Fiksi yang Bukan Cerita Kita
loading...
A
A
A
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Saya pikir ini bukan preambul yang cukup menyenangkan untuk disimak. Apa yang hendak saya sampaikan ternyata sudah diborong semua oleh Budi Darma. Ia mengantarkan buku ini dengan begitu baik sehingga bisa jadi ulasan ini hanya semacam repetition with style―pengulangan dengan gaya (yang selangit).
Melihat sampul buku ini, saya langsung menangkap dualitas yang hendak disampaikan penulis. Latar warna hitam menjadi kontras dengan kata Arum Manis. Hitam sering diidentikkan dengan rasa pahit. Sementara semua tahu, arum manis yang telah matang tentu memiliki rasa manis. Ya, memang, tidak akan ada rasa manis apabila semesta tidak memiliki rasa pahit.
Dualitas pula yang menjadikan manusia berkonflik bahkan dengan dirinya sendiri. Secara tidak sadar, mungkin kita sering mengalaminya. Satu sisi bergerak untuk menolong, sisi lainnya sangat penasaran bagaimana seseorang berakhir dengan kondisi seperti itu. Ini tergambar dalam cerpen pembuka berjudul Tembok Apartemen yang Bicara.
Dalam sebuah komunitas, perempuan kerap diidentikkan sebagai penyebar kabar burung yang andal. Tak hanya menyebarkan, tetapi juga membumbui dengan cermat sehingga kabar tersebut bisa meleset jauh dari aslinya. Adalah Seruni yang bergerak menolong seorang perempuan yang menjadi tetangganya ketika suara tangis bocah menyusup melalui pori-pori tembok apartemen.
Keduanya lekas akrab. Hanya saja, kedekatan itu tampaknya mengundang jenis simpati lain dari Seruni. Mungkin memang Seruni peduli, mungkin memang ia ingin berteman dengan perempuan itu. Namun, Seruni terlalu baik hati sehingga beberapa penghuni unit lain menjadi (sok) tahu, bahwa suami perempuan itu sudah di surga. Padahal, sejak awal, perempuan itu tidak punya suami.
Cerpen kedua cukup mengundang senyum sipu-sipu (atau mungkin ledak tawa?), sebab dialog serta adegannya begitu merakyat. Aroma Dapur Tetangga seperti benar-benar dihadirkan dari dapur tetangga yang temboknya ternyata hanya selapis. Lubang ventilasi sebesar ukuran batu bata menjadi jalur bebas hambatan yang menyalurkan segala macam aroma dari dapur Bu Nurdiasih ke dapur Denayu.
Penulis juga menyajikan beberapa judul bercerita tentang perempuan. Ada Yarasia, Naga dalam Mulut Kartika, Pohon Pisang di Meja Makan, serta tajuk buku ini sendiri, Arum Manis. Dengan manisnya, penulis mengundang pembaca untuk menyelam makin dalam ke dunia para empu. Dari Yarasia kita paham, bahwa buah hati tidak melulu yang terbit dari rahim sendiri.
Dari Kartika kita paham, bahwa kenangan kadang teramat kejam mengikat. Dari Yemima kita paham, bahwa sebuah keinginan, jika tidak disikapi dengan bijak, bisa berakhir fatal. Dan, dari Leafi kita paham, bahwa luka yang ada di dalam hanya bisa mengering sementara tanpa pernah sembuh dengan benar.
Dari dua puluh dua cerita yang ada, Aroma Kenanga menjadi salah satu yang menarik pikiran saya ke mana-mana. “Gisa paham kalau aku menikahinya lantaran tergila-gila dengan aroma kenanga yang ada di dadanya. Aroma segar itu menguar dari kelopak dua tangkai kenanga yang tumbuh di dadanya. Saat pertama kali dia mempertontonkannya kepadaku, kemudian mengizinkanku untuk sedikit menghirupnya, serta-merta kepalaku ditanami serbuk candu. Acap kali, saat menikmati lekuk-lekuk kenanga itu, aku tergoda untuk menjemba, merengkuh, dan kulumat tanpa sisa.” (Aroma Kenanga, halaman 42)
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Saya pikir ini bukan preambul yang cukup menyenangkan untuk disimak. Apa yang hendak saya sampaikan ternyata sudah diborong semua oleh Budi Darma. Ia mengantarkan buku ini dengan begitu baik sehingga bisa jadi ulasan ini hanya semacam repetition with style―pengulangan dengan gaya (yang selangit).
