Viralisme, Algoritma, dan Capres 2024

Jum'at, 26 Agustus 2022 - 13:21 WIB
loading...
Viralisme, Algoritma, dan Capres 2024
Aprikie Putra Wijaya (Foto: Ist)
A A A
Aprikie Putra Wijaya
Direktur Eksekutif Indosmep Riset & Consulting

PERAYAAN Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-77 di Istana Negara dihebohkan dengan aksi Presiden Jokowi, Ibu Negara, dan menteri-menteri, serta tamu-tamu undangan berjoget ria dengan lantunan lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan oleh Farel Prayoga. Lagu ciptaan Abah Lala ini berhasil menambah meriah suasana Istana Negara. Irama musik koplo ini memang mampu membuat orang yang mendengarnya jadi ikut joget bersama. Seperti penampilan Farel Prayoga yang berhasil bikin ambyar Istana Negara.

Kehadiran penyanyi cilik asal Banyuwangi ini tentu tidak terlepas dari viralnya lagu Ojo Dibandingke ini di media sosial. Video Farel Prayoga saat menyanyikan lagu ini banyak beredar dan disukai. Jutaan orang pun menontonnya dan membagikannya di lini masa media sosialnya.

Viralisme
Di era kemajuan digital ini memang kita semakin akrab dengan kata viral. Viral yang dalam kamus Merriam-Webster diartikan sebagai informasi yang dengan cepat dan luas menyebar atau dipopulerkan melalui media sosial. Sedangkan viralisme adalah sikap yang menganggap sesuatu yang viral adalah hal yang penting untuk dibaca. Dalam konteks ini, informasi menjadi viral tentu tidak terlepas aktivitas netizen di dunia maya yang perilakunya direkam oleh algoritma media sosial.

Maria Alexander Golino, seorang dosen dari Universitas Maastricht di Belanda, mendefinisikan algoritma di platform media sosial sebagai cara teknis untuk memilah-milah unggahan berdasarkan beberapa kriteria sehingga pengguna akan disuguhi posting-posting yang membuat mereka ingin mengikuti muatan spesifik seperti itu.

Berdasarkan dari definisi itu, bisa disimpulkan bahwa algoritma inilah yang bekerja membaca konten mana yang harus dilihat pengguna berdasarkan umpan yang terdahulu. Jadi, kalau pengguna media sosial sudah mengklik link atau sebuah konten, maka algoritma akan mengarahkan ke konten yang memiliki relevansi sehingga pengguna akan disuguhi konten-konten yang akan membuat netizen akan mengikuti perkembangan informasi tersebut secara mendalam.

Lalu, menyebarkannya melalui akun-akun media sosialnya, yang kemudian diduplikasi oleh pengguna-pengguna media sosial lainnya. Semakin banyak yang membagikannya akan semakin cepat viral juga sebuah informasi atau konten di media sosial.

Pada titik inilah berlaku paham viralisme, di mana netizen beranggapan bahwa sesuatu yang banyak dibagikan adalah informasi yang penting untuk dibaca dan diketahui sehingga atensinya pun menjadi semakin tinggi. Seperti kasus kematian Brigadir J yang masih menjadi atensi publik sampai hari ini.

Semuanya berawal oleh simpati publik, yang mengungkapkan ketidakpercayaannya di laman media sosial. Membuat informasi tentang tewasnya Brigadir J mendominasi algoritma media sosial, link beritanya paling banyak diklik, dan kemudian menjadi viral. Sehingga, mayoritas masyarakat Indonesia tertuju pada kasus ini. Efeknya, Polri dituntut bertindak cepat dalam mengungkap kasus ini karena sudah viral dan menjadi atensi khusus dari publik.

Begitu juga dengan fenomena SCBD dengan Citayam Fashion Week-nya. SCBD yang merupakan akronim dari Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok. Kemunculan anak-anak muda SCBD ini juga menjadi contoh betapa dinamisnya algoritma media sosial.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1744 seconds (0.1#10.140)