Kredibilitas Ekonomi Nasional

Senin, 29 Agustus 2022 - 09:16 WIB
loading...
Kredibilitas Ekonomi Nasional
Candra Fajri Ananda/FOTO.DOK KORAN SINDO
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Ketidakpastian ekonomi global yang terjadi kian rumit. Bahkan, tak sedikit yang memperkiraan semakin banyak negara yang mengalami krisis. Berbagai lembaga internasional yang semula memperkirakan krisis hanya akan menyebabkan ekonomi sembilan negara ambruk, kini jumlah tersebut terus meningkat hingga 66 negara.

Artinya, seiring berjalannya waktu, krisis ekonomi global telah mulai di banyak negara di dunia. Karena itu, setiap negara di dunia kini mulai bersiap menghadapi dampak resesi yang mungkin menyerang, termasuk Indonesia.

Krisis global yang tengah terjadi adalah akumulasi dari banyak faktor yang memicu, dari dampak pandemi hingga diperparah oleh perang Rusia dengan Ukraina yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda berakhir. Lembaga keuangan dunia seperti IMF dan Bank Dunia sejatinya telah memprediksi bahwa pandemi akan memengaruhi kondisi ekonomi dunia.

Tanda-tanda tersebut telah terlihat tatkala negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Terlebih, kondisi tersebut kian diperburuk akibat meletusnya perang Rusia-Ukraina.

Selama ini dua negara Eropa tersebut menjadi produsen dan eksportir komoditas utama dunia seperti minyak dan gas, batubara, gandum, hingga bahan baku pupuk. Perang yang berkecamuk antara Rusia-Ukraina mutlak menyebabkan terjadinya disrupsi perdagangan energi dan gandum di pasar global, serta mengirim pukulan bagi ekonomi dunia yang tengah berupaya bangkit dari pandemi.

Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 2,9% pada 2022. Perkiraan tersebut turun signifikan dari tingkat pertumbuhan global yang semula dipatok 5,7% pada 2021.Negara-negara ekonomi berkembang danemerging market, secara kolektif, pun diproyeksikan mencatat pertumbuhan hanya 3,4% pada 2022, di mana angka tersebut turun dari 6,6% pada 2021.

Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dipangkas lebih tajam dibanding versi Januari lalu. Bank Dunia memperkirakan ekonomi AS hanya akan mampu bertumbuh 2,5% pada 2022. Di sisi lain, ekonomi terbesar kedua di dunia, China, diproyeksikan menorehkan pertumbuhan ekonomi lebih positif, yakni sebesar 4,3%. Meski demikian, angka tersebut turun tajam dibanding proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang mencapai 8,1%.

Harus Waspada
Secara umum kondisi ekonomi Indonesia hingga saat ini masih tergolong kuat, bahkan tak berlebihan jika dikatakan sebagai salah satu yang terkuat di dunia. Terbukti, angka inflasi di Indonesia masih terjaga dan tergolong moderat di tengah lonjakan inflasi yang sangat tinggi di negara lain.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi tahunan di Indonesia pada Juli 4,9% tatkala laju inflasi di AS dan Uni Eropa terus mencatatkan rekor baru dalam 40 tahun terakhir, masing-masing mencapai 8,6% dan 8,8%. Di sejumlah negara berkembang lain, Argentina dan Turki telah mencatatkan laju inflasi masing-masing 60,7% dan 73,5%. Meski kondisi ekonomi Indonesia masih tergolong kuat, dampak perlemahan perekonomian beberapa negara tersebut akan menjalar ke Indonesia.

Indonesia, melalui kekayaan alamnya yang melimpah, mendapatkan berkah besar melalui nilai ekspor yang dapat menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pandemi hingga krisis global menerpa. Akan tetapi, kini harga sejumlah komoditas mulai mengalami penurunan per Juli 2022. Kondisi tersebut akan berdampak terhadap sektoreksporIndonesia yang selama ini cukup menjadi andalan ekonomi.

