Viralisme, Algoritma, dan Capres 2024
loading...
A
A
A
Aprikie Putra Wijaya
Direktur Eksekutif Indosmep Riset & Consulting
PERAYAAN Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-77 di Istana Negara dihebohkan dengan aksi Presiden Jokowi, Ibu Negara, dan menteri-menteri, serta tamu-tamu undangan berjoget ria dengan lantunan lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan oleh Farel Prayoga. Lagu ciptaan Abah Lala ini berhasil menambah meriah suasana Istana Negara. Irama musik koplo ini memang mampu membuat orang yang mendengarnya jadi ikut joget bersama. Seperti penampilan Farel Prayoga yang berhasil bikin ambyar Istana Negara.
Kehadiran penyanyi cilik asal Banyuwangi ini tentu tidak terlepas dari viralnya lagu Ojo Dibandingke ini di media sosial. Video Farel Prayoga saat menyanyikan lagu ini banyak beredar dan disukai. Jutaan orang pun menontonnya dan membagikannya di lini masa media sosialnya.
Viralisme
Di era kemajuan digital ini memang kita semakin akrab dengan kata viral. Viral yang dalam kamus Merriam-Webster diartikan sebagai informasi yang dengan cepat dan luas menyebar atau dipopulerkan melalui media sosial. Sedangkan viralisme adalah sikap yang menganggap sesuatu yang viral adalah hal yang penting untuk dibaca. Dalam konteks ini, informasi menjadi viral tentu tidak terlepas aktivitas netizen di dunia maya yang perilakunya direkam oleh algoritma media sosial.
Maria Alexander Golino, seorang dosen dari Universitas Maastricht di Belanda, mendefinisikan algoritma di platform media sosial sebagai cara teknis untuk memilah-milah unggahan berdasarkan beberapa kriteria sehingga pengguna akan disuguhi posting-posting yang membuat mereka ingin mengikuti muatan spesifik seperti itu.
Berdasarkan dari definisi itu, bisa disimpulkan bahwa algoritma inilah yang bekerja membaca konten mana yang harus dilihat pengguna berdasarkan umpan yang terdahulu. Jadi, kalau pengguna media sosial sudah mengklik link atau sebuah konten, maka algoritma akan mengarahkan ke konten yang memiliki relevansi sehingga pengguna akan disuguhi konten-konten yang akan membuat netizen akan mengikuti perkembangan informasi tersebut secara mendalam.
Lalu, menyebarkannya melalui akun-akun media sosialnya, yang kemudian diduplikasi oleh pengguna-pengguna media sosial lainnya. Semakin banyak yang membagikannya akan semakin cepat viral juga sebuah informasi atau konten di media sosial.
Pada titik inilah berlaku paham viralisme, di mana netizen beranggapan bahwa sesuatu yang banyak dibagikan adalah informasi yang penting untuk dibaca dan diketahui sehingga atensinya pun menjadi semakin tinggi. Seperti kasus kematian Brigadir J yang masih menjadi atensi publik sampai hari ini.
Semuanya berawal oleh simpati publik, yang mengungkapkan ketidakpercayaannya di laman media sosial. Membuat informasi tentang tewasnya Brigadir J mendominasi algoritma media sosial, link beritanya paling banyak diklik, dan kemudian menjadi viral. Sehingga, mayoritas masyarakat Indonesia tertuju pada kasus ini. Efeknya, Polri dituntut bertindak cepat dalam mengungkap kasus ini karena sudah viral dan menjadi atensi khusus dari publik.
Begitu juga dengan fenomena SCBD dengan Citayam Fashion Week-nya. SCBD yang merupakan akronim dari Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok. Kemunculan anak-anak muda SCBD ini juga menjadi contoh betapa dinamisnya algoritma media sosial.
Algoritma yang biasanya diisi dengan konten aksi flexing atau pamer kekayaan, berita tentang sultan-sultanan, mobil mewah, dan jumlah kekayaan berseliweran di beranda media sosial. Karena memang hukum algoritma membacanya sebagai informasi yang banyak dicari sehingga diikuti oleh banyak orang.
