Bung Karno dan Ekonomi Syariah
loading...
A
A
A
Arief Rosyid
Komisaris BSI, Alumni SPPB MI
TERINGAT setahun lalu, ketika saya diminta menjadi narasumber dalam kegiatan Sarasehan Nasional Indonesia Muda Membaca Bung Karno oleh Megawati Institute.
Hadir juga sebagai keynote speaker adalah Megawati Soekarnoputri, anak kandung Bung Karno, juga Presiden Republik Indonesia yang kelima. Selain Bu Mega, selebihnya narasumbernya generasi muda dari berbagai bidang pengabdian misalnya Nadiem Makarim, Putri Tanjung, Alfatih Timur, dan lainnya.
Tema yang diberikan kepada saya terkait “Bung Karno, Pergerakan Pemuda, dan Islam”. Lebih spesifik dalam tulisan ini saya akan mencoba mengelaborasi pikiran Bung Karno terkait dengan ekonomi dan keuangan syariah. Ini yang dilanjutkan Presiden Jokowi sebagai salah satu warisan kepemimpinan beliau, komitmen mewujudkan Indonesia sebagai pusat gravitasi ekonomi syariah dunia.
“Islam is progress. Islam itu kemajuan. Progres berarti pembikinan baru, creation baru – bukan mengurangi barang yang dulu, bukan meng-copy barang lama”, tulis Bung Karno dalam salah satu suratnya kepada Ahmad Hassan, ulama terkemuka Persatuan Islam (Persis) pada dekade 1930-an.
Sejak usia muda Bung Karno percaya, Islam yang rasional dan berkemajuan dapat membangunkan rasa perlawanan di hati sanubari rakyat Muslim terhadap imperialisme Barat. Namun menurut Bung Karno, kemajuan umat Islam juga, “Harus mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat".
Artinya kemajuan itu berlandaskan perkembangan sains dan teknologi dalam pergaulan antar-bangsa. Umat Islam perlu terus meningkatkan kapasitasnya dengan membangun tafsir keagamaan yang berorientasi ke depan dan terbuka terhadap perubahan. Keyakinan-keyakinan Bung Karno di atas terasa semakin dibutuhkan di masa sekarang.
Kerja besar pemerintah untuk menghadirkan Indonesia Maju akan sulit tercapai tanpa keterlibatan kelompok-kelompok kebangsaan, terutama organisasi- organisasi Islam yang progresif. Sejak awal kemerdekaan, Umat Islam merupakan anak kandung cita-cita kebangsaan, baik sebagai pelaku maupun sebagai sasaran pembangunan nasional.
Sejak usia muda, Bung Karno selalu berupaya menyintesis konsep dan persatuan politik, walaupun saat itu gerakan kemerdekaan terdiri dari kekuatan-kekuatan politik yang beragam. Untuk menciptakan persatuan, Bung Karno mengedepankan persamaan dibanding perbedaan.
Menyingkirkan ego/kepentingan kelompok untuk mencapai kepentingan bangsa yang lebih besar. Spirit inilah yang juga kita butuhkan saat ini. Persatuan politik perlu diperkuat untuk mencapai persatuan ekonomi, yaitu kesejahteraan bangsa secara umum.
Komitmen Ekonomi Syariah
Kesejahteraan adalah salah satu tujuan nasional kita yang terdapat pada UUD 1945 alinea ke-4, yang berbunyi “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Agenda kesejahteraan ini juga menjadi tujuan utama dari ekonomi dan keuangan syariah dalam falah atau tercapainya kesejahteraan yang mencakup kebahagiaan (spiritual) dan kemakmuran (material) pada tingkatan individu dan masyarakat. Tiga pilarnya, pertama adalah aktivitas ekonomi yang berkeadilan dengan menghindari eksploitasi berlebihan, excessive hoardings, unproductive, spekulatif, dan kesewenang-wenangan.
Kedua, adanya keseimbangan aktivitas di sektor rill-finansial, pengelolaan risk-return, aktivitas bisnis-sosial, aspek spiritual-material, dan asas manfaat-kelestarian lingkungan. Ketiga, orientasi pada kemaslahatan yang berarti melindungi keselamatan, kehidupan beragama, proses regenerasi, serta perlindungan keselamatan jiwa, harta, dan akal.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam artikel masyhur “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang dimuat dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda pada 1926, Bung Karno menekankan begitu pentingnya menjunjung keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan dalam satu tarikan nafas.
“Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang paham Marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang paham Islam.
Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, ….”.
Gagasan Bung Karno tentang antiriba atau memerangi meerwaarde dari benih hingga akar-akarnya ini sejalan dengan apa yang juga pernah ditulis oleh gurunya, HOS Tjokroaminoto. Dalam bukunya “Islam dan Sosialisme” yang ditulis pada 1924 di Maitarat, Tjokro menegaskan juga terkait komitmen antiriba tersebut.
“… menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan --semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka. …”.
Dari pikiran yang diekspresikan Bung Karno sebagai kemarahan dan kita juga peroleh dari gurunya HOS Tjokroaminoto, sangat terang bagaimana Bung Karno punya komitmen yang begitu besar dalam menjalankan prinsip-prinsip yang ada dalam Islam, lebih khusus lagi dalam konteks ekonomi dan keuangan syariah.
Ikhtiar inilah yang kini dilanjutkan dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Maruf Amin dalam meletakkan pondasi yang kokoh sebagai legacy atau warisan kepemimpinannya.
