Mengenal Nurtanio Pringgoadisuryo, Teknisi AURI Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nurtanio familiar sebagai nama industri pesawat terbang di masa-masa awal Indonesia merintis industri ini. Ia merupakan Bapak Dirgantara Indonesia sebagai penghormatan atas dedikasinya merintis industri penerbangan di Tanah Air.
Nurtanio Pringgoadisuryo merupakan putra Kalimantan Selatan yang lahir pada 3 Desember 1923. Ketertarikan dan kecintaannya terhadap dunia kedirgantaraan sudah ia tunjukkan sejak belia. Terbukti, dirinya mengikuti perkumpulan Junior Aero Club di usia muda.
Dalam jurnal elektronik Pendidikan Sejarah bertajuk 'Dinamika Industri Pesawat Terbang Indonesia Tahun 1966-1998', disebutkan bahwa ia merupakan penggagas pertama agar industri pesawat terbang didirikan. Awalnya, Nurtanio adalah teknisi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang kemudian menjadi TNI AU).
Baca juga: Tak Kalah Kaya, Konsumen Indonesia Bakal Beli 12 Pesawat N219 Buatan PTDI
Ia juga sempat menjadi Opsir Muda III Biro Rencana dan Konstruksi Angkatan Udara. Bersama dengan Wiweko Supono, Nurtanio bertugas untuk memperbaiki pesawat, mengatur perawatan pesawat, dan mengembangkan serta memodifikasi pesawat-pesawat sederhana yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dengan bahan dan peralatan sederhana, biro pimpinan Nurtanio itu mampu menciptakan beberapa pesawat, seperti pesawat RI-X yang diproduksi di Magetan. Ada pula pesawat Sakai Blenheim, perpaduan antara pesawat Blenheim MK IV Belanda dengan pesawat tempur Nakajima milik Jepang.
Gagasan Nurtanio tentang industri pesawat mulai terwujud di tahun 1961. Kala itu, usaha pembuatan pesawat di Indonesia mulai bertahap industri. Di tahun itu, berdiri pula LAPIP atau Lembaga Persiapan Industri Penerbangan. Tugasnya adalah untuk mempersiapkan pembangunan unit industri penerbangan dan memproduksi pesawat.
Sekitar empat tahun setelahnya, LAPIP disebut mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Kerja sama rutin dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, contohnya adalah pabrik CEKOP yang ada di Polandia. Bahkan, karyawan LAPIP juga diperkenankan untuk belajar tentang industri pesawat di CEKOP.
Pria jenius nan santun itu gugur pada 21 Maret 1966. Kala itu, Nurtanio tengah melakukan tes penerbangan di Bandung. Pesawat produksi Cekoslavia yang ia piloti mengalami kerusakan mesin, sehingga menabrak sebuah toko ketika akan melakukan pendaratan darurat di Tegalega.
Untuk mengenang sosok Nurtanio, pemerintah melakukan peleburan antara LAPIP dan KOPELAPIP (Komando Persiapan Lembaga Industri Penerbangan) menjadi LIPNUR atau Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio.
Usai 10 tahun eksis, LIPNUR yang dikelola AURI itu kemudian dilebur dengan divisi ATTP (Advanced Teknologi dan Teknologi Penerbangan) kepunyaan Pertamina. Namanya kemudian menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Pada 1986, namanya berganti lagi menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Lalu pada 2000, IPTN direstrukturisasi dan berganti nama menjadi Dirgantara Indonesia.
Nurtanio Pringgoadisuryo merupakan putra Kalimantan Selatan yang lahir pada 3 Desember 1923. Ketertarikan dan kecintaannya terhadap dunia kedirgantaraan sudah ia tunjukkan sejak belia. Terbukti, dirinya mengikuti perkumpulan Junior Aero Club di usia muda.
Dalam jurnal elektronik Pendidikan Sejarah bertajuk 'Dinamika Industri Pesawat Terbang Indonesia Tahun 1966-1998', disebutkan bahwa ia merupakan penggagas pertama agar industri pesawat terbang didirikan. Awalnya, Nurtanio adalah teknisi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang kemudian menjadi TNI AU).
Baca juga: Tak Kalah Kaya, Konsumen Indonesia Bakal Beli 12 Pesawat N219 Buatan PTDI
Ia juga sempat menjadi Opsir Muda III Biro Rencana dan Konstruksi Angkatan Udara. Bersama dengan Wiweko Supono, Nurtanio bertugas untuk memperbaiki pesawat, mengatur perawatan pesawat, dan mengembangkan serta memodifikasi pesawat-pesawat sederhana yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dengan bahan dan peralatan sederhana, biro pimpinan Nurtanio itu mampu menciptakan beberapa pesawat, seperti pesawat RI-X yang diproduksi di Magetan. Ada pula pesawat Sakai Blenheim, perpaduan antara pesawat Blenheim MK IV Belanda dengan pesawat tempur Nakajima milik Jepang.
Gagasan Nurtanio tentang industri pesawat mulai terwujud di tahun 1961. Kala itu, usaha pembuatan pesawat di Indonesia mulai bertahap industri. Di tahun itu, berdiri pula LAPIP atau Lembaga Persiapan Industri Penerbangan. Tugasnya adalah untuk mempersiapkan pembangunan unit industri penerbangan dan memproduksi pesawat.
Sekitar empat tahun setelahnya, LAPIP disebut mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Kerja sama rutin dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, contohnya adalah pabrik CEKOP yang ada di Polandia. Bahkan, karyawan LAPIP juga diperkenankan untuk belajar tentang industri pesawat di CEKOP.
Pria jenius nan santun itu gugur pada 21 Maret 1966. Kala itu, Nurtanio tengah melakukan tes penerbangan di Bandung. Pesawat produksi Cekoslavia yang ia piloti mengalami kerusakan mesin, sehingga menabrak sebuah toko ketika akan melakukan pendaratan darurat di Tegalega.
Untuk mengenang sosok Nurtanio, pemerintah melakukan peleburan antara LAPIP dan KOPELAPIP (Komando Persiapan Lembaga Industri Penerbangan) menjadi LIPNUR atau Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio.
Usai 10 tahun eksis, LIPNUR yang dikelola AURI itu kemudian dilebur dengan divisi ATTP (Advanced Teknologi dan Teknologi Penerbangan) kepunyaan Pertamina. Namanya kemudian menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Pada 1986, namanya berganti lagi menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Lalu pada 2000, IPTN direstrukturisasi dan berganti nama menjadi Dirgantara Indonesia.
(abd)