Melihat sampul buku ini, saya langsung menangkap dualitas yang hendak disampaikan penulis. Latar warna hitam menjadi kontras dengan kata Arum Manis. Hitam sering diidentikkan dengan rasa pahit. Sementara semua tahu, arum manis yang telah matang tentu memiliki rasa manis. Ya, memang, tidak akan ada rasa manis apabila semesta tidak memiliki rasa pahit.
Dualitas pula yang menjadikan manusia berkonflik bahkan dengan dirinya sendiri. Secara tidak sadar, mungkin kita sering mengalaminya. Satu sisi bergerak untuk menolong, sisi lainnya sangat penasaran bagaimana seseorang berakhir dengan kondisi seperti itu. Ini tergambar dalam cerpen pembuka berjudul Tembok Apartemen yang Bicara.
Dalam sebuah komunitas, perempuan kerap diidentikkan sebagai penyebar kabar burung yang andal. Tak hanya menyebarkan, tetapi juga membumbui dengan cermat sehingga kabar tersebut bisa meleset jauh dari aslinya. Adalah Seruni yang bergerak menolong seorang perempuan yang menjadi tetangganya ketika suara tangis bocah menyusup melalui pori-pori tembok apartemen.
Keduanya lekas akrab. Hanya saja, kedekatan itu tampaknya mengundang jenis simpati lain dari Seruni. Mungkin memang Seruni peduli, mungkin memang ia ingin berteman dengan perempuan itu. Namun, Seruni terlalu baik hati sehingga beberapa penghuni unit lain menjadi (sok) tahu, bahwa suami perempuan itu sudah di surga. Padahal, sejak awal, perempuan itu tidak punya suami.
Cerpen kedua cukup mengundang senyum sipu-sipu (atau mungkin ledak tawa?), sebab dialog serta adegannya begitu merakyat. Aroma Dapur Tetangga seperti benar-benar dihadirkan dari dapur tetangga yang temboknya ternyata hanya selapis. Lubang ventilasi sebesar ukuran batu bata menjadi jalur bebas hambatan yang menyalurkan segala macam aroma dari dapur Bu Nurdiasih ke dapur Denayu.
Penulis juga menyajikan beberapa judul bercerita tentang perempuan. Ada Yarasia, Naga dalam Mulut Kartika, Pohon Pisang di Meja Makan, serta tajuk buku ini sendiri, Arum Manis. Dengan manisnya, penulis mengundang pembaca untuk menyelam makin dalam ke dunia para empu. Dari Yarasia kita paham, bahwa buah hati tidak melulu yang terbit dari rahim sendiri.
Dari Kartika kita paham, bahwa kenangan kadang teramat kejam mengikat. Dari Yemima kita paham, bahwa sebuah keinginan, jika tidak disikapi dengan bijak, bisa berakhir fatal. Dan, dari Leafi kita paham, bahwa luka yang ada di dalam hanya bisa mengering sementara tanpa pernah sembuh dengan benar.
Dari dua puluh dua cerita yang ada, Aroma Kenanga menjadi salah satu yang menarik pikiran saya ke mana-mana. “Gisa paham kalau aku menikahinya lantaran tergila-gila dengan aroma kenanga yang ada di dadanya. Aroma segar itu menguar dari kelopak dua tangkai kenanga yang tumbuh di dadanya. Saat pertama kali dia mempertontonkannya kepadaku, kemudian mengizinkanku untuk sedikit menghirupnya, serta-merta kepalaku ditanami serbuk candu. Acap kali, saat menikmati lekuk-lekuk kenanga itu, aku tergoda untuk menjemba, merengkuh, dan kulumat tanpa sisa.” (Aroma Kenanga, halaman 42)