Lalu, muncul anak-anak muda SCBD yang pada dasarnya adalah kebalikan dari gaya hidup flexing. Pakaian mereka berharga murah, kisaran puluhan ribu sampai seratusan ribu. Sikap apa adanya ini membuat anak-anak muda SCBD menjadi autentik. Lalu, menarik perhatian publik, memostingnya, ditonton jutaan orang, dan kemudian menjadi viral.
Viralnya berita tentang fenomena SCBD diikuti oleh rasa penasaran banyak orang untuk melihat langsung tongkrongan anak muda pinggiran Jakarta itu. Bahkan Citayam Fashion Week menjelma menjadi ajang bagi artis, politisi, dan figur publik untuk ikut eksis dari viralnya SCBD. Membuat publik pun kemudian kenal dengan ikon SCBD, seperti Bonge, Kurma, Roy, dan Jeje Slebew.
Algoritma Politik
Viralisme ini bukan hanya mewarnai kehidupan sosial kita, tapi juga bisa dikatakan sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia politik Indonesia. Apalagi jika kita bicara calon presiden (capres) 2024. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) pun sudah bisa dibaca bahwa capres yang disebut kandidat kuat 2024 adalah kandidat yang mampu terus menguasai algoritma media sosial.
Sebagai bagian representasi dari kekuatan elektoralnya. Sebut saja Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ridwan Kamil adalah nama-nama yang bisa dikatakan narasi dan pemberitaannya dominan muncul di media sosial. Posisi inilah yang tentu ingin terus dipertahankan oleh para kandidat.
Karena itu, menjadi wajar jika kandidat dan timnya selalu memantau tren di media sosial. Aktivitas kesehariannya pun tidak pernah lepas dari bidikan kamera sebagai bahan konten yang akan diposting di media sosial.
Konten-konten ini tentu juga disesuaikan dengan kondisi kekinian yang sedang viral. Misalnya saat heboh Citayam Fashion Week, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil ikut ambil bagian ber-catwalk ria di zebra cross SCBD. Prabowo dan Erick Thohir yang ikut ber-ambyar ria mengikuti lagu Ojo Dibandingke di Istana Negara. Begitu juga Ganjar Pranowo yang memposting video yang me-mix video Ojo Dibandingke-nya Presiden Jokowi dengan video dirinya.
Hal ini bisa dikatakan sebagai sikap sadar media sosial dari para kandidat capres 2024 ini. Membuat para capres dan timnya terus memantau tren dan informasi apa saja yang dominan di algoritma-algoritma media sosial. Untuk kemudian diselaraskan dengan strategi marketing dan komunikasi politiknya, baik dari aspek desain, tema, maupun musik.
Tingginya intensitas kampanye digital para capres 2024 ini adalah sebuah bentuk kesadaran akan transformasi politik digital Indonesia. Sehingga, kandidat capres dan tim pemenangannya sangat menyadari bahwa penguasaan algoritma media sosial adalah bagian yang tidak bisa dikesampingkan bagi dunia politik karena algoritma inilah yang secara bertahap akan memengaruhi perilaku pemilih.
Dimulai dari keputusan membaca informasi tentang capres, lalu menentukan sikapnya, dan kemudian membagikannya dengan sentimen positif atau negatif di media sosialnya. Tentunya para capres 2024 berusaha mendapatkan sentimen positif yang tinggi di media sosial sebagai upaya mendongkrak nilai elektoralnya. Berkaca dari viralnya kasus Brigadir J dan fenomena SCBD.
Setidaknya ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh para kandidat capres 2024 dalam memenangkan kampanye di media sosial. Pertama, harus jujur dengan informasi yang disampaikan. Memang sesuai fakta dan nyata. Jadi, harus satu kata dan perbuatan. Karena kalau ketahuan ada kebohongan, maka gelombang sentimen negatif dari netizen akan jadi gelombang dahsyat yang akan menghancurkan kredibilitas kandidat dalam sekejap.
