi tidak hanya memenuhi hak-hak politik (memilih dan dipilih dalam pemilu), akan tetapi kewajiban negara dalam menyejahterakan rakyat. Artinya, tujuan demokrasi bukanlah suksesnya pemilu dan pilpres, tetapi suksesnya parlemen dan pemerintah terpilih dalam mewujudkan kebijakan yang pro-rakyat.
Landasan lima sila Pancasila tersebut, mesti dipahami serta dipraktikkan oleh setiap warga negara dalam berdemokrasi, terutama menjelang Pilpres 2024. Pengamalan atas parameter demokrasi Pancasila tersebut menjadi ukuran kecerdasan kita dalam berdemokrasi. Jika tidak, maka demokrasi kita akan senantiasa dinilai cacat oleh dunia internasional, sebab budaya demokrasi dan kualitas pemerintahan yang masih jauh dari idealitas demokrasi.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)