Masjid Ramah Lingkungan
loading...
A
A
A
Savran Billahi
Ketua Lakpesdam PCINU Turki, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah Hacettepe University Ankara
ISLAM punya alasan yang sangat kuat untuk mendukung upaya penyelesaian masalah lingkungan. Di samping karena melimpahnya ayat Alquran yang mengandung aksioma moral tentang pelestarian alam, historisitas Islam di masa awal juga menunjukkan keberpihakan itu.
Masjid Nabawi yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam, misalnya, dibangun Rasulullah dari bahan-bahan lokal yang ramah lingkungan. Seperti yang diungkapkan gerakan global Ummah for Earth, sumber-sumber bangunan masjid Rasulullah itu memenuhi syarat-syarat metode berkelanjutan.
Kenyataan ini menjadi ironi ketika masjid-masjid yang didirikan sebagian umat muslim saat ini tidak mengikuti inspirasi pendirian Masjid Nabawi. Sebagian masjid justru menyumbang masalah lingkungan. Penggunaan pendingin ruangan (air conditioner) yang menghasilkan emisi karbon, pemborosan air wudhu, pembangunan masjid di kawasan padat, dan penggunaan pengeras suara yang berlebihan menjadi beberapa isu mengapa masjid-masjid saat ini turut menambah persoalan lingkungan.
Masalah ini agaknya didasari oleh motivasi pembangunan masjid yang terbatas pada ghirah dakwah dalam pengertian sempit, belum pada konsepsi yang lebih luas, seperti integrasi pada persoalan lingkungan. Di Indonesia, mudah ditemui pembangunan masjid yang dimulai dengan proses meminta-minta sumbangan di jalan. Tanpa konsep yang jelas, terlebih dengan dana terbatas, masjid yang merepresentasikan peradaban alhasil sulit dibangun.
Pelesteraian Lingkungan sebagai Basis Peradaban
Pembahasan mengenai integrasi masjid terhadap lingkungan sudah saatnya dijadikan isu sentral peradaban. Dalam hal ini, pelestarian lingkungan (hifdh al-bi’ah) mengandung nilai spiritual pada masjid. Apa yang dimaksud peradaban yang relevan saat ini adalah memenuhi target-target tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) PBB.
Pengintegrasian masjid terhadap isu lingkungan setidaknya bisa mengakomodasi beberapa target SDGs, seperti climate action (penanganan perubahan iklim), affordable and clean energy (energi bersih dan terjangkau), clean water and sanitation (air bersih dan sanitasi layak), dan sustainable cities and communities (kota dan komunitas berkelanjutan).
Gestur baik sudah ditunjukkan pada COP22 2016 di Maroko dengan mengarusutamakan agenda proyek “Masjid Hijau”. Negara itu menginisiasi modifikasi desain panel surya dan LED ke dalam 600-an masjid. Dengan proyek itu, pada 2030 Maroko menargetkan untuk tidak mengimpor energinya, melainkan memproduksi 52% energi yang dihasilkan dengan sumber-sumber tebarukan. Bahkan Masjid Jamia al-Kutubiyya di Marakesh yang dibangun pada abad ke-12, dengan penambahan panel surya, telah menjadi masjid energi-plus atau berhasil menciptakan lebih banyak energi dibandingkan mengonsumsinya.
Langkah maju itu diikuti oleh Greenpeace Indonesia pada 29 Oktober 2021 dengan mendorong lima target; pembentukan komunitas masjid yang berkomitmen pada masjid hijau, penanaman pohon di sekiling masjid, pengaturan ulang penggunaan air wudhu, pengelolaan sampah organik di lingkungan masjid, dan penggunaan tenaga surya pada masjid. Gerakan ini merupakan bagian dari kampanye global Ummah for Earth yang menginginkan masjid sebagai cerminan rahmatan li alamin (untuk semesta alam).
Secara konkret, Indonesia juga memiliki gerakan ecoMasjid yang berbasis pemberdayaan masjid untuk pelestarian lingkungan hidup. Gerakan itu menghimpun 206 masjid. Jumlah ini tentu masih sedikit bila dibandingkan data masjid Kementerian Agama RI yang mencapai 741.991.
