Menguatkan Akar Pancasila

Rabu, 29 Juni 2022 - 13:16 WIB
loading...
Menguatkan Akar Pancasila
Syaiful Arif (Foto: Ist)
A A A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

JUNI hingga Agustus adalah rentang waktu perayaan “Hari Raya” Pancasila. Perayaan itu terjadi sejak 1 Juni hingga 18 Agustus, memperingati proses kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila. Kelahiran Pancasila terjadi pada 1 Juni 1945 melalui pidato Bung Karno tentang Pancasila. Perumusan Pancasila terjadi pada 22 Juni 1945 dalam rapat Panitia Sembilan. Serta finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Ketiga proses tersebut merupakan kesatuan proses yang mengandaikan dan menyempurnakan. Tanpa pidato Soekarno pada 1 Juni, tidak akan terjadi rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Mengapa? Karena rapat Panitia Sembilan merupakan pelaksanaan ketetapan sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang memutuskan pidato Soekarno sebagai bahan utama perumusan dasar negara. BPUPKI lalu membentuk Panitia Kecil yang diketuai Soekarno untuk merumuskan pidato 1 Juni menjadi dasar negara.

Itulah mengapa 1 Juni disebut sebagai hari kelahiran Pancasila sebagaimana ditetapkan oleh Keputusan Presiden Joko Widodo Nomor 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Peringatan Harlah Pancasila juga telah ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Menteri Agama lewat Menteri Koordinator Kesejahteraan pada 1 Juni 1964. Oleh karena itu, sejak 1964 hingga 1968, kita memperingati Harlah Pancasila setiap 1 Juni.

Pidato 1 Juni Bung Karno disebut pidato kelahiran Pancasila karena untuk pertama kali mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara. Soekarno tidak hanya mengusulkan nama Pancasila, tetapi juga konsep Pancasila, baik sebagai falsafah negara (Philosophische grondslag) maupun pandangan hidup bangsa (Weltanschauung). Usulan Pancasila sebagai filsafat inilah yang membuat usulannya diterima oleh sidang BPUPKI.

Ketika Panitia Sembilan merumuskan ulang usulan Pancasila Bung Karno menjadi dasar negara, panitia tersebut tidak mengubah “isi” Pancasila, akan tetapi “bentuk”-nya saja. Isi yang dimaksud adalah tema dari sila-sila Pancasila, yakni kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Panitia Sembilan hanya mengubah bentuk (sistematika) Pancasila, menjadi; Ketuhanan sila pertama, kemanusiaan sila kedua, kebangsaan sila ketiga, demokrasi sila keempat dan keadilan sosial sila kelima.

Satu-satunya perubahan dalam konteks isi adalah perubahan konsep ketuhanan, dari Ketuhanan YME yang diusulkan Soekarno pada 1 Juni, menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Artinya, tema ketuhanan tidak diubah, namun konsep ketuhanan berubah, dari ketuhanan yang mewakili semua agama, menjadi ketuhanan perspektif Islam. Hal ini tentu terkait dengan kompromi antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan. Sebagai Ketua Panitia Sembilan, Soekarno menyetujui hal ini dan memperjuangkannya pada sidang kedua BPUPKI, tanggal 10-17 Juli 1945.

Akan tetapi karena muncul keberatan dari non-Muslim dan ancaman pemisahan diri oleh wilayah Indonesia Timur, maka “tujuh kata” Piagam Jakarta lalu direvisi. Revisi didorong oleh Bung Hatta yang melobi para tokoh Islam pada 18 Agustus 1945 pagi hari, menjelang sidang PPKI. Para tokoh Islam tersebut adalah Kiai Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hassan.

Sebagai tokoh pesantren yang dekat dengan fikih, Kiai Wahid sepakat dengan penggantian “tujuh kata” Piagam Jakarta dengan sila Ketuhanan YME. Argumentasinya didasarkan pada kaidah fikih: daru al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindari kerusakan diutamakan daripada mengejar kebaikan). Artinya, menghindari pecahnya Indonesia lebih diutamakan daripada menegakkan syariah Islam. Kiai Wahid juga menggunakan kaidah fikih: mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggal semua). Artinya, ketika syariah Islam tidak bisa ditegakkan di dalam dasar negara, maka nilai Islam jangan dihapus semuanya. Yang terjadi justru sebaliknya, syariah lalu diganti dengan tauhid (Ketuhanan YME), sedangkan tauhid merupakan sumber bagi syariah. (Yudian Wahyudi, 2010: 15)

Akhirnya, dengan penggantian sila “ketuhanan bersyariah” menjadi Ketuhanan YME, Pancasila mengalami rumusan final pada 18 Agustus 1945. Rumusan final ini lalu ditulis dalam Pembukaan UUD 1945, di mana UUD tersebut lalu disahkan oleh PPKI.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2309 seconds (0.1#10.140)