Mengkritisi RUU KUHP (2019/2020)

Selasa, 09 Agustus 2022 - 16:26 WIB
loading...
Mengkritisi RUU KUHP...
Romli Atmasasmita (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

AKHIR-AKHIR ini ramai pemberitaan masalah polisi membunuh polisi. Namun, yang terpenting adalah masalah lain yang menyangkut masa depan kehidupan masyarakat yakni pembahasan tentang RUU KUHP. Ada 14 isu krusial yang terdapat di dalam RUU KUHP yang disampaikan Pemerintah kepada DPR RI. Bahkan Presiden memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk segera menyosialisasikan isu-isu krusial tersebut dan menjelaskannya kepada masyarakat.

Sesungguhnya keempat belas isu krusial tersebut dalam kajian saya bisa terjadi karena rumusan normatif pasalnya tidak memenuhi syarat lex certa atau tidak sejalan dengan standar nilai umum yang berlaku dan diakui masyarakat, atau ada kesalahpahaman mengenai ideologi konsep demokrasi dan HAM. Bahkan jika diamati lebih dalam terdapat 80% norma yang terdapat pada KUHP 1946.

Namun, ada pula yang mengkawatirkan pada tataran implementasinya, keraguan masyarakat adalah melihat kenyataan praktik penegakan hukum selama ini yang mana sering terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penerapan ketentuan KUHP. Dalam praktik sering terjadi yang nyata bersalah dibebaskan sedangkan yang nyata tidak bersalah menderita kerugian baik material maupun immaterial.

Betapapun pendapat pihak yang kontra terhadap RUU KUHP tersebut, tampaknya belum adanya pemahaman yang sama bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum merupakan ladang anarki (Mochtar Kusumaaatmadja); artinya hukum menjadi hidup dan dapat diterapkan hanya oleh aparatur penegak hukum (manusia).

Contoh, masalah penangkapan atau penahanan merupakan hak subjektif penegak hukum dan hal ini terjadi di negara maju sekalipun. Kritik terhadap ketentuan pasal mengenai penyerangan atas martabat presiden dan wakil presiden, juga perbuatan penghinaan di dalam RUU KUHP, telah diubah dari delik biasa menjadi delik aduan. Artinya, tidak akan terjadi penegakan hukum berikut sanksi jika korban (peghinaan terhadap presiden atau wakil presiden) tidak melaporkan kepada kepolisian setempat atau telah memberikan pemaafan kepada pelaku.

Kritik-kritik masyarakat terhadap RUU KUHP yang kemudian disarikan pemerintah dalam 14 isu krusial sesungguhnya dilatarbelakangi pemikiran bahwa setiap individu sekalipun memiliki hak dan kebebasan asasi, juga memiliki tanggung jawab sosial dalam bemasyarakat.

Indonesia masa kini telah jauh berbeda dengan Indonesia masa tahun 1960-an dan keadaan setelah pemerintah meratifikasi Konvensi HAM Internasional tahun 2005. Hal ini ditampakkan dalam hal ketentuan pidana mati, yang semula tidak besyarat (penundaan pelaksanaan); dengan RUU KUHP baru pelaksanaan pidana mati dilakukan setelah terpidana menjalani pidana selama jangka waktu setelah 10 tahun, dan pelaksanaannya pun masih dipertimbangkan ada/tidaknya perubahan sikap perilaku selama masa tunda 10 tahun.

Begitu juga tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden; telah ada perubahan rumusan norma deliknya, semula delik biasa dengan RKUHP menjadi delik aduan; harus disyaratkan adanya pengaduan dari presiden atau wakil pesiden; tanpa adanya pengaduan tidak terjadi tindak pidana.

Cermin perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa dan terpidana terdapat pada ketentuan mengenai Pemidanaan, Pidana dan Tindakan (Bab III). Di dalam Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, telah diatur mengenai 11 (sebelas) hal yang wajib dipertimbangkan Hakim dan terhadap terpidana korporasi Hakim masih harus (wajib) mempertimbangkan 10 (sepuluh) hal sebelum putusan dijatuhkan. Ketentuan mengenai Bab III tentang Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan tidak terdapat pada RKUHP lama. Secara khusus dapat dikatakan bahwa dengan ketentuan Bab III RKUHP tampak serapan dari aspirasi nilai-nilai Pancasila dan nilai HAM universal PBB.

Di dalam RKUHP 2019/2020 telah terdapat ketentuan baru yang telah disesuaikan dengan perkembangan peradaban terkini. Contoh, ketentuan pidana mati bersyarat yang berarti penjatuhan pidana mati bukan merupakan langkah terakhir; pidana kerja sosial, pidana dan pidana pengawasan di samping pidana tambahan antara lain pemenuhan kewajiban adat.

Pengakuan atas pidana adat yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu merupakan perubahan pemikiran cerdas terhadap KUHP tanpa mengabaikan fungsi dan peranan hukum adat dalam masyarakat sehingga terbangun keseimbangan antara hukum (pidana) modern dan hukum pidana adat di mana rasa keadilan dalam konteks pemikiran modern diimbangi oleh rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat di wilayah tertentu.

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana terkandung dalam Pancasila telah diadopsi ke dalam ketentuan-ketentuan mengenai Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Tidak lagi perlu ada keragu-raguan masyarakat dengan berlakunya ketentuan mengenai Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam KUHP baru (tahun 2019/2020) perihal perlindungan hak asasi atas korban dan juga pelaku tindak pidana.

Keempat belas isu krusial dalam RKUHP 2019/2020 sesungguhnya tidak perlu ada jika di ujung akhir proses Criminal Justice System telah disediakan ketentuan pemidanaan, pidana dan tindakan sebagaimana diuraikan di atas. Hakim dalam hal penjatuhan hukuman terhadap korporasi bahkan KUHP 2019/2020 telah mengadopsi politik pemidanaan yang seimbang antara keadilan retributive dan keadilan rehabilitative serta keadilan restorative sehingga diharapkan bukan hanya tujuan pembalasan akan tetapi juga tujuan memulihkan hubungan baik antara korban dan pelaku telah diutamakan.

Selain pendekatan baru tersebut KUHP baru telah mengadopsi pendekatan efisiensi, keseimbangan dan maksimisasi fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Bahwa pintu terakhir keadilan adalah terletak pada bagaimana negara dapat memberikan perlindungan jaminan kepastian hukum yang adil dalam bentuk hukuman atau pemidanaan; bahkan dapat dikatakan bahwa cermin peradaban suatu bangsa tergambar dari bagaimana negara memperlakuan warganya dalam proses penjatuhan hukuman.

Dengan KUHP 2019/2020 dapat dinyatkan bahwa terhitung pemberlakuannya, negara akan hadir dan tidak dapat memperlakukan sewenang-wenang warganya yang terlibat dalam urusan hukum; bahkan negara wajib memulihkan keseimbangan kehidupan dalam masyarakat sehingga dengan KUHP baru ini konflik berkepanjangan antar warga masyarakat melalui hukum dapat dihentikan dengan bantuan hakim/majelis hakim ataupun jaksa penuntut. Keseluruhan ketentuan RKUHP tersebut merupakan cermin dari politik hukum pidana nasional era globalisasi dan sepantasnya bangsa Indonesia tidak lagi selalu dipandang sebelah mata oleh siapa pun dan bangsa-bangsa lain.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1164 seconds (0.1#10.140)