Kedua, konten yang disajikan harus autentik dan apa adanya. Seperti anak-anak muda SCBD yang autentik dengan gayanya masing-masing. Bikin konten itu harus sesuai dengan jati diri dan tidak dibuat-buat. Karena itu, orisinalitas menuntut kreativitas yang tinggi agar menghasilkan konten menarik dan berkualitas.
Pilpres 2024 akan menempatkan viralisme dan algoritma politik sebagai ruang pertarungan bagi para kandidat capres.
Tidak bisa dipungkiri, partisipasi politik publik hari ini lebih dominan dilakukan di media sosial. Karena itu, para kandidat juga harus mampu memaksimalkan media sosial untuk jadi lumbung elektoralnya. Bisa dikatakan viral itu ibarat top of mind-nya dalam survei, di mana responden menjawab pertanyaan, tanpa alat bantu, spontan berdasarkan apa yang ada di pikirannya.
Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan ini dianggap yang paling mewakili persepsi publik secara umum. Karena informasi yang muncul dari pikirannya itu berdasarkan dari informasi apa yang paling banyak dilihat dan dibaca.
Pertarungan di ruang digital itu tentu akan dimulai dari perebutan tiket partai politik sebagai syarat utama untuk bisa maju dalam Pilpres 2024. Kalau dari kasus kematian Brigadir J, kita membaca dan mendengar istilah no viral no justice atau dari fenomena anak-anak SCBD ada istilah no viral no attention. Bukan tidak mungkin di era demokrasi digital ini, berlaku juga istilah no viral no ticket bagi para kandidat capres 2024.
Seperti Farel Prayoga yang harus viral dulu untuk bisa dapat tiket tampil di Istana Negara. Bisa jadi partai politik juga masih melihat dan menunggu. Siapa kandidat capres 2024 yang berhasil mendominasi algoritma media sosial, viral, dan disukai oleh jutaan orang Indonesia sehingga memang dianggap layak untuk diberikan tiket menuju Istana pada Pilpres 2024.
Baca Juga: koran-sindo.com
Direktur Eksekutif Indosmep Riset & Consulting
PERAYAAN Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-77 di Istana Negara dihebohkan dengan aksi Presiden Jokowi, Ibu Negara, dan menteri-menteri, serta tamu-tamu undangan berjoget ria dengan lantunan lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan oleh Farel Prayoga. Lagu ciptaan Abah Lala ini berhasil menambah meriah suasana Istana Negara. Irama musik koplo ini memang mampu membuat orang yang mendengarnya jadi ikut joget bersama. Seperti penampilan Farel Prayoga yang berhasil bikin ambyar Istana Negara.
Kehadiran penyanyi cilik asal Banyuwangi ini tentu tidak terlepas dari viralnya lagu Ojo Dibandingke ini di media sosial. Video Farel Prayoga saat menyanyikan lagu ini banyak beredar dan disukai. Jutaan orang pun menontonnya dan membagikannya di lini masa media sosialnya.
Viralisme
Di era kemajuan digital ini memang kita semakin akrab dengan kata viral. Viral yang dalam kamus Merriam-Webster diartikan sebagai informasi yang dengan cepat dan luas menyebar atau dipopulerkan melalui media sosial. Sedangkan viralisme adalah sikap yang menganggap sesuatu yang viral adalah hal yang penting untuk dibaca. Dalam konteks ini, informasi menjadi viral tentu tidak terlepas aktivitas netizen di dunia maya yang perilakunya direkam oleh algoritma media sosial.
Maria Alexander Golino, seorang dosen dari Universitas Maastricht di Belanda, mendefinisikan algoritma di platform media sosial sebagai cara teknis untuk memilah-milah unggahan berdasarkan beberapa kriteria sehingga pengguna akan disuguhi posting-posting yang membuat mereka ingin mengikuti muatan spesifik seperti itu.