Ketua Lakpesdam PCINU Turki, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah Hacettepe University Ankara
ISLAM punya alasan yang sangat kuat untuk mendukung upaya penyelesaian masalah lingkungan. Di samping karena melimpahnya ayat Alquran yang mengandung aksioma moral tentang pelestarian alam, historisitas Islam di masa awal juga menunjukkan keberpihakan itu.
Masjid Nabawi yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam, misalnya, dibangun Rasulullah dari bahan-bahan lokal yang ramah lingkungan. Seperti yang diungkapkan gerakan global Ummah for Earth, sumber-sumber bangunan masjid Rasulullah itu memenuhi syarat-syarat metode berkelanjutan.
Kenyataan ini menjadi ironi ketika masjid-masjid yang didirikan sebagian umat muslim saat ini tidak mengikuti inspirasi pendirian Masjid Nabawi. Sebagian masjid justru menyumbang masalah lingkungan. Penggunaan pendingin ruangan (air conditioner) yang menghasilkan emisi karbon, pemborosan air wudhu, pembangunan masjid di kawasan padat, dan penggunaan pengeras suara yang berlebihan menjadi beberapa isu mengapa masjid-masjid saat ini turut menambah persoalan lingkungan.
Masalah ini agaknya didasari oleh motivasi pembangunan masjid yang terbatas pada ghirah dakwah dalam pengertian sempit, belum pada konsepsi yang lebih luas, seperti integrasi pada persoalan lingkungan. Di Indonesia, mudah ditemui pembangunan masjid yang dimulai dengan proses meminta-minta sumbangan di jalan. Tanpa konsep yang jelas, terlebih dengan dana terbatas, masjid yang merepresentasikan peradaban alhasil sulit dibangun.
Pelesteraian Lingkungan sebagai Basis Peradaban
Pembahasan mengenai integrasi masjid terhadap lingkungan sudah saatnya dijadikan isu sentral peradaban. Dalam hal ini, pelestarian lingkungan (hifdh al-bi’ah) mengandung nilai spiritual pada masjid. Apa yang dimaksud peradaban yang relevan saat ini adalah memenuhi target-target tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) PBB.
Pengintegrasian masjid terhadap isu lingkungan setidaknya bisa mengakomodasi beberapa target SDGs, seperti climate action (penanganan perubahan iklim), affordable and clean energy (energi bersih dan terjangkau), clean water and sanitation (air bersih dan sanitasi layak), dan sustainable cities and communities (kota dan komunitas berkelanjutan).
Gestur baik sudah ditunjukkan pada COP22 2016 di Maroko dengan mengarusutamakan agenda proyek “Masjid Hijau”. Negara itu menginisiasi modifikasi desain panel surya dan LED ke dalam 600-an masjid. Dengan proyek itu, pada 2030 Maroko menargetkan untuk tidak mengimpor energinya, melainkan memproduksi 52% energi yang dihasilkan dengan sumber-sumber tebarukan. Bahkan Masjid Jamia al-Kutubiyya di Marakesh yang dibangun pada abad ke-12, dengan penambahan panel surya, telah menjadi masjid energi-plus atau berhasil menciptakan lebih banyak energi dibandingkan mengonsumsinya.
Langkah maju itu diikuti oleh Greenpeace Indonesia pada 29 Oktober 2021 dengan mendorong lima target; pembentukan komunitas masjid yang berkomitmen pada masjid hijau, penanaman pohon di sekiling masjid, pengaturan ulang penggunaan air wudhu, pengelolaan sampah organik di lingkungan masjid, dan penggunaan tenaga surya pada masjid. Gerakan ini merupakan bagian dari kampanye global Ummah for Earth yang menginginkan masjid sebagai cerminan rahmatan li alamin (untuk semesta alam).
Secara konkret, Indonesia juga memiliki gerakan ecoMasjid yang berbasis pemberdayaan masjid untuk pelestarian lingkungan hidup. Gerakan itu menghimpun 206 masjid. Jumlah ini tentu masih sedikit bila dibandingkan data masjid Kementerian Agama RI yang mencapai 741.991.