BPOM Tegaskan Pelabelan BPA untuk Lindungi Kesehatan Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) menjelaskan alasan pelabelan risiko Bisfenola ( BPA ) pada galon guna ulang. Pelabelan itu adalah bentuk nyata perlindungan pemerintah atas potensi bahaya BPA sebagai bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan.
"Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarat. Jadi tidak ada istilah kerugian ekonomi," kata Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang dalam webinar bertajuk "Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Penggunaan AMDK" dikutip, Jumat (3/6/2022).
Untuk diketahui, dalam draf revisi peraturan BPOM yang dipublikasi pada November 2021, BPOM mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draf juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun sejak pengesahan.
Rita menjelaskan draf regulasi pelabelan risiko BPA, yang masih dalam proses revisi lanjutan di BPOM, mencakup aturan kewajiban bagi produsen memasang label peringatan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA.
"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan. Jadi tidak ada isu tentang sampah plastik sama sekali. Jangan diputarbalikkan," katanya.
Pernyataan tersebut merespons pandangan miring industri air kemasan atas draf peraturan pelabelan risiko BPA. Dalam berbagai kesempatan, asosiasi industri mengklaim pelabelan bakal memperbesar volume sampah plastik karena konsumen akan beralih ke kemasan galon sekali pakai yang notabene bebas BPA.
"Urusan sampah itu tanggung jawab masing-masing pelaku usaha, termasuk untuk sampah plastik sekali pakai. Produsennya lah yang bertanggung jawab agar sampah tersebut bisa didaur ulang," kata Rita.
Baca juga: Bukan Galon, Risiko Tertinggi Konsumen Terpapar BPA Ada di Makanan Kaleng
Rita juga menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.
"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum," kata Rita menyebut sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahun, katanya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat)," katanya menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," ujarnya.
Kendati, Rita menyebut tak tertutup kemungkinan BPOM nantinya mengeluarkan regulasi BPA pada kemasan pangan lainnya semisal makanan kaleng. Namun untuk saat ini, katanya, pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan itu belum diprioritaskan karena peredarannya relatif kecil.
Selain itu, menurut Rita, pelabelan BPA juga bertujuan mendorong lahirnya iklim kompetisi yang lebih sehat pada industri air kemasan bermerek. Dengan pelabelan, industri air kemasan bakal terpacu memasarkan produk dan kemasan air galon yang aman dan bermutu, sehingga menguntungkan masyarakat.
Pelabelan risiko BPA juga bertujuan mendidik masyarakat sekaligus memenuhi hak konsumen untuk tahu detail produk yang mereka konsumsi. Tak kalah pentingnya pelabelan ini bertujuan melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan masyarakat (class action) di masa datang.
Rita menyebut sejumlah negara, semisal Perancis dan Brazil, telah melarang peredaran kemasan pangan berbahan plastik polikarbonat karena potensi bahaya kesehatan yang nyata.
"Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarat. Jadi tidak ada istilah kerugian ekonomi," kata Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang dalam webinar bertajuk "Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Penggunaan AMDK" dikutip, Jumat (3/6/2022).
Untuk diketahui, dalam draf revisi peraturan BPOM yang dipublikasi pada November 2021, BPOM mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draf juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun sejak pengesahan.
Rita menjelaskan draf regulasi pelabelan risiko BPA, yang masih dalam proses revisi lanjutan di BPOM, mencakup aturan kewajiban bagi produsen memasang label peringatan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA.
"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan. Jadi tidak ada isu tentang sampah plastik sama sekali. Jangan diputarbalikkan," katanya.
Pernyataan tersebut merespons pandangan miring industri air kemasan atas draf peraturan pelabelan risiko BPA. Dalam berbagai kesempatan, asosiasi industri mengklaim pelabelan bakal memperbesar volume sampah plastik karena konsumen akan beralih ke kemasan galon sekali pakai yang notabene bebas BPA.
"Urusan sampah itu tanggung jawab masing-masing pelaku usaha, termasuk untuk sampah plastik sekali pakai. Produsennya lah yang bertanggung jawab agar sampah tersebut bisa didaur ulang," kata Rita.
Baca juga: Bukan Galon, Risiko Tertinggi Konsumen Terpapar BPA Ada di Makanan Kaleng
Rita juga menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.
"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum," kata Rita menyebut sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahun, katanya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat)," katanya menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," ujarnya.
Kendati, Rita menyebut tak tertutup kemungkinan BPOM nantinya mengeluarkan regulasi BPA pada kemasan pangan lainnya semisal makanan kaleng. Namun untuk saat ini, katanya, pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan itu belum diprioritaskan karena peredarannya relatif kecil.
Selain itu, menurut Rita, pelabelan BPA juga bertujuan mendorong lahirnya iklim kompetisi yang lebih sehat pada industri air kemasan bermerek. Dengan pelabelan, industri air kemasan bakal terpacu memasarkan produk dan kemasan air galon yang aman dan bermutu, sehingga menguntungkan masyarakat.
Pelabelan risiko BPA juga bertujuan mendidik masyarakat sekaligus memenuhi hak konsumen untuk tahu detail produk yang mereka konsumsi. Tak kalah pentingnya pelabelan ini bertujuan melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan masyarakat (class action) di masa datang.
Rita menyebut sejumlah negara, semisal Perancis dan Brazil, telah melarang peredaran kemasan pangan berbahan plastik polikarbonat karena potensi bahaya kesehatan yang nyata.
(abd)