LPSK Dorong Kasus Pemalsuan Sertifikat ABK Dikembangkan ke TPPO
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong penyidik Polda Metro Jaya mengembangkan pengungkapan sindikat pemalsu sertifikat pelaut ke ranah pidana perdagangan manusia . Sebab, pemalsuan dokumen merupakan salah satu modus yang biasa digunakan pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, perdagangan orang dimulai sejak proses perekrutan. Korban dijanjikan pekerjaan legal, majikan yang baik dan penghasilan yang cukup. Bahkan, bagi keluarga korban, perekrut memberikan sejumlah uang tali asih.
“Mereka (korban) kemudian dibekali dokumen identitas palsu, KTP, dan paspor,” jelas Edwin di Jakarta, Minggu (27/6-2020).
Praktikperdagangan orang sektor perikanan (ABK) biasanya melibatkan dua pihak yaitu, penyalur dan pihak perusahaan/kapal penerimanya.Penyalur bertugas melakukan perekrutan, penyiapan dokumen, perjanjian kerja dan pengiriman para ABK ini ke negara tujuan.
(Baca: LPSK Terima 21 Permohonan Perlindungan Kasus Penyiksaan)
Sementara perusahaan/kapal penangkap ikan merupakan milik warga negara asing. Selain orang perorangan, korporasi, kelompok terorganisir dan/atau penyelenggara negara juga dapat dijerat sebagai pelaku TPPO.
“Perbudakan pada sektor perikanan ini melibatkan banyak negara sehingga masuk ke dalam kategori kejahatan lintas negara (transnational crime),” ujar Edwin.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu. Foto/humas lpsk
Edwin mengungkapkan, data LPSK sepanjang 2015-2019, terdapat 122 korban TPPO yang dibekali dokumen palsu. Khusus ABK sektor perikanan, LPSK telah memberikan perlindungan kepada 232 korban mulai dari tahun 2013-Juni 2020. “Angka ini bukan merupakan jumlah keseluruhan dari korban peristiwa serupa,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa korban TPPO mendapatkan atensi khusus dari LPSK karena merupakan 1 dari 8 tindak pidana prioritas sebagaimana mandat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada 2018, terdapat 186 terlindung dari kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung pada 2019. Angka demikian menempatkan kasus TPPO pada posisi empat besar jumlah terlindung LPSK, setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM yang berat di tahun 2019.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, perdagangan orang dimulai sejak proses perekrutan. Korban dijanjikan pekerjaan legal, majikan yang baik dan penghasilan yang cukup. Bahkan, bagi keluarga korban, perekrut memberikan sejumlah uang tali asih.
“Mereka (korban) kemudian dibekali dokumen identitas palsu, KTP, dan paspor,” jelas Edwin di Jakarta, Minggu (27/6-2020).
Praktikperdagangan orang sektor perikanan (ABK) biasanya melibatkan dua pihak yaitu, penyalur dan pihak perusahaan/kapal penerimanya.Penyalur bertugas melakukan perekrutan, penyiapan dokumen, perjanjian kerja dan pengiriman para ABK ini ke negara tujuan.
(Baca: LPSK Terima 21 Permohonan Perlindungan Kasus Penyiksaan)
Sementara perusahaan/kapal penangkap ikan merupakan milik warga negara asing. Selain orang perorangan, korporasi, kelompok terorganisir dan/atau penyelenggara negara juga dapat dijerat sebagai pelaku TPPO.
“Perbudakan pada sektor perikanan ini melibatkan banyak negara sehingga masuk ke dalam kategori kejahatan lintas negara (transnational crime),” ujar Edwin.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu. Foto/humas lpsk
Edwin mengungkapkan, data LPSK sepanjang 2015-2019, terdapat 122 korban TPPO yang dibekali dokumen palsu. Khusus ABK sektor perikanan, LPSK telah memberikan perlindungan kepada 232 korban mulai dari tahun 2013-Juni 2020. “Angka ini bukan merupakan jumlah keseluruhan dari korban peristiwa serupa,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa korban TPPO mendapatkan atensi khusus dari LPSK karena merupakan 1 dari 8 tindak pidana prioritas sebagaimana mandat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada 2018, terdapat 186 terlindung dari kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung pada 2019. Angka demikian menempatkan kasus TPPO pada posisi empat besar jumlah terlindung LPSK, setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM yang berat di tahun 2019.