Setelah Harga BBM Naik, Apalagi?
loading...
A
A
A
Sabtu (3/9) lalu, harga bahan bakar minyak (BBM) resmi naik .Harga pertalite yang sebelumnya Rp7.650 per liter berganti harga menjadi Rp10.000 per liter dan harga solar bersubsidi yang sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Selain itu, harga pertamax juga mengalami penyesuaian, dari Rp12.500 menjadi Rp14.500.
Kenaikan harga BBM ini tentu saja bukan kabar baik buat masyarakat. Musababnya, setiap kali kenaikan harga energi diterapkan, imbasnya merembet ke mana-mana. Yang paling terasa adalah harga ongkos transportasi seperti angkutan kota, bus, atau ojek. Belum lagi harga barang kebutuhan pokok yang juga biasanya turut ‘menyesuaikan’ kendati mungkin saja porsi harga BBM bukan mayoritas sebagai penentu harga barang.
Seiring dengan kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah memang menyiapkan bantuan sosial sebagai bantalan untuk mengurangi dampak kenaikan harga. Nilainya mencapai Rp24,17 triliun. Rinciannya, pertama berupa bantuan langsung tunai untuk 20,65 juta keluarga penerima manfaat dengan anggaran Rp12,4 triliun. Setiap keluarga penerima manfaat akan menerima dana Rp600.000, yang akan dibayarkan empat kali dengan nominal Rp150.000 per bulan.
Kedua, bantuan sosial upah Rp600.000 bagi 16 juta pekerja yang bergaji kurang dari Rp3,5 juta per bulan. Anggaran ini disediakan sebanyak Rp9,6 triliun. Adapun yang ketiga adalahsubsidi transportasi angkutan umum melalui pemerintah daerah (pemda) senilai Rp 2,17 triliun. Subsidi ini menyasar sektor transportasi, angkutan umum, ojek dan nelayan.
Gelontoran bantuan uang tunai tersebut diharapkan dapat mengurangi risiko dampak rentetan dari kenaikan harga BBM. Lebih jauh lagi, aneka bantuan tersebut digadang-gadang bisa membantu daya beli masyarakat sehingga inflasi bisa lebih terkendali.
Pertanyaannya, benarkah beragam subsidi itu bisa mengerem kenaikan harga-harga barang? Pasalnya, sebelum harga BBM dinaikkan saja harga sejumlah barang di pasaraan sudah naik. Lihat saja harga cabai, telur, dan sebelumnya minyak goreng. Apalagi dengan alasan kenaikan harga BBM, rasanya akan sulit mencegah kenaikan harga-harga yang membebani rumah tangga.
Ihwal kenaikan harg BBM ini, pemerintah punya argumen tersendiri karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap sudah kewalahan menanggung beban subsidi. Perhitungan terakhir yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, total subsidi dan kompensasi akibat harga minyak dunia yang bertahan di atas USD90 per barel mencapai Rp502,4 triliun. Angka ini jauh di atas anggaran subsidi yang pada awalnya hanya dipatok sekitar Rp152 triliun.
Bahkanm bendahara negara itu menyampaikan bahwa angka subsidi dan kompensasi BBM itu bisa lebih besar lagi yakni di angka Rp653 triliun jika harga minya dunia terus berhatan di atas USD99 per barel.
Selanjutnya, untuk tahun 2023, menurut Sri Mulyani, pemerintah telah mengajukan anggaran subsidi BBM sebesar Rp336 triliun. Jika dilihat nilainya, angka itu memang cenderung menurun dibanding tahun ini. Namun, kita belum akan mengtahui secara pasti sejauh mana APBN tahun depan bisa dikatakan sehat seperti yang didengung-dengungkan pemerintah.
Pasalnya, subsidi tersebut harus dipastikan tepat sasaran, jangan seperti sebelumnya di mana penikmat subsidi adalah golongan masyarakat mampu. Di sinilah perlunya membuat mekanisme yanga tepat agar subsidi pada APBN leih tepat sasaran dan benar-benar dinikmati oleh golongan masyarakat miskin yang membutuhkan.
Sudah saatnya ke depan skema subsidi energi diubah. Dari yang semula memberikan ke produk BBM atau gas, menjadi subsidi langsung ke golongan miskin. Dengan demikian, besaran subsidi bisa lebih terukur dan bisa diketahui kemana arahnya.
Di samping itu, sudah saatnya pula anggaran subsidi diberikan kepada sektor yang sangat dibutuhkan masyarakat seperti pengembangan infrastruktur transportasi umum. Ini penting agar, pola transportasi masyarakat bisa berubah dari semula menggunakan kendaraan pribadi yang menyedot banyak BBM menjadi ke transportasi massal yang lebih hemat.
