Bung Karno dan Ekonomi Syariah
loading...
A
A
A
Komitmen Ekonomi Syariah
Kesejahteraan adalah salah satu tujuan nasional kita yang terdapat pada UUD 1945 alinea ke-4, yang berbunyi “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Agenda kesejahteraan ini juga menjadi tujuan utama dari ekonomi dan keuangan syariah dalam falah atau tercapainya kesejahteraan yang mencakup kebahagiaan (spiritual) dan kemakmuran (material) pada tingkatan individu dan masyarakat. Tiga pilarnya, pertama adalah aktivitas ekonomi yang berkeadilan dengan menghindari eksploitasi berlebihan, excessive hoardings, unproductive, spekulatif, dan kesewenang-wenangan.
Kedua, adanya keseimbangan aktivitas di sektor rill-finansial, pengelolaan risk-return, aktivitas bisnis-sosial, aspek spiritual-material, dan asas manfaat-kelestarian lingkungan. Ketiga, orientasi pada kemaslahatan yang berarti melindungi keselamatan, kehidupan beragama, proses regenerasi, serta perlindungan keselamatan jiwa, harta, dan akal.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam artikel masyhur “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang dimuat dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda pada 1926, Bung Karno menekankan begitu pentingnya menjunjung keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan dalam satu tarikan nafas.
“Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang paham Marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang paham Islam.
Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, ….”.
Gagasan Bung Karno tentang antiriba atau memerangi meerwaarde dari benih hingga akar-akarnya ini sejalan dengan apa yang juga pernah ditulis oleh gurunya, HOS Tjokroaminoto. Dalam bukunya “Islam dan Sosialisme” yang ditulis pada 1924 di Maitarat, Tjokro menegaskan juga terkait komitmen antiriba tersebut.
“… menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan --semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka. …”.
Dari pikiran yang diekspresikan Bung Karno sebagai kemarahan dan kita juga peroleh dari gurunya HOS Tjokroaminoto, sangat terang bagaimana Bung Karno punya komitmen yang begitu besar dalam menjalankan prinsip-prinsip yang ada dalam Islam, lebih khusus lagi dalam konteks ekonomi dan keuangan syariah.
Ikhtiar inilah yang kini dilanjutkan dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Maruf Amin dalam meletakkan pondasi yang kokoh sebagai legacy atau warisan kepemimpinannya.
Kesejahteraan adalah salah satu tujuan nasional kita yang terdapat pada UUD 1945 alinea ke-4, yang berbunyi “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Agenda kesejahteraan ini juga menjadi tujuan utama dari ekonomi dan keuangan syariah dalam falah atau tercapainya kesejahteraan yang mencakup kebahagiaan (spiritual) dan kemakmuran (material) pada tingkatan individu dan masyarakat. Tiga pilarnya, pertama adalah aktivitas ekonomi yang berkeadilan dengan menghindari eksploitasi berlebihan, excessive hoardings, unproductive, spekulatif, dan kesewenang-wenangan.
Kedua, adanya keseimbangan aktivitas di sektor rill-finansial, pengelolaan risk-return, aktivitas bisnis-sosial, aspek spiritual-material, dan asas manfaat-kelestarian lingkungan. Ketiga, orientasi pada kemaslahatan yang berarti melindungi keselamatan, kehidupan beragama, proses regenerasi, serta perlindungan keselamatan jiwa, harta, dan akal.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam artikel masyhur “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang dimuat dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda pada 1926, Bung Karno menekankan begitu pentingnya menjunjung keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan dalam satu tarikan nafas.
“Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang paham Marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang paham Islam.
Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, ….”.
Gagasan Bung Karno tentang antiriba atau memerangi meerwaarde dari benih hingga akar-akarnya ini sejalan dengan apa yang juga pernah ditulis oleh gurunya, HOS Tjokroaminoto. Dalam bukunya “Islam dan Sosialisme” yang ditulis pada 1924 di Maitarat, Tjokro menegaskan juga terkait komitmen antiriba tersebut.
“… menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan --semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka. …”.
Dari pikiran yang diekspresikan Bung Karno sebagai kemarahan dan kita juga peroleh dari gurunya HOS Tjokroaminoto, sangat terang bagaimana Bung Karno punya komitmen yang begitu besar dalam menjalankan prinsip-prinsip yang ada dalam Islam, lebih khusus lagi dalam konteks ekonomi dan keuangan syariah.
Ikhtiar inilah yang kini dilanjutkan dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Maruf Amin dalam meletakkan pondasi yang kokoh sebagai legacy atau warisan kepemimpinannya.