Obral Bebas Bersyarat Para Napi Koruptor
loading...
A
A
A
Lonceng kematian pemberantasan korupsi bergema sangat kencang seiring dengan bebasnya 23 napi kasus korupsi. Pemberian fasilitas dalam program pembebasan bersyarat bagi puluhan napi korupsi tersebut menunjukkan belum berpihaknya para penegak hukum pada upaya pemberantasan korupsi.
Adalah mantanJaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) Pinangki Sirna Malasari merupakan salah satu dari 23 napi yang kini mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Dia menghirup udara bebas setelah mendapat pembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham. Pinanki ini cukup menarik perhatian publik karena berbagai putusan yang diterimanya terkesan tidak bisa dinalar akal sehat.
Bayangkan saja, pada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), hakim menjatuhkan hukuman terhadap Pinangki 10 tahun penjara. Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu terbukti menerima suap sebesar USD500.000 dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Selain itu, dia juga terbukti melakukan pencucian uang senilai USD375.279 atau setara Rp5,25 miliar.
Namun, hukuman tersebut disunat oleh hakim di Pengadilan Tinggi hingga tersisa 4 tahun. Dan uniknya, jaksa tidak mengajukan kasasi atas vonis rendah di Pengadilan Tinggi. Padahal kejahatan yang dilakukan Pinangki sebagai aparat hukum cukup berat. Sehingga baru sekitar 2 tahun,
Pinanki sudah bisa menghirup udara bebas. Seharusnya penegak hukum jika melakukan pelanggaran hukum hukumnya lebih berat. Tapi Pinangki tidak menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang dilakukannya.
Selain Pinanki, para napi korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat di antaranya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar; mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, hingga mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Apapun alasannya pemberian pembebasan bersyarat bagi para napi kasus korupsi sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Dengan hukuman yang ringan yang dijalani para napi koruptor akan berdampak serius pada masa depan pemberantasan korupsi di negara ini. Yang paling utama adalah penegakan hukum yang dilakukan tidak akan memberikan efek jera.
Artinya, orang tidak akan takut melakukan korupsi. Bahkan, mereka bisa jadi akan semakin getol dalam menggarong uang rakyat.
Kedua, dengan kebijakan pembebasan bersyarat ini justru akan membuat para penegak hukum kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah dan penegak hukum dianggap ambigu dalam menjalankan kebijakannya.
Di satu sisi, mereka sangat getol berteriak anti korupsi namun di sisi lain kebijakan yang dilakukan tidak menunjukkan hal tersebut. Padahal dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum sangat penting untuk bisa memerangi korupsi dari bumi Indonesia.
Kita semua tahu bahwa pembebasan bersyarat yang diberikan kepada para napi korupsi itu memang tidak melanggar aturan. Namun, di tengah kondisi negara ini yang sudah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sudah semestinya membuat aturan yang lebih ketat terhadap koruptor. Jangan malah membuat aturan yang ramah terhadap koruptor. Sehingga jangan heran jika korupsi akan semakin merajalela di negara ini.
Alih-alih para koruptor dijatuhi dihukum mati supaya memberikan efek jera, untuk bisa melihat koruptor dihukum berat pun akan menjadi pemandangan langka. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut rata-rata vonis kasus korupsi sepanjang 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Melihat rendahnya hukuman. Bagi para koruptor ini sulit rasanya kita membayangkan Indonesia akan bebas dari korupsi.
Fenomena di atas sudah seharusnya menjadi catatan penting bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama para penegak hukum yang diberikan amanah untuk memberantas korupsi.
Pemerintah memang tidak bisa ikut campur secara langsung. Namun, pemerintah bisa menciptakan kondisi dan regulasi yang tidak mempermudah para napi korupsi bisa vepat menghirup udara bebas.
Misalnya, dengan mengeluarkan aturan tidak ada remisi atau pembebasan bersyarat bagi koruptor. Aturan ini sah-sah saja dibuat karena dampak yang diakibatkan oleh koruptor sangat dahsyat. Korupsi telah membuat negara ini sulit untuk maju.
Adalah mantanJaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) Pinangki Sirna Malasari merupakan salah satu dari 23 napi yang kini mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Dia menghirup udara bebas setelah mendapat pembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham. Pinanki ini cukup menarik perhatian publik karena berbagai putusan yang diterimanya terkesan tidak bisa dinalar akal sehat.
Bayangkan saja, pada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), hakim menjatuhkan hukuman terhadap Pinangki 10 tahun penjara. Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu terbukti menerima suap sebesar USD500.000 dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Selain itu, dia juga terbukti melakukan pencucian uang senilai USD375.279 atau setara Rp5,25 miliar.
Namun, hukuman tersebut disunat oleh hakim di Pengadilan Tinggi hingga tersisa 4 tahun. Dan uniknya, jaksa tidak mengajukan kasasi atas vonis rendah di Pengadilan Tinggi. Padahal kejahatan yang dilakukan Pinangki sebagai aparat hukum cukup berat. Sehingga baru sekitar 2 tahun,
Pinanki sudah bisa menghirup udara bebas. Seharusnya penegak hukum jika melakukan pelanggaran hukum hukumnya lebih berat. Tapi Pinangki tidak menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang dilakukannya.
Selain Pinanki, para napi korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat di antaranya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar; mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, hingga mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Apapun alasannya pemberian pembebasan bersyarat bagi para napi kasus korupsi sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Dengan hukuman yang ringan yang dijalani para napi koruptor akan berdampak serius pada masa depan pemberantasan korupsi di negara ini. Yang paling utama adalah penegakan hukum yang dilakukan tidak akan memberikan efek jera.
Artinya, orang tidak akan takut melakukan korupsi. Bahkan, mereka bisa jadi akan semakin getol dalam menggarong uang rakyat.
Kedua, dengan kebijakan pembebasan bersyarat ini justru akan membuat para penegak hukum kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah dan penegak hukum dianggap ambigu dalam menjalankan kebijakannya.
Di satu sisi, mereka sangat getol berteriak anti korupsi namun di sisi lain kebijakan yang dilakukan tidak menunjukkan hal tersebut. Padahal dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum sangat penting untuk bisa memerangi korupsi dari bumi Indonesia.
Kita semua tahu bahwa pembebasan bersyarat yang diberikan kepada para napi korupsi itu memang tidak melanggar aturan. Namun, di tengah kondisi negara ini yang sudah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sudah semestinya membuat aturan yang lebih ketat terhadap koruptor. Jangan malah membuat aturan yang ramah terhadap koruptor. Sehingga jangan heran jika korupsi akan semakin merajalela di negara ini.
Alih-alih para koruptor dijatuhi dihukum mati supaya memberikan efek jera, untuk bisa melihat koruptor dihukum berat pun akan menjadi pemandangan langka. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut rata-rata vonis kasus korupsi sepanjang 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Melihat rendahnya hukuman. Bagi para koruptor ini sulit rasanya kita membayangkan Indonesia akan bebas dari korupsi.
Fenomena di atas sudah seharusnya menjadi catatan penting bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama para penegak hukum yang diberikan amanah untuk memberantas korupsi.
Pemerintah memang tidak bisa ikut campur secara langsung. Namun, pemerintah bisa menciptakan kondisi dan regulasi yang tidak mempermudah para napi korupsi bisa vepat menghirup udara bebas.
Misalnya, dengan mengeluarkan aturan tidak ada remisi atau pembebasan bersyarat bagi koruptor. Aturan ini sah-sah saja dibuat karena dampak yang diakibatkan oleh koruptor sangat dahsyat. Korupsi telah membuat negara ini sulit untuk maju.
(ynt)