Anggaran APD Tak Kunjung Cair, Pilkada 2020 Terancam Batal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hajatan pemilihan kepala daerah ( Pilkada) Serentak 2020 kembali terancam. Tahapan verifikasi factual calon perseorangan tak kunjung bisa dilakukan karena dana tambahan untuk pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas KPU senilai Rp1,02 triliun tak kunjung cair.
Seharusnya tahapan verifikasi ini dilakukan sejak 15 Juni 2020 lalu. Namun karena tidak ada APD, KPU menunda tahapan ini hingga 24 Juni. Rencana tersebut kembali gagal dilakukan karena hingga kemarin anggaran tambahan tetap tertahan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kemoloran proses verifikasi factual berkas kelengkapan calon independen ini pun memberikan dampak domino. Tahapan lanjutan lainnya pun menjadi terganggu.
“Terus terang kami risau. Saya sudah perintahkan dalam satu rapat koordinasi dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota jangan melakulan kegiatan yang bertemu dengan banyak pihak tanpa APD. Jadi saya tidak minta mereka melakukan itu,” ujar Ketua KPU Arief Budiman, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dengan Ketua KPU dan Bawaslu terkait Pagu Indikatif KPU dan Bawaslu tahun 2021, kemarin.
Dia menjelaskan KPU telah melakukan pada dasarnya KPU sudah membuat beberapa kali penundaan terkait verifikasi factual calon perserorangan. KPU memahami jia untuk proses pencairan anggaran membutuhkan waktu yang tidak pendek. (Baca: Mendagri Minta Kepala Daerah Segera Cairkan Anggaran Pilkada)
“Kami memahami proses administrasi pencairan anggaran tidak mudah. Maka kami pun menunda pelaksanaan verifikasi dari 15 Juni ke 18 Juni. Tapi ternyata dana belum cair sehingga kami tunda 24 Juni, tapi dana APD juga belum juga turun,” katanya.
Arief memastikan jika persyaratan pencairan dana dari KPU telah diserahkan secara lengkap ke Kementerian Keuangan. Menurutnya ketika Surat Penetapan Satuan Belanja Anggaran atau SP-SABA sudah diteken oleh Menkeu, berarti data dukungan KPU sudah diterima oleh Kemenkeu. Sebab SP-SABA merupakan syarat disetujuinya anggaran jatah KPU.
“Data dari kami sudah diterima sehingga, disetujuilah anggaran Rp941 miliar (usulan untuk KPU) itu. Nah bagaimana dengan yang lain (Bawaslu-DKPP)? Bukan berarti data dukung tidak ada, tapi saya tidak tahu apa yang jadi pertimbangan sehingga kemudian tidak disetujui,” paparnya.
Arief mengungkapkan tahapan verifikasi faktual dilakukan pada tanggal 24-29 Juni. Tetapi, tidak mungkin juga jika diberi batasan 29 Juni lantas daerah bisa langsung mendapatkan APD-nya. Jadi semestinya,tanggal 24 Juni sudah tersedia sehingga daerah masih ada wkatu mencari kebutuhan APD.
“Jadi mestinya 24 sudah ada uangnya lalu teman-teman mencari proses pemenuhan APD KPU kabupaten/kota juga butuh APD untuk digunakan dia kirim dokumen ke kecamatan dokumen ke kelurahan, barulah kemudian PPS lakukan verifikasi factual,” terang Arief. (Baca juga: Bawaslu: Kami Tidak Ingin Ada Klaster Baru Covid-19 di Pilkada)
Mantan Komisioner KPU Jawa Timur ini mengaku telah berkoordinasi dengan Bawaslu soal kemungkinan menunda Pilkada secara lokal jika anggaran dan APD-nya tidak tersedia. Karena, Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang penundaan pilkada itu tidak menghapus kewenangan KPU daerah untuk melakukan penundaan secara lokal. “Bisa jadi ada beberapa daerah yang ditunda karena ketidakjelasan tahapan lanjutan Pilkada,” ujarnya.
