Viralisme, Algoritma, dan Capres 2024

Jum'at, 26 Agustus 2022 - 13:21 WIB
loading...
A A A
Algoritma yang biasanya diisi dengan konten aksi flexing atau pamer kekayaan, berita tentang sultan-sultanan, mobil mewah, dan jumlah kekayaan berseliweran di beranda media sosial. Karena memang hukum algoritma membacanya sebagai informasi yang banyak dicari sehingga diikuti oleh banyak orang.

Lalu, muncul anak-anak muda SCBD yang pada dasarnya adalah kebalikan dari gaya hidup flexing. Pakaian mereka berharga murah, kisaran puluhan ribu sampai seratusan ribu. Sikap apa adanya ini membuat anak-anak muda SCBD menjadi autentik. Lalu, menarik perhatian publik, memostingnya, ditonton jutaan orang, dan kemudian menjadi viral.

Viralnya berita tentang fenomena SCBD diikuti oleh rasa penasaran banyak orang untuk melihat langsung tongkrongan anak muda pinggiran Jakarta itu. Bahkan Citayam Fashion Week menjelma menjadi ajang bagi artis, politisi, dan figur publik untuk ikut eksis dari viralnya SCBD. Membuat publik pun kemudian kenal dengan ikon SCBD, seperti Bonge, Kurma, Roy, dan Jeje Slebew.

Algoritma Politik
Viralisme ini bukan hanya mewarnai kehidupan sosial kita, tapi juga bisa dikatakan sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia politik Indonesia. Apalagi jika kita bicara calon presiden (capres) 2024. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) pun sudah bisa dibaca bahwa capres yang disebut kandidat kuat 2024 adalah kandidat yang mampu terus menguasai algoritma media sosial.

Sebagai bagian representasi dari kekuatan elektoralnya. Sebut saja Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ridwan Kamil adalah nama-nama yang bisa dikatakan narasi dan pemberitaannya dominan muncul di media sosial. Posisi inilah yang tentu ingin terus dipertahankan oleh para kandidat.

Karena itu, menjadi wajar jika kandidat dan timnya selalu memantau tren di media sosial. Aktivitas kesehariannya pun tidak pernah lepas dari bidikan kamera sebagai bahan konten yang akan diposting di media sosial.

Konten-konten ini tentu juga disesuaikan dengan kondisi kekinian yang sedang viral. Misalnya saat heboh Citayam Fashion Week, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil ikut ambil bagian ber-catwalk ria di zebra cross SCBD. Prabowo dan Erick Thohir yang ikut ber-ambyar ria mengikuti lagu Ojo Dibandingke di Istana Negara. Begitu juga Ganjar Pranowo yang memposting video yang me-mix video Ojo Dibandingke-nya Presiden Jokowi dengan video dirinya.

Hal ini bisa dikatakan sebagai sikap sadar media sosial dari para kandidat capres 2024 ini. Membuat para capres dan timnya terus memantau tren dan informasi apa saja yang dominan di algoritma-algoritma media sosial. Untuk kemudian diselaraskan dengan strategi marketing dan komunikasi politiknya, baik dari aspek desain, tema, maupun musik.

Tingginya intensitas kampanye digital para capres 2024 ini adalah sebuah bentuk kesadaran akan transformasi politik digital Indonesia. Sehingga, kandidat capres dan tim pemenangannya sangat menyadari bahwa penguasaan algoritma media sosial adalah bagian yang tidak bisa dikesampingkan bagi dunia politik karena algoritma inilah yang secara bertahap akan memengaruhi perilaku pemilih.

Dimulai dari keputusan membaca informasi tentang capres, lalu menentukan sikapnya, dan kemudian membagikannya dengan sentimen positif atau negatif di media sosialnya. Tentunya para capres 2024 berusaha mendapatkan sentimen positif yang tinggi di media sosial sebagai upaya mendongkrak nilai elektoralnya. Berkaca dari viralnya kasus Brigadir J dan fenomena SCBD.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1128 seconds (0.1#10.140)