Kelahiran Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang kemudian disempurnakan menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), merger Bank Syariah Indonesia (BSI), memperkuat Lembaga Keuangan Mikro Syariah untuk memerangi rentenir, dan segenap ikhtiar lain untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Komisaris BSI, Alumni SPPB MI
TERINGAT setahun lalu, ketika saya diminta menjadi narasumber dalam kegiatan Sarasehan Nasional Indonesia Muda Membaca Bung Karno oleh Megawati Institute.
Hadir juga sebagai keynote speaker adalah Megawati Soekarnoputri, anak kandung Bung Karno, juga Presiden Republik Indonesia yang kelima. Selain Bu Mega, selebihnya narasumbernya generasi muda dari berbagai bidang pengabdian misalnya Nadiem Makarim, Putri Tanjung, Alfatih Timur, dan lainnya.
Tema yang diberikan kepada saya terkait “Bung Karno, Pergerakan Pemuda, dan Islam”. Lebih spesifik dalam tulisan ini saya akan mencoba mengelaborasi pikiran Bung Karno terkait dengan ekonomi dan keuangan syariah. Ini yang dilanjutkan Presiden Jokowi sebagai salah satu warisan kepemimpinan beliau, komitmen mewujudkan Indonesia sebagai pusat gravitasi ekonomi syariah dunia.
“Islam is progress. Islam itu kemajuan. Progres berarti pembikinan baru, creation baru – bukan mengurangi barang yang dulu, bukan meng-copy barang lama”, tulis Bung Karno dalam salah satu suratnya kepada Ahmad Hassan, ulama terkemuka Persatuan Islam (Persis) pada dekade 1930-an.
Sejak usia muda Bung Karno percaya, Islam yang rasional dan berkemajuan dapat membangunkan rasa perlawanan di hati sanubari rakyat Muslim terhadap imperialisme Barat. Namun menurut Bung Karno, kemajuan umat Islam juga, “Harus mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat".
Artinya kemajuan itu berlandaskan perkembangan sains dan teknologi dalam pergaulan antar-bangsa. Umat Islam perlu terus meningkatkan kapasitasnya dengan membangun tafsir keagamaan yang berorientasi ke depan dan terbuka terhadap perubahan. Keyakinan-keyakinan Bung Karno di atas terasa semakin dibutuhkan di masa sekarang.
Kerja besar pemerintah untuk menghadirkan Indonesia Maju akan sulit tercapai tanpa keterlibatan kelompok-kelompok kebangsaan, terutama organisasi- organisasi Islam yang progresif. Sejak awal kemerdekaan, Umat Islam merupakan anak kandung cita-cita kebangsaan, baik sebagai pelaku maupun sebagai sasaran pembangunan nasional.
Sejak usia muda, Bung Karno selalu berupaya menyintesis konsep dan persatuan politik, walaupun saat itu gerakan kemerdekaan terdiri dari kekuatan-kekuatan politik yang beragam. Untuk menciptakan persatuan, Bung Karno mengedepankan persamaan dibanding perbedaan.
Menyingkirkan ego/kepentingan kelompok untuk mencapai kepentingan bangsa yang lebih besar. Spirit inilah yang juga kita butuhkan saat ini. Persatuan politik perlu diperkuat untuk mencapai persatuan ekonomi, yaitu kesejahteraan bangsa secara umum.
Komitmen Ekonomi Syariah
Kesejahteraan adalah salah satu tujuan nasional kita yang terdapat pada UUD 1945 alinea ke-4, yang berbunyi “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Agenda kesejahteraan ini juga menjadi tujuan utama dari ekonomi dan keuangan syariah dalam falah atau tercapainya kesejahteraan yang mencakup kebahagiaan (spiritual) dan kemakmuran (material) pada tingkatan individu dan masyarakat. Tiga pilarnya, pertama adalah aktivitas ekonomi yang berkeadilan dengan menghindari eksploitasi berlebihan, excessive hoardings, unproductive, spekulatif, dan kesewenang-wenangan.
Kedua, adanya keseimbangan aktivitas di sektor rill-finansial, pengelolaan risk-return, aktivitas bisnis-sosial, aspek spiritual-material, dan asas manfaat-kelestarian lingkungan. Ketiga, orientasi pada kemaslahatan yang berarti melindungi keselamatan, kehidupan beragama, proses regenerasi, serta perlindungan keselamatan jiwa, harta, dan akal.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam artikel masyhur “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang dimuat dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda pada 1926, Bung Karno menekankan begitu pentingnya menjunjung keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan dalam satu tarikan nafas.
“Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang paham Marxisme, dalam hakikatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang paham Islam.
Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, ….”.
Gagasan Bung Karno tentang antiriba atau memerangi meerwaarde dari benih hingga akar-akarnya ini sejalan dengan apa yang juga pernah ditulis oleh gurunya, HOS Tjokroaminoto. Dalam bukunya “Islam dan Sosialisme” yang ditulis pada 1924 di Maitarat, Tjokro menegaskan juga terkait komitmen antiriba tersebut.
“… menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan --semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka. …”.
Dari pikiran yang diekspresikan Bung Karno sebagai kemarahan dan kita juga peroleh dari gurunya HOS Tjokroaminoto, sangat terang bagaimana Bung Karno punya komitmen yang begitu besar dalam menjalankan prinsip-prinsip yang ada dalam Islam, lebih khusus lagi dalam konteks ekonomi dan keuangan syariah.
Ikhtiar inilah yang kini dilanjutkan dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Maruf Amin dalam meletakkan pondasi yang kokoh sebagai legacy atau warisan kepemimpinannya.
Kelahiran Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang kemudian disempurnakan menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), merger Bank Syariah Indonesia (BSI), memperkuat Lembaga Keuangan Mikro Syariah untuk memerangi rentenir, dan segenap ikhtiar lain untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)