BPOM Tegaskan Pelabelan BPA untuk Lindungi Kesehatan Masyarakat
loading...
A
A
A
"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum," kata Rita menyebut sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahun, katanya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat)," katanya menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," ujarnya.
Kendati, Rita menyebut tak tertutup kemungkinan BPOM nantinya mengeluarkan regulasi BPA pada kemasan pangan lainnya semisal makanan kaleng. Namun untuk saat ini, katanya, pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan itu belum diprioritaskan karena peredarannya relatif kecil.
Selain itu, menurut Rita, pelabelan BPA juga bertujuan mendorong lahirnya iklim kompetisi yang lebih sehat pada industri air kemasan bermerek. Dengan pelabelan, industri air kemasan bakal terpacu memasarkan produk dan kemasan air galon yang aman dan bermutu, sehingga menguntungkan masyarakat.
Pelabelan risiko BPA juga bertujuan mendidik masyarakat sekaligus memenuhi hak konsumen untuk tahu detail produk yang mereka konsumsi. Tak kalah pentingnya pelabelan ini bertujuan melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan masyarakat (class action) di masa datang.
Rita menyebut sejumlah negara, semisal Perancis dan Brazil, telah melarang peredaran kemasan pangan berbahan plastik polikarbonat karena potensi bahaya kesehatan yang nyata.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahun, katanya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat)," katanya menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," ujarnya.
Kendati, Rita menyebut tak tertutup kemungkinan BPOM nantinya mengeluarkan regulasi BPA pada kemasan pangan lainnya semisal makanan kaleng. Namun untuk saat ini, katanya, pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan itu belum diprioritaskan karena peredarannya relatif kecil.
Selain itu, menurut Rita, pelabelan BPA juga bertujuan mendorong lahirnya iklim kompetisi yang lebih sehat pada industri air kemasan bermerek. Dengan pelabelan, industri air kemasan bakal terpacu memasarkan produk dan kemasan air galon yang aman dan bermutu, sehingga menguntungkan masyarakat.
Pelabelan risiko BPA juga bertujuan mendidik masyarakat sekaligus memenuhi hak konsumen untuk tahu detail produk yang mereka konsumsi. Tak kalah pentingnya pelabelan ini bertujuan melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan masyarakat (class action) di masa datang.
Rita menyebut sejumlah negara, semisal Perancis dan Brazil, telah melarang peredaran kemasan pangan berbahan plastik polikarbonat karena potensi bahaya kesehatan yang nyata.
(abd)