Partai Politik dan Asa Demokrasi

Jum'at, 22 Juli 2022 - 15:41 WIB
loading...
A A A
Sebagaimana kita saksikan, persaingan Pilpres 2019 lalu bahkan tidak melahirkan profil pemimpin baru, dan sepi dari gagasan orisinil. Tidak ada satupun dari narasi-narasi yang muncul ke permukaan membawa sebuah konsep yang luas diperbincangkan, dan menjadi isu nasional. Semua isu yang muncul selalu dipaksa kembali pada satu dari dua konklusi, “tetap Jokowi” atau “ganti presiden”.

Dampak lanjutan yang muncul kemudian, adalah terjadinya sakralisasi figur. Baik Jokowi maupun Prabowo menjadi sosok yang demikian dipuja, tapi sekaligus ditentang. Profil mereka menjadi sakral dan kehilangan nilai manusiawinya. Akibatnya, terjadinya simplifikasi sistem politik di negara kita. Dari semula bersifat institusional, menjadi personal.

Mirip seperti era Orde Baru dan Orde Lama. Hanya bedanya, bila pada kedua era sebelumnya, baik Soekarno maupun Soeharto membangun sendiri sakralitas dirinya, dan menghimpun dalam dirinya semua kekuasaan politik. Kini, baik Jokowi maupun Prabowo, disakralisasi oleh para pendukungnya. Fakta ini jelas mencemaskan. Karena demokrasi sejatinya menuntut agar kita menginsitusionalisasikan sistem, bukan mempersonalisasikannya.

Inilah yang luput dipahami selama polarisasi ini berlangsung. bahwa pemilihan presiden tidak bisa disimpifikasi menjadi sekedar proses pemilihan figur personal. Melainkah sebuah mekanisme pemilihan sebuah lembaga politik.

Maka tidak ada yang aneh, ketika selesai Pilpres 2019, Jokowi merangkul Prabowo untuk masuk bergabung ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Selain benar secara konstitusional, langkah tersebut dianggap sebagai terobosan positif dari kedua tokoh kunci ini untuk mencairkan polarisais kelompok yang ada.

Tapi sebagaimana kita saksikan bersama, alih-alih mencair, polarisasi tersebut nampaknya malah membentuk struktur polarisasi baru, tapi dengan format komposisi yang mirip, demi menyongsong perhelatan Pilpres 2024. Di mana keduanya mencari figur alternatif untuk menggantikan sakralitas Jokowi dan Prabowo.

Jangan lupa, polarisasi yang terbangun sejak Pilpres 2014 lalu itu, sudah beberapa kali mengalami eskalasi puncak yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Bahkan keduanya, pada titik ekstrem, telah secara serampangan membawa klaim keagamaan dan kebangsaan.

Sebagaimana kita tahu, kedua klaim ini adalah racikan paling berbahaya bagi negara dengan tingkat heterogenitas sekompleks Indonesia. Sebab secara geneologis, kedua klaim ini memiliki daya pikat yang luar biasa.

Seseorang, ataupun satu kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya ikatnya pun tak kalah kuat, keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas, hidup atau mati. Sejarah peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang dalam konflik atas nama agama dan bangsa (nasionalisme).

Akan tetapi, di balik sisi gelapnya, kedua klaim ini, baik agama maupun kebangsaan, sesungguhnya memiliki energi maha besar untuk melindungi semua hak manusia yang paling fundamental, yaitu hak hidup, dan hak mengenyam kebebasan, yang mana merupakan cita-cita Pancasila serta UUD 1945.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1590 seconds (0.1#10.140)