Anggota Komisi II Mardani Ali Sera mengusulkan agar Pilkada Serentak 2020 dibatalkan dan hendak memecat Menkeu karena membahayakan penyelenggaraan pesta demokrasi lokal di tengah pandemic Covid-19. Dia meminta seluruh anggota komisi II membuat surat dan kesepakatan usulan untuk memecat Menteri Keuangan Sri Mulyani karena tidak segera mencairkan anggaran APD. Tindakan tersebut berpotensi membahayakan kondisi penyelenggara Pemilu maupun masyarakat.
“Kita Komisi II bersama sama membuat surat dan kesepakatan usulan pemecatan kepada Menkeu karena dapat membahayakan kondisi para penyelenggara pemilu dan masyarakat itu saja. Terima kasih,” katanya.
Mardani mengatakan DPR harus tegas terkait dengan kepastian pelaksanaan Pilkada 2020. Menurutnya momentum Pilkada merupakan salah satu parameter Demokrasi. Jika tidak terlaksana dengan baik, maka merugikan proses suksesi dan hak konstitusional rakyat. “Komisi II DPR harus keras karena ini menyangkut masa depan demokrasi,” katanya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Johan Budi menanyakan kepada Ketua KPU dan Ketua Bawaslu soal tenggat waktu pencairan anggaran yang seharusnya. Terlebih, komitmen penambahan anggaran itu sudah ada saat rapat gabungan dengan Menkeu dan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 11 Juni lalu. (Baca juga: Liga Arab: Aneksasi Israel Atas Tanah Palestina Bisa Picu perang Besar)
“Jadi, sampai mana anggaran itu harus cair kalau melewati itu kita tunda saja pilkadanya. Itu karema enggak ada komitmen ini padahal sudah kita panggil,” ujar mantan Jubir Presiden Jokowi itu.
Johan Budi menyatakan tidak bisa jika pilkada terus menerus diundur tahapannya karena anggaran tidak kunjung dicairkan. Sehingga, KPU perlu menetapkan tenggat waktunya. “Saya usul ke Komisi II ditunda dulu pilkada karena kayaknya main-main ini, nggak serius pemerintah,” tegasnya.
Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia menanyakan waktu yang dijanjikan pemerintah untuk pencairan anggaran ini. Karena, dalam rapat terakhir dengan Mendagri pada Rabu (24/6) kemarin, seolah tentang pilkada ini tidak ada masalah.
“Yang otoritas janjikan kapan terkahir? Kemarin kami rapat dengan mendgari seolah-olah everything its okay. Kalau terkahir? Apakah itu batas akhir? Atau masih ada nafas?,” tanya Politikus Partai Golkar ini.
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun kembali meminta daerah untuk segera mencairkan sisa anggaran hibah pilkada yang sudah masuk dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Hal ini disampaikan Tito dalamacara Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak yang digelar lewat video conference yang dihadiri seluruh kepala daerah peserta pilkada serentak 2020. (Lihat videonya: Orang Utan Berukuran Besar Muncul di Pinggir Jalan Kalteng)
"Saya memohon kepada rekan-rekan kepala daerah, sisa anggaran yang sudah dihibahkan dalam naskah perjanjian, yang sudah dijanjikan untuk dihibahkan dalam naskah perjanjian ini dicairkan juga kepada KPUD dan Bawaslu daerah. Sehingga mereka memiliki kepastian adanya dukungan anggaran. Dengan begitu mereka bisa menggulirkan kegiatannya," katanya dalam siaran rilisnya, Rabu (24/6/2020).
Dia mengatakan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi covid ini mengharuskan penyelenggara menerapkan protokol kesehatan . Dimana penyelenggara telah memberikan daftar barang yang dibutuhkan seperti masker hand sanitizer, sarung tangan. Namun hal ini membutuhkan dukungan anggaran.
