Partai Politik dan Asa Demokrasi

Jum'at, 22 Juli 2022 - 15:41 WIB
loading...
Partai Politik dan Asa Demokrasi
Wim Tohari Daniealdi (Foto: Ist)
A A A
Wim Tohari Daniealdi
Dosen FISIP Unikom Bandung

DALAM beberapa pekan terakhir, kita merasakan aroma kuat persaingan pemilu, pilpres, dan pikada serentak 2024. Di tambah pada 14 juni 2022 lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memulai kick-off tahapan Pemilu 2024.

Setelah beberapa pekan saling kunjung mengunjungi antar elite politik, sebagian partai politik agaknya sudah mencapai sejumlah kesepaham dan mulai membentuk koalisi guna menyongsong perhelatan politik 2024.

Namun terlepas dari proyeksi pencapresan ataupun target elektabilitas yang pasti diincar oleh setiap kontestan pemilu 2024, yang menarik perhatian penulis adalah misi dan juga harapan yang ingin dilaksanakan oleh para elite politik ini dalam berkompetisi pada 2024; yaitu membangun ekosistem persaingan yang sehat demi kepentingan nasional yang lebih baik.

Hal ini tercermin di dalam plaform Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diusung oleh Golkar, PPP, dan PAN, di mana mereka sepakat untuk mengakhiri politik identitas, dan ingin mencairkan polarisasi massa Pilpres 2014-2019 yang hingga kini masih menimbulkan "polusi" di ruang demokrasi kita.

Harapan yang sama juga disampaikan oleg Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam pidato nya ketika membuka Rakernas Partai NasDem, 15 Juni 2022 lalu, bahwa di atas politik kompetisi dalam pemilu, ada “politik kebangsaan” yang bertujuan luhur, demi kebaikan dan keutuhan bangsa. Dalam kesempatan itu, Surya Paloh meminta semua kader NasDem untuk lebih mengedepankan politik kebangsaan ini dalam perhelatan pemilu, pilpres dan pilkada serentak 2024 ini.

Dalam pandangan penulis, misi yang diinginkan oleh para elite parpol ini perlu disambut baik. Sebagaimana kita ketahui, bahwa pasca Pilpres 2014 lalu, telah terjadi “pembalseman” artefak konflik pilpres yang mengakibatkan polarisasi massa pendukung kandidat presiden terfregmentasi ke dalam dua kubu yang pro dan kontra pemerintah.

Pada tahap selanjutnya, kondisi tersebut membentuk patern budaya politik yang konfliktual, di mana hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda politik, selalu menghadirkan dua sikap atau pendapat yang konfrontatif, bahkan saling menegasikan satu sama lain.

Sebagai dampak lanjutan dari kondisi tersebut, terjadi pematenan loyalitas kelompok, dan tertutupnya jalan ketiga. Skema popularitas hanya dirumuskan ke dalam dua kutub figur, yaitu Jokowi dan Prabowo. Akibatnya, tidak ada figur-figur alternatif yang bisa muncul ke puncak elektabilitas dalam kurun waktu Pilpres 2014 sampai 2019. Karena siapa pun akan diidentifikasi orientasi keberpihakannya pada figur Jokowi atau Prabowo.

Tanpa kita sadari, fenomena ini telah mengerdilkan mekanisme demokrasi sebagai sokoguru merit-system. Para tokoh dan politisi di negeri ini lebih mengejar stigma asosiasi dirinya dengan kedua figur yang ada daripada bekerja merumuskan satu prinsip atau visi masa depan politik yang otentik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1003 seconds (0.1#10.140)