Berdasarkan dari definisi itu, bisa disimpulkan bahwa algoritma inilah yang bekerja membaca konten mana yang harus dilihat pengguna berdasarkan umpan yang terdahulu. Jadi, kalau pengguna media sosial sudah mengklik link atau sebuah konten, maka algoritma akan mengarahkan ke konten yang memiliki relevansi sehingga pengguna akan disuguhi konten-konten yang akan membuat netizen akan mengikuti perkembangan informasi tersebut secara mendalam.
Lalu, menyebarkannya melalui akun-akun media sosialnya, yang kemudian diduplikasi oleh pengguna-pengguna media sosial lainnya. Semakin banyak yang membagikannya akan semakin cepat viral juga sebuah informasi atau konten di media sosial.
Pada titik inilah berlaku paham viralisme, di mana netizen beranggapan bahwa sesuatu yang banyak dibagikan adalah informasi yang penting untuk dibaca dan diketahui sehingga atensinya pun menjadi semakin tinggi. Seperti kasus kematian Brigadir J yang masih menjadi atensi publik sampai hari ini.
Semuanya berawal oleh simpati publik, yang mengungkapkan ketidakpercayaannya di laman media sosial. Membuat informasi tentang tewasnya Brigadir J mendominasi algoritma media sosial, link beritanya paling banyak diklik, dan kemudian menjadi viral. Sehingga, mayoritas masyarakat Indonesia tertuju pada kasus ini. Efeknya, Polri dituntut bertindak cepat dalam mengungkap kasus ini karena sudah viral dan menjadi atensi khusus dari publik.
Begitu juga dengan fenomena SCBD dengan Citayam Fashion Week-nya. SCBD yang merupakan akronim dari Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok. Kemunculan anak-anak muda SCBD ini juga menjadi contoh betapa dinamisnya algoritma media sosial.
Algoritma yang biasanya diisi dengan konten aksi flexing atau pamer kekayaan, berita tentang sultan-sultanan, mobil mewah, dan jumlah kekayaan berseliweran di beranda media sosial. Karena memang hukum algoritma membacanya sebagai informasi yang banyak dicari sehingga diikuti oleh banyak orang.
Lalu, muncul anak-anak muda SCBD yang pada dasarnya adalah kebalikan dari gaya hidup flexing. Pakaian mereka berharga murah, kisaran puluhan ribu sampai seratusan ribu. Sikap apa adanya ini membuat anak-anak muda SCBD menjadi autentik. Lalu, menarik perhatian publik, memostingnya, ditonton jutaan orang, dan kemudian menjadi viral.
Viralnya berita tentang fenomena SCBD diikuti oleh rasa penasaran banyak orang untuk melihat langsung tongkrongan anak muda pinggiran Jakarta itu. Bahkan Citayam Fashion Week menjelma menjadi ajang bagi artis, politisi, dan figur publik untuk ikut eksis dari viralnya SCBD. Membuat publik pun kemudian kenal dengan ikon SCBD, seperti Bonge, Kurma, Roy, dan Jeje Slebew.
Algoritma Politik
Viralisme ini bukan hanya mewarnai kehidupan sosial kita, tapi juga bisa dikatakan sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia politik Indonesia. Apalagi jika kita bicara calon presiden (capres) 2024. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) pun sudah bisa dibaca bahwa capres yang disebut kandidat kuat 2024 adalah kandidat yang mampu terus menguasai algoritma media sosial.
Sebagai bagian representasi dari kekuatan elektoralnya. Sebut saja Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ridwan Kamil adalah nama-nama yang bisa dikatakan narasi dan pemberitaannya dominan muncul di media sosial. Posisi inilah yang tentu ingin terus dipertahankan oleh para kandidat.
Karena itu, menjadi wajar jika kandidat dan timnya selalu memantau tren di media sosial. Aktivitas kesehariannya pun tidak pernah lepas dari bidikan kamera sebagai bahan konten yang akan diposting di media sosial.
