Menguatkan Akar Pancasila
loading...
A
A
A
Akar Pemikiran
Proses kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila tidak semata proses pembentukan dasar negara. Proses historis tersebut juga memuat akar pemikiran para perumus Pancasila mengenai Pancasila. Itulah mengapa pada 1975, Presiden Soeharto membentuk Panitia Lima untuk menyusun “tafsir resmi Pancasila” menurut para perumus Pancasila.
Panitia Lima terdiri dari tiga mantan anggota Panitia Sembilan, yakni Bung Hatta, Achmad Soebardjo dan AA Maramis, mantan wakil kepala Tata Usaha BPUPKI, Mr AG Pringgodigdo dan mantan aktivis Perhimpunan Indonesia, Sunario. Sebagai representasi dari para perumus Pancasila, Panitia Lima diminta menyusun tafsir Pancasila. Lahirlah buku Uraian Pancasila (1977) yang memuat konsep Pancasila yang bersifat teosentris, di mana sila Ketuhanan YME ditempatkan sebagai sumber bagi sila-sila di bawahnya. Sayangnya buku Uraian Pancasila gagal dijadikan “tasfir resmi Pancasila” karena alasan politis.
Bung Hatta sendiri juga telah menulis buku tentang Pancasila, yakni Pancasila Jalan Lurus (1969) dan Pengertian Pancasila (1977). Selain itu tentu pemikiran Bung Karno sendiri, di mana pidato 1 Juni dibukukan dalam Lahirnja Pantjasila (1947), serta pemikirannya dalam Kursus-kursus Pancasila sejak tahun 1958-1959 dibukukan dalam Pantjasila, Dasar Filsafat Negara (1960).
Muhammad Yamin juga menulis buku Sistema Filsafah-Pantjasila (1958), serta Ki Hadjar Dewantara (anggota BPUPKI-PPKI) yang pada 1950 menulis buku berjudul Pantjasila.
Berbagai pemikiran penggali dan perumus Pancasila ini merupakan akar pemikiran Pancasila. Sebab, Pancasila bukan hanya norma dasar negara (Grundnorm), melainkan filsafat dasar negara. Bahkan menurut Prof Notonagoro (1981), filsafat Pancasila tersebut merupakan isi (dimensi material) dari dasar negara (dimensi formal). Raibnya isi filosofis dari Pancasila, membuat dasar negara dan ideologi bangsa kita kurang menarik secara akademik-intelektual. Akibatnya, banyak kaum terpelajar yang tertarik dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Berdasarkan hal tersebut, maka akar pemikiran Pancasila dari penggali dan perumus Pancasila mesti dikuatkan kembali. Apalagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4/2022 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menghidupkan kembali pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan, tentu harus diikuti dengan penghidupan dimensi keilmuan Pancasila. Sayangnya, dimensi keilmuan Pancasila tidak akan hidup tanpa penguatan akar pemikiran Pancasila dari para perumus Pancasila. Sebab, metode berpikir ilmiah meniscayakan proses berpikir yang historis dan genalogis.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Arteria Dahlan Serahkan Kursi DPR kepada Cucu Soekarno: Ibu Mega Manajer, Tahu Mana yang Pas
Proses kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila tidak semata proses pembentukan dasar negara. Proses historis tersebut juga memuat akar pemikiran para perumus Pancasila mengenai Pancasila. Itulah mengapa pada 1975, Presiden Soeharto membentuk Panitia Lima untuk menyusun “tafsir resmi Pancasila” menurut para perumus Pancasila.
Panitia Lima terdiri dari tiga mantan anggota Panitia Sembilan, yakni Bung Hatta, Achmad Soebardjo dan AA Maramis, mantan wakil kepala Tata Usaha BPUPKI, Mr AG Pringgodigdo dan mantan aktivis Perhimpunan Indonesia, Sunario. Sebagai representasi dari para perumus Pancasila, Panitia Lima diminta menyusun tafsir Pancasila. Lahirlah buku Uraian Pancasila (1977) yang memuat konsep Pancasila yang bersifat teosentris, di mana sila Ketuhanan YME ditempatkan sebagai sumber bagi sila-sila di bawahnya. Sayangnya buku Uraian Pancasila gagal dijadikan “tasfir resmi Pancasila” karena alasan politis.
Bung Hatta sendiri juga telah menulis buku tentang Pancasila, yakni Pancasila Jalan Lurus (1969) dan Pengertian Pancasila (1977). Selain itu tentu pemikiran Bung Karno sendiri, di mana pidato 1 Juni dibukukan dalam Lahirnja Pantjasila (1947), serta pemikirannya dalam Kursus-kursus Pancasila sejak tahun 1958-1959 dibukukan dalam Pantjasila, Dasar Filsafat Negara (1960).
Muhammad Yamin juga menulis buku Sistema Filsafah-Pantjasila (1958), serta Ki Hadjar Dewantara (anggota BPUPKI-PPKI) yang pada 1950 menulis buku berjudul Pantjasila.
Berbagai pemikiran penggali dan perumus Pancasila ini merupakan akar pemikiran Pancasila. Sebab, Pancasila bukan hanya norma dasar negara (Grundnorm), melainkan filsafat dasar negara. Bahkan menurut Prof Notonagoro (1981), filsafat Pancasila tersebut merupakan isi (dimensi material) dari dasar negara (dimensi formal). Raibnya isi filosofis dari Pancasila, membuat dasar negara dan ideologi bangsa kita kurang menarik secara akademik-intelektual. Akibatnya, banyak kaum terpelajar yang tertarik dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Berdasarkan hal tersebut, maka akar pemikiran Pancasila dari penggali dan perumus Pancasila mesti dikuatkan kembali. Apalagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4/2022 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menghidupkan kembali pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan, tentu harus diikuti dengan penghidupan dimensi keilmuan Pancasila. Sayangnya, dimensi keilmuan Pancasila tidak akan hidup tanpa penguatan akar pemikiran Pancasila dari para perumus Pancasila. Sebab, metode berpikir ilmiah meniscayakan proses berpikir yang historis dan genalogis.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Arteria Dahlan Serahkan Kursi DPR kepada Cucu Soekarno: Ibu Mega Manajer, Tahu Mana yang Pas
(bmm)