"Mereka harus menggunakan APD, thermometer dan lain-lain. Sehingga total kebutuhan untuk TPS tambahan dan alat-alat perlindungan dari covid baik untuk penyelenggara, pengamanan maupun para pemilih nantinya butuh anggaran," tekannya. (Kiswondari/Dita Angga)
Seharusnya tahapan verifikasi ini dilakukan sejak 15 Juni 2020 lalu. Namun karena tidak ada APD, KPU menunda tahapan ini hingga 24 Juni. Rencana tersebut kembali gagal dilakukan karena hingga kemarin anggaran tambahan tetap tertahan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kemoloran proses verifikasi factual berkas kelengkapan calon independen ini pun memberikan dampak domino. Tahapan lanjutan lainnya pun menjadi terganggu.
“Terus terang kami risau. Saya sudah perintahkan dalam satu rapat koordinasi dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota jangan melakulan kegiatan yang bertemu dengan banyak pihak tanpa APD. Jadi saya tidak minta mereka melakukan itu,” ujar Ketua KPU Arief Budiman, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dengan Ketua KPU dan Bawaslu terkait Pagu Indikatif KPU dan Bawaslu tahun 2021, kemarin.
Dia menjelaskan KPU telah melakukan pada dasarnya KPU sudah membuat beberapa kali penundaan terkait verifikasi factual calon perserorangan. KPU memahami jia untuk proses pencairan anggaran membutuhkan waktu yang tidak pendek. (Baca: Mendagri Minta Kepala Daerah Segera Cairkan Anggaran Pilkada)
“Kami memahami proses administrasi pencairan anggaran tidak mudah. Maka kami pun menunda pelaksanaan verifikasi dari 15 Juni ke 18 Juni. Tapi ternyata dana belum cair sehingga kami tunda 24 Juni, tapi dana APD juga belum juga turun,” katanya.
Arief memastikan jika persyaratan pencairan dana dari KPU telah diserahkan secara lengkap ke Kementerian Keuangan. Menurutnya ketika Surat Penetapan Satuan Belanja Anggaran atau SP-SABA sudah diteken oleh Menkeu, berarti data dukungan KPU sudah diterima oleh Kemenkeu. Sebab SP-SABA merupakan syarat disetujuinya anggaran jatah KPU.
“Data dari kami sudah diterima sehingga, disetujuilah anggaran Rp941 miliar (usulan untuk KPU) itu. Nah bagaimana dengan yang lain (Bawaslu-DKPP)? Bukan berarti data dukung tidak ada, tapi saya tidak tahu apa yang jadi pertimbangan sehingga kemudian tidak disetujui,” paparnya.
Arief mengungkapkan tahapan verifikasi faktual dilakukan pada tanggal 24-29 Juni. Tetapi, tidak mungkin juga jika diberi batasan 29 Juni lantas daerah bisa langsung mendapatkan APD-nya. Jadi semestinya,tanggal 24 Juni sudah tersedia sehingga daerah masih ada wkatu mencari kebutuhan APD.
“Jadi mestinya 24 sudah ada uangnya lalu teman-teman mencari proses pemenuhan APD KPU kabupaten/kota juga butuh APD untuk digunakan dia kirim dokumen ke kecamatan dokumen ke kelurahan, barulah kemudian PPS lakukan verifikasi factual,” terang Arief. (Baca juga: Bawaslu: Kami Tidak Ingin Ada Klaster Baru Covid-19 di Pilkada)
Mantan Komisioner KPU Jawa Timur ini mengaku telah berkoordinasi dengan Bawaslu soal kemungkinan menunda Pilkada secara lokal jika anggaran dan APD-nya tidak tersedia. Karena, Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang penundaan pilkada itu tidak menghapus kewenangan KPU daerah untuk melakukan penundaan secara lokal. “Bisa jadi ada beberapa daerah yang ditunda karena ketidakjelasan tahapan lanjutan Pilkada,” ujarnya.