Konten-konten ini tentu juga disesuaikan dengan kondisi kekinian yang sedang viral. Misalnya saat heboh Citayam Fashion Week, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil ikut ambil bagian ber-catwalk ria di zebra cross SCBD. Prabowo dan Erick Thohir yang ikut ber-ambyar ria mengikuti lagu Ojo Dibandingke di Istana Negara. Begitu juga Ganjar Pranowo yang memposting video yang me-mix video Ojo Dibandingke-nya Presiden Jokowi dengan video dirinya.
Hal ini bisa dikatakan sebagai sikap sadar media sosial dari para kandidat capres 2024 ini. Membuat para capres dan timnya terus memantau tren dan informasi apa saja yang dominan di algoritma-algoritma media sosial. Untuk kemudian diselaraskan dengan strategi marketing dan komunikasi politiknya, baik dari aspek desain, tema, maupun musik.
Tingginya intensitas kampanye digital para capres 2024 ini adalah sebuah bentuk kesadaran akan transformasi politik digital Indonesia. Sehingga, kandidat capres dan tim pemenangannya sangat menyadari bahwa penguasaan algoritma media sosial adalah bagian yang tidak bisa dikesampingkan bagi dunia politik karena algoritma inilah yang secara bertahap akan memengaruhi perilaku pemilih.
Dimulai dari keputusan membaca informasi tentang capres, lalu menentukan sikapnya, dan kemudian membagikannya dengan sentimen positif atau negatif di media sosialnya. Tentunya para capres 2024 berusaha mendapatkan sentimen positif yang tinggi di media sosial sebagai upaya mendongkrak nilai elektoralnya. Berkaca dari viralnya kasus Brigadir J dan fenomena SCBD.
Setidaknya ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh para kandidat capres 2024 dalam memenangkan kampanye di media sosial. Pertama, harus jujur dengan informasi yang disampaikan. Memang sesuai fakta dan nyata. Jadi, harus satu kata dan perbuatan. Karena kalau ketahuan ada kebohongan, maka gelombang sentimen negatif dari netizen akan jadi gelombang dahsyat yang akan menghancurkan kredibilitas kandidat dalam sekejap.
Kedua, konten yang disajikan harus autentik dan apa adanya. Seperti anak-anak muda SCBD yang autentik dengan gayanya masing-masing. Bikin konten itu harus sesuai dengan jati diri dan tidak dibuat-buat. Karena itu, orisinalitas menuntut kreativitas yang tinggi agar menghasilkan konten menarik dan berkualitas.
Pilpres 2024 akan menempatkan viralisme dan algoritma politik sebagai ruang pertarungan bagi para kandidat capres.
Tidak bisa dipungkiri, partisipasi politik publik hari ini lebih dominan dilakukan di media sosial. Karena itu, para kandidat juga harus mampu memaksimalkan media sosial untuk jadi lumbung elektoralnya. Bisa dikatakan viral itu ibarat top of mind-nya dalam survei, di mana responden menjawab pertanyaan, tanpa alat bantu, spontan berdasarkan apa yang ada di pikirannya.
Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan ini dianggap yang paling mewakili persepsi publik secara umum. Karena informasi yang muncul dari pikirannya itu berdasarkan dari informasi apa yang paling banyak dilihat dan dibaca.
Pertarungan di ruang digital itu tentu akan dimulai dari perebutan tiket partai politik sebagai syarat utama untuk bisa maju dalam Pilpres 2024. Kalau dari kasus kematian Brigadir J, kita membaca dan mendengar istilah no viral no justice atau dari fenomena anak-anak SCBD ada istilah no viral no attention. Bukan tidak mungkin di era demokrasi digital ini, berlaku juga istilah no viral no ticket bagi para kandidat capres 2024.
Seperti Farel Prayoga yang harus viral dulu untuk bisa dapat tiket tampil di Istana Negara. Bisa jadi partai politik juga masih melihat dan menunggu. Siapa kandidat capres 2024 yang berhasil mendominasi algoritma media sosial, viral, dan disukai oleh jutaan orang Indonesia sehingga memang dianggap layak untuk diberikan tiket menuju Istana pada Pilpres 2024.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)