Misalnya harga minyak mentah turun 10,03% pada USD105,1/barel, gas alam turun 5,45% pada USD7,3/MMBTU, minyak kelapa sawit turun 29,61% pada USD1.056,6/metrik ton. Kemudian gandum turun 16,77% menjadi USD382,5/metrik ton, serta nikel turun 16,28% pada USD21.500/metrik ton.

Penurunan harga tersebut dapat mendorong terjadinya peningkatan beban subsidi energi yang dipikul oleh negara di tengah harga minyak mentah dunia yang diprediksi tetap bertahan tinggi seiring eskalasi perang Rusia-Ukraina yang belum juga melandai. Bahkan, data mencatat bahwa harga minyak mentah dunia belakangan kembali naik ke posisi USD96 per barel setelah sempat mereda pada level USD92 per barel.

Optimalisasi APBN
APBN 2022 dirancang antisipatif, responsif, dan fleksibel sebagai instrumen pemulihan ekonomi dan menghadapi berbagai ketidakpastian ekonomi global ke depan. Demi mencapai tujuan tersebut, kini APBN kembali bekerja keras melalui pemberian insentif guna menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi serta keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.

Sejatinya beban APBN 2022 untuk menahan guncangan ekonomi dunia bukalah hal yang mudah. Di tengah berbagai upaya insentif yang digulirkan, beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) saat ini telah sangat berat.

Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa negara perlu tambahan anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp195,6 triliun apabila volume konsumsi BBM subsidi tidak dibatasi, dengan asumsi harga minyak dunia tetap tinggi di angka USD105/barel. Artinya, jumlah anggaran subsidi dan kompensasi akan membengkak menjadi Rp698 triliun. Padahal, dalam APBN 2022 anggaran awal subsidi dan kompensasi energi hanya sebesar Rp152,5 triliun. Pada kondisi ini, penajaman dan efisiensi belanjaAPBN 2022sangat diperlukan.

Selama ini, di tengah target pembangunan yang cukup tinggi, alokasi belanja modal yang digulirkan pemerintah tergolong masih cukup rendah. Data Kemementerian Keuangan menunjukan rata-rata alokasi belanja modal selama lima tahun terakhir masih di bawah 1,5% dari PDB.

Rendahnya alokasi belanja modal tersebut berbanding terbalik dengan besaran alokasi belanja barang terhadap PDB yang mencapai 2,04% atau belanja nonproduktif lainnya, misal belanja pegawai yang nilainya justru mencapai 2,36% dari PDB.

Bank Dunia bahkan menyebutkan bahwa dengan alokasi 1,5% dari PDB, angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia yang mampu mengalokasikan belanja modal di angka 3,3% dari PDB, Filipina (4,5%), Singapura (4,9%), Thailand (6%), Vietnam (6,5%), dan Kamboja (6,8%). Karenanya, pemerintah perlu mengoptimalkan belanja yang produktif, yakni belanja yang mampu memberikanmultiplier effectyang besar bagi perekonomian nasional.

Sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di tengah ancaman inflasi, pemerintah diharapkan dapat menyalurkan bantuan sosial dengan tepat sasaran dan tepat waktu. Seyogianya, setiap rupiah yang keluar dari APBN harus dipastikan memiliki manfaat ekonomi, memberikan manfaat untuk rakyat, dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat.

Demi menghasilkan tingkat keberhasilan dan ketepatan sasaran, kualitas data menjadi kunci. Efektivitas berbagai kebijakan pemerintah juga mutlak membutuhkan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar berbagai intervensi yang diberikan dapat tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.

Kerja sama antardaerah juga bisa diperkuat dengan berbasis data. Melalui keterbukaan data dan kerja sama yang terjalin kuat antara pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi solusi dalam mengendalikan ekonomi nasional agar mampu bertahan di tengah badai inflasi dan ketidakpastian ekonomi dunia. Semoga.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1861 seconds (0.1#10.140)