Anggota Komisi II Mardani Ali Sera mengusulkan agar Pilkada Serentak 2020 dibatalkan dan hendak memecat Menkeu karena membahayakan penyelenggaraan pesta demokrasi lokal di tengah pandemic Covid-19. Dia meminta seluruh anggota komisi II membuat surat dan kesepakatan usulan untuk memecat Menteri Keuangan Sri Mulyani karena tidak segera mencairkan anggaran APD. Tindakan tersebut berpotensi membahayakan kondisi penyelenggara Pemilu maupun masyarakat.
“Kita Komisi II bersama sama membuat surat dan kesepakatan usulan pemecatan kepada Menkeu karena dapat membahayakan kondisi para penyelenggara pemilu dan masyarakat itu saja. Terima kasih,” katanya.
Mardani mengatakan DPR harus tegas terkait dengan kepastian pelaksanaan Pilkada 2020. Menurutnya momentum Pilkada merupakan salah satu parameter Demokrasi. Jika tidak terlaksana dengan baik, maka merugikan proses suksesi dan hak konstitusional rakyat. “Komisi II DPR harus keras karena ini menyangkut masa depan demokrasi,” katanya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Johan Budi menanyakan kepada Ketua KPU dan Ketua Bawaslu soal tenggat waktu pencairan anggaran yang seharusnya. Terlebih, komitmen penambahan anggaran itu sudah ada saat rapat gabungan dengan Menkeu dan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 11 Juni lalu. (Baca juga: Liga Arab: Aneksasi Israel Atas Tanah Palestina Bisa Picu perang Besar)
“Jadi, sampai mana anggaran itu harus cair kalau melewati itu kita tunda saja pilkadanya. Itu karema enggak ada komitmen ini padahal sudah kita panggil,” ujar mantan Jubir Presiden Jokowi itu.
Johan Budi menyatakan tidak bisa jika pilkada terus menerus diundur tahapannya karena anggaran tidak kunjung dicairkan. Sehingga, KPU perlu menetapkan tenggat waktunya. “Saya usul ke Komisi II ditunda dulu pilkada karena kayaknya main-main ini, nggak serius pemerintah,” tegasnya.
Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia menanyakan waktu yang dijanjikan pemerintah untuk pencairan anggaran ini. Karena, dalam rapat terakhir dengan Mendagri pada Rabu (24/6) kemarin, seolah tentang pilkada ini tidak ada masalah.
“Yang otoritas janjikan kapan terkahir? Kemarin kami rapat dengan mendgari seolah-olah everything its okay. Kalau terkahir? Apakah itu batas akhir? Atau masih ada nafas?,” tanya Politikus Partai Golkar ini.
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun kembali meminta daerah untuk segera mencairkan sisa anggaran hibah pilkada yang sudah masuk dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Hal ini disampaikan Tito dalamacara Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak yang digelar lewat video conference yang dihadiri seluruh kepala daerah peserta pilkada serentak 2020. (Lihat videonya: Orang Utan Berukuran Besar Muncul di Pinggir Jalan Kalteng)
"Saya memohon kepada rekan-rekan kepala daerah, sisa anggaran yang sudah dihibahkan dalam naskah perjanjian, yang sudah dijanjikan untuk dihibahkan dalam naskah perjanjian ini dicairkan juga kepada KPUD dan Bawaslu daerah. Sehingga mereka memiliki kepastian adanya dukungan anggaran. Dengan begitu mereka bisa menggulirkan kegiatannya," katanya dalam siaran rilisnya, Rabu (24/6/2020).
Dia mengatakan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi covid ini mengharuskan penyelenggara menerapkan protokol kesehatan . Dimana penyelenggara telah memberikan daftar barang yang dibutuhkan seperti masker hand sanitizer, sarung tangan. Namun hal ini membutuhkan dukungan anggaran.
"Mereka harus menggunakan APD, thermometer dan lain-lain. Sehingga total kebutuhan untuk TPS tambahan dan alat-alat perlindungan dari covid baik untuk penyelenggara, pengamanan maupun para pemilih nantinya butuh anggaran," tekannya. (Kiswondari/Dita Angga)
(ysw)