Perihal Anak PC: Perspektif Moral
loading...
A
A
A
Lantas, bagaimana dengan PC? Dalam filsafat moral, kaum moralis yang menganut paham absolustime moral menghendakkan pemisah yang tegas dan keras antara ‘yang benar’ dan ‘yang salah’.
Tidak boleh ada kompromi—apalagi membenarkan ‘yang salah’ demi keuntungan yang lebih besar seperti logika kaum utilitarian! Kaum moralis yang menganut relativisme moral menghendaki kontekstualisasi tafsir moral atas suatu tindakan berdasarkan pertimbangan keadaan, implikasi, dan nilai gunanya.
Posisi moral saya soal ini begini; Diskriminasi harus dikutuk, tetapi faktum diskriminasi yang dialami ibu yang lain tidak bisa membatalkan keberpihakan moral terhadap anak dari PC. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa PC tidak boleh ditahan. Kita harus hati-hati menafsir kalimat ini!
Komnas Perlindungan Anak bertugas memikirkan hal itu, apa langkah tepat untuk melindungi anak PC tanpa merusak proses hukum terhadap ibunya. Keadilan harus ditegakkan, tetapi dengan mempertimbangkan selalu kesadaran kemanusiaan. Itulah sebabnya saya berpihak pada anak PC, tetapi bukan pada PC dan FS!
Keberpihakan itu murni karena menghendaki anak kecil tak berdosa itu terhindar dari luka yang berlapis: dibuli, lalu kehilangan perhatian dari orang dewasa dalam masa pertumbuhannya. Negara harus memikirkan pihak mana yang tepat untuk merawat anak PC tanpa merusak proses hukum terhadap ibunya.
Konteks Kedua
Kita bersyukur pada berita ini karena dengan ini masyarakat Indonesia menyadari adanya sengkarut hukum dalam kasus ibu yang memiliki bayi, disusul praktek diskriminasi dalam penanganannya.
Saya sendiri pun baru menyadari isu seperti ini ketika diundang oleh televisi membahas nasib anak PC. Jadi, tidak ada intensi untuk hanya membela anak PC, tetapi murni untuk membela anak-anak. Kebijaksanaan memang membutuhkan materialisasi yang praktis dan mudah dipahami.
Di situ saya merasa kurang ahli karena sulit membahasakan prinsip moral yang rumit ke dalam bahasa yang sederhana. Akibatnya, tafsir menjadi liar dan leluasa. Namun, sekali lagi, kita berterimakasih pada media massa yang kritis mendiskusikan isu penting macam ini.
Konteks Ketiga
Sebagian simpatisan berpikir, karena Ibunda Joshua sudah terluka, maka PC pun juga harus rela jauh dari anaknya dan perlu ditahan segera. Saya kira itu masuk akal.
Tetapi, kembali pada dilema moral, hukum akan sulit merumuskan tindakan dalam situasi macam ini. Itu sebabnya, saya katakan di awal, ini wilayah liabilitas Komnas Perlindungan Anak.
Tidak boleh ada kompromi—apalagi membenarkan ‘yang salah’ demi keuntungan yang lebih besar seperti logika kaum utilitarian! Kaum moralis yang menganut relativisme moral menghendaki kontekstualisasi tafsir moral atas suatu tindakan berdasarkan pertimbangan keadaan, implikasi, dan nilai gunanya.
Posisi moral saya soal ini begini; Diskriminasi harus dikutuk, tetapi faktum diskriminasi yang dialami ibu yang lain tidak bisa membatalkan keberpihakan moral terhadap anak dari PC. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa PC tidak boleh ditahan. Kita harus hati-hati menafsir kalimat ini!
Komnas Perlindungan Anak bertugas memikirkan hal itu, apa langkah tepat untuk melindungi anak PC tanpa merusak proses hukum terhadap ibunya. Keadilan harus ditegakkan, tetapi dengan mempertimbangkan selalu kesadaran kemanusiaan. Itulah sebabnya saya berpihak pada anak PC, tetapi bukan pada PC dan FS!
Keberpihakan itu murni karena menghendaki anak kecil tak berdosa itu terhindar dari luka yang berlapis: dibuli, lalu kehilangan perhatian dari orang dewasa dalam masa pertumbuhannya. Negara harus memikirkan pihak mana yang tepat untuk merawat anak PC tanpa merusak proses hukum terhadap ibunya.
Konteks Kedua
Kita bersyukur pada berita ini karena dengan ini masyarakat Indonesia menyadari adanya sengkarut hukum dalam kasus ibu yang memiliki bayi, disusul praktek diskriminasi dalam penanganannya.
Saya sendiri pun baru menyadari isu seperti ini ketika diundang oleh televisi membahas nasib anak PC. Jadi, tidak ada intensi untuk hanya membela anak PC, tetapi murni untuk membela anak-anak. Kebijaksanaan memang membutuhkan materialisasi yang praktis dan mudah dipahami.
Di situ saya merasa kurang ahli karena sulit membahasakan prinsip moral yang rumit ke dalam bahasa yang sederhana. Akibatnya, tafsir menjadi liar dan leluasa. Namun, sekali lagi, kita berterimakasih pada media massa yang kritis mendiskusikan isu penting macam ini.
Konteks Ketiga
Sebagian simpatisan berpikir, karena Ibunda Joshua sudah terluka, maka PC pun juga harus rela jauh dari anaknya dan perlu ditahan segera. Saya kira itu masuk akal.
Tetapi, kembali pada dilema moral, hukum akan sulit merumuskan tindakan dalam situasi macam ini. Itu sebabnya, saya katakan di awal, ini wilayah liabilitas Komnas Perlindungan Anak.