Bukan Hanya Beras

Senin, 29 Juni 2020 - 08:00 WIB
loading...
Bukan Hanya Beras
Kuntoro Boga Andri
A A A
Kuntoro Boga Andri
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian

Di negara kita, bicara pangan identik dengan beras. Berdasarkan pola pikir ini, maka ketahanan pangan Indonesia selalu dikaitkan dengan capaian produksi dan cadangan beras nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan penduduk Indonesia secara rata-rata mengonsumsi beras sebanyak 114,6 kg per tahun, jauh di atas rata-rata konsumsi beras penduduk dunia yang hanya sebesar 60 kg per tahun.

Stabilitas harga dan ketersediaan beras menjadi indikator utama keberhasilan pemerintah dalam membangun dan menjaga kedaulatan pangan kita saat ini. Kenaikan harga beras berdampak langsung terhadap indikator makro ekonomi, terutama inflasi dan daya beli masyarakat. Dengan begitu, tak jarang fluktuasi harga beras berujung pada turunnya kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Mayoritas penduduk Indonesia merasa bangga ketika Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization-FAO) pada 14 November 1985. Prestasi ini menjadi yurisprudensi keberhasilan pembangunan pertanian dan pangan nasional oleh pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, di era Reformasi, tingginya angka impor beras nasional sering kali menjadi catatan politik yang berujung pada delegitimasi keberhasilan pemerintah dalam membangun sektor pangan dan pertanian.

Suasana memperingati Hari Krida Pertanian 21 Juni, di saat pandemi Covid-19 melanda negeri, bisa menjadi momentum mengubah paradigma tersebut. Bahwa ukuran mencapai keberhasilan pertanian bukan hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas. Tekad bagi seluruh insan pertanian mampu menyediakan pangan yang sehat, beragam, terjangkau, serta bernutrisi bagi masyarakat.

Pembelajaran Diversifikasi
Bangsa Jepang menjadi contoh baik proses penganekaragaman pangan. Jepang yang secara tradisional mengonsumsi beras sebagai sumber pangan utama, sukses melakukan langkah diversifikasi pangan. Sejak tahun 1950-an mereka mulai melakukan gerakan mengurangi makan nasi. Periode 1953–1975, Jepang meluncurkan program “mengurangi nasi” di sekolah, karena secara berkala sekolah tidak lagi menyediakan nasi dan menggantinya dengan roti dari berbagai bahan tepung sebagai menu utama makan siang.

Kebijakan ini berhasil menumbuhkan kebiasaan “tidak tergantung nasi” saat makan siang, yang diturunkan ke generasi selanjutnya sehingga konsumsi beras di Negeri Sakura menurun drastis. Pada tahun 1960-an, 70% sumber kalori masyarakat Jepang masih dominan beras, sedangkan saat ini beras hanya menyumbang 11% kebutuhan kalori warga Jepang.
Diversifikasi pangan di Jepang tidak hanya fokus pada penganekaragaman pangan nonberas, tapi juga menganekaragamkan sumber kalori. Saat ini sumber kalori utama warga Jepang adalah susu, telur, dan daging. Ketiga bahan pangan protein hewani ini merupakan sumber kalori tertinggi bagi masyarakat dengan proporsi sekitar 17%. Fakta empiris di negara ini menunjukkan langkah diversifikasi pangan berhasil membuat angka harapan hidup penduduk (life expectancy) meningkat. Karena diversifikasi pangan membuat masyarakat menjadi lebih sehat hingga berumur panjang.

Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Sebuah studi merilis data, tahun 1954 proporsi beras sebagai sumber karbohidrat penduduk Indonesia hanya sebesar 53,5%, sisanya dipenuhi dari ubi kayu (22,6%), jagung (18,9%), dan kentang (4,99%). Artinya, di masa itu, masyarakat tidak menjadikan beras sebagai sumber utama karbohidrat. Seiring perjalanan waktu, beras semakin dominan sebagai sumber karbohidrat masyarakat.

Program swasembada pangan yang identik dengan beras, nilai prestise nasi sebagai makanan orang mampu dan pameo “belum makan, kalau belum makan nasi” semakin kuat di benak masyarakat. Akibatnya, di akhir tahun 80-an, proporsi beras semakin dominan sebagai sumber karbohidrat mencapai 81,1%, sisanya ubi kayu (10,02%) dan jagung (7,82%). Bahkan, sejak 2010, pangsa pangan nonberas nyaris hilang, tetapi tergantikan dengan konsumsi terigu impor yang mencapai 17 kg per kapita per tahun atau naik 500% dalam kurun waktu 30 tahun.

Pada waktu yang lalu, pembangunan pertanian dan pangan terpusat pada penyediaan sarana dan prasarana produksi padi hingga pengaturan distribusi, logistik dan penyimpanan, serta tata niaga beras. Penyeragaman konsumsi beras di Indonesia membuat makanan pokok lokal terabaikan dan menunjukkan sistem sentralistik dari pemerintahan masa itu.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1206 seconds (0.1#10.140)