Dengan demikian, diperlukan peta jalan dalam jangka panjang agar kebijakan subsidi bisa seiring sejalan dengan upaya pengurangan penggunaan bahan bakar minyak dari fosil yang justru mayoritas masih diimpor.
Kenaikan harga BBM ini tentu saja bukan kabar baik buat masyarakat. Musababnya, setiap kali kenaikan harga energi diterapkan, imbasnya merembet ke mana-mana. Yang paling terasa adalah harga ongkos transportasi seperti angkutan kota, bus, atau ojek. Belum lagi harga barang kebutuhan pokok yang juga biasanya turut ‘menyesuaikan’ kendati mungkin saja porsi harga BBM bukan mayoritas sebagai penentu harga barang.
Seiring dengan kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah memang menyiapkan bantuan sosial sebagai bantalan untuk mengurangi dampak kenaikan harga. Nilainya mencapai Rp24,17 triliun. Rinciannya, pertama berupa bantuan langsung tunai untuk 20,65 juta keluarga penerima manfaat dengan anggaran Rp12,4 triliun. Setiap keluarga penerima manfaat akan menerima dana Rp600.000, yang akan dibayarkan empat kali dengan nominal Rp150.000 per bulan.
Kedua, bantuan sosial upah Rp600.000 bagi 16 juta pekerja yang bergaji kurang dari Rp3,5 juta per bulan. Anggaran ini disediakan sebanyak Rp9,6 triliun. Adapun yang ketiga adalahsubsidi transportasi angkutan umum melalui pemerintah daerah (pemda) senilai Rp 2,17 triliun. Subsidi ini menyasar sektor transportasi, angkutan umum, ojek dan nelayan.
Gelontoran bantuan uang tunai tersebut diharapkan dapat mengurangi risiko dampak rentetan dari kenaikan harga BBM. Lebih jauh lagi, aneka bantuan tersebut digadang-gadang bisa membantu daya beli masyarakat sehingga inflasi bisa lebih terkendali.
Pertanyaannya, benarkah beragam subsidi itu bisa mengerem kenaikan harga-harga barang? Pasalnya, sebelum harga BBM dinaikkan saja harga sejumlah barang di pasaraan sudah naik. Lihat saja harga cabai, telur, dan sebelumnya minyak goreng. Apalagi dengan alasan kenaikan harga BBM, rasanya akan sulit mencegah kenaikan harga-harga yang membebani rumah tangga.
Ihwal kenaikan harg BBM ini, pemerintah punya argumen tersendiri karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap sudah kewalahan menanggung beban subsidi. Perhitungan terakhir yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, total subsidi dan kompensasi akibat harga minyak dunia yang bertahan di atas USD90 per barel mencapai Rp502,4 triliun. Angka ini jauh di atas anggaran subsidi yang pada awalnya hanya dipatok sekitar Rp152 triliun.
Bahkanm bendahara negara itu menyampaikan bahwa angka subsidi dan kompensasi BBM itu bisa lebih besar lagi yakni di angka Rp653 triliun jika harga minya dunia terus berhatan di atas USD99 per barel.
Selanjutnya, untuk tahun 2023, menurut Sri Mulyani, pemerintah telah mengajukan anggaran subsidi BBM sebesar Rp336 triliun. Jika dilihat nilainya, angka itu memang cenderung menurun dibanding tahun ini. Namun, kita belum akan mengtahui secara pasti sejauh mana APBN tahun depan bisa dikatakan sehat seperti yang didengung-dengungkan pemerintah.
Pasalnya, subsidi tersebut harus dipastikan tepat sasaran, jangan seperti sebelumnya di mana penikmat subsidi adalah golongan masyarakat mampu. Di sinilah perlunya membuat mekanisme yanga tepat agar subsidi pada APBN leih tepat sasaran dan benar-benar dinikmati oleh golongan masyarakat miskin yang membutuhkan.
Sudah saatnya ke depan skema subsidi energi diubah. Dari yang semula memberikan ke produk BBM atau gas, menjadi subsidi langsung ke golongan miskin. Dengan demikian, besaran subsidi bisa lebih terukur dan bisa diketahui kemana arahnya.
Di samping itu, sudah saatnya pula anggaran subsidi diberikan kepada sektor yang sangat dibutuhkan masyarakat seperti pengembangan infrastruktur transportasi umum. Ini penting agar, pola transportasi masyarakat bisa berubah dari semula menggunakan kendaraan pribadi yang menyedot banyak BBM menjadi ke transportasi massal yang lebih hemat.
Dengan demikian, diperlukan peta jalan dalam jangka panjang agar kebijakan subsidi bisa seiring sejalan dengan upaya pengurangan penggunaan bahan bakar minyak dari fosil yang justru mayoritas masih diimpor.
(ynt)