Paket Bali dan sektor pertanian

Sabtu, 04 Januari 2014 - 16:06 WIB
Paket Bali dan sektor pertanian
Paket Bali dan sektor pertanian
A A A
DIRJEN WTO Roberto Azevedo dan Ketua Konferensi WTO Gita Wirjawan bungah. Roberto dan Gita Wirjawan yang juga Menteri Perdagangan RI patut bergembira lantaran berhasil menuntaskan Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali dengan menyepakati Paket Bali.

Setelah 12 tahun tanpa hasil, sebagian agenda Putaran Doha diselesaikan. Hasil ini diyakini akan mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO pentingnya kerja sama multilateral. Dari tiga isi Paket Bali yakni fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang dan pertanian, paket terakhir paling alot disetujui.

Dimotori India, kelompok G-33 (kelompok negara-negara berkembang) yang dipimpin Indonesia mendesakkan penaikan subsidi pertanian dari 10% menjadi 15% tanpa batas waktu, cadangan pangan pemerintah (stockholding for food security) untuk ketahanan pangan, pembebasan produk ekspor pertanian dari subsidi ekspor, dan penerapan tariff rate quota. Proposal India ditentang oleh negara-negara maju.

Dimotori oleh AS, proposal India dituding mendistorsi perdagangan. Usulan India akhirnya disetujui menjadi bagian Paket Bali dengan peace clause empat. Selama interim empat tahun itu negara berkembang diperbolehkan menerapkan subsidi 15% dari total produksi. Negara-negara anggota WTO diminta tidak mempermasalahkan ini ke panel WTO. Setelah empat tahun dijanjikan akan ada solusi permanen yang akan dirundingkan dalam konferensi tingkat menteri berikutnya.

Pertanyaannya, mengapa paket pertanian paling sengit diperdebatkan? Jantung masalahnya terletak pada jurang perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang di sektor pertanian. Negara maju menghendaki liberalisasi lewat pembukaan akses pasar di negara-negara berkembang. Sebaliknya, negara maju pelit memangkas subsidi dan dukungan domestik kepada petani dan sektor pertaniannya yang dituntut negara-negara berkembang.

Negara maju banyak menuntut, tetapi pelit memberi. Ini tercermin dari sikap negara maju yang menyerang balik dan menyetujui proposal subsidi sektor pertanian yang disodorkan India dengan skema peace clause selama empat tahun. Sekarang ini 1,3 miliar penduduk dunia bekerja di pertanian dan 2,5 miliar jiwa menggantungkan hidupnya dari sektor ini. Di negara berkembang seperti Indonesia, lebih 50% penduduk bekerja di pertanian, bahkan di negara-negara miskin porsinya bisa 85%.

Di negara-negara itu pertanian jadi gantungan hidup dan penyedia pangan. Pertanian berperan penting dalam menekan kelaparan dan kemiskinan serta pemenuhan hak-hak dasar warga. Sekitar 40% dari 1,2 miliar penduduk India bekerja di pertanian. Mayoritas rentan kelaparan. India berkepentingan menjamin hak pangan warga tanpa diatur WTO. Sebaliknya, ekonomi negara-negara maju tidak lagi bergantung sektor pertanian. Populasi penduduk yang bekerja di sektor pertanian pun minoritas.

Di AS misalnya jumlah petani tidak lebih dari 2% dari jumlah penduduk. Namun, bukan berarti pertanian dinilai tidak penting. Negara maju tidak hanya memproteksi, tapi juga menyubsidi petani amat besar. Agar landasannya kuat, subsidi didasari undang-undang. AS menyubsidi pertanian USD48,4 miliar/tahun dan Uni Eropa 110,3 miliar euro/tahun. Pendapatan petani beras dan gula di negara-negara OECD masing-masing 78% dan 51% dari subsidi. Karena bias kepentingan negara-negara maju, subsidi beras itu tidak pernah dipersoalkan WTO.

Dalam Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) WTO sebetulnya ada tiga pilar utama yang saling terkait yakni akses pasar (market access), dukungan domestik (domestic support), dan subsidi ekspor (export subsidy). Masalahnya, reformasi perdagangan yang dirancang melalui AoA WTO hanya terfokus pada akses pasar dan mengabaikan dua pilar lain. Aturan-aturan WTO memang bias kepentingan negara maju.

Cadangan pangan pemerintah di negara-negara berkembang guna menjamin hak pangan dinilai mendistorsi perdagangan, di sisi lain subsidi pangan dan pertanian di negara-negara maju, baik dalam bentuk subsidi ekspor maupun dukungan domestik, dilegalkan. Akses pasar lebih banyak terkait dengan sisi permintaan. Masalahnya, negara berkembang banyak mengalami hambatan dari sisi pasokan, baik karena infrastruktur yang jelek, kualitas sumber daya manusia yang rendah, energi yang tak terjamin, maupun fasilitas teknologi yang tak memadai.

Ditambah instabilitas politik dan ekonomi makro, semua itu membuat negara berkembang amat sulit memanfaatkan terbukanya akses pasar di negara maju. Apalagi, pada saat yang sama negara maju menerapkan pelbagai new non-tariff barrier seperti standar teknis internasional dan asal barang, syarat lingkungan dan kesehatan. Plus tarif eskalasi produk olahan, produk negara berkembang bagai membentur tembok.

Negara berkembang hanya mampu melindungi petani dan industri pertaniannya melalui pilar akses pasar, bukan dukungan domestik dan subsidi ekspor. Mereka tidak cukup punya dana dan kapasitas melakukannya. Apabila akses pasar sebagai satu-satunya perlindungan juga diobrak-abrik oleh negara maju, ini akan memunculkan dua masalah serius. Pertama, negara berkembang akan kehilangan daya tawar pada masa mendatang dan kehilangan penerimaan dari bea masuk.

Kedua, petani miskin dan gurem di negara berkembang tidak hanya bersaing dengan petani negara maju yang lahannya luas, kaya raya, dan kinerja produksinya efisien, tetapi mereka juga harus bersaing dengan menteri keuangan negara maju lewat kucuran subsidi yang demikian besar. Adilkah semua ini? Fokus pada akses pasar juga tercermin kuat dalam Paket Bali. Ini tercermin dari disetujuinya poin-poin dalam fasilitas perdagangan. Isu ini eksklusif milik negara-negara maju.

Dengan disetujui poin fasilitas perdagangan, lewat WTO, negara-negara maju bisa mendesak dibangun sejumlah fasilitas seperti kepabeanan, pelabuhan dan perizinan, serta fasilitas pengukuran kesehatan di negara berkembang. Itu semua memakan biaya besar.

Padahal fasilitas ini tak lain untuk melicinkan lalu lintas barang impor di negara-negara berkembang. Impor pangan di negara-negara berkembang yang sudah besar bakal semakin deras mengalir tanpa sulit dibendung. Indonesia tidak terkecuali.

KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8149 seconds (0.1#10.140)