RUU KUHP: Kumpul Kebo Tak Bisa Diadukan Kepala Desa

Rabu, 25 Mei 2022 - 18:53 WIB
loading...
RUU KUHP: Kumpul Kebo Tak Bisa Diadukan Kepala Desa
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan mengenai 14 isu kontroversial dalam rapat dengan Komisi III DPR terkait RUU KUHP. Foto/Ilustrasi/Dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan mengenai 14 isu kontroversial dalam rapat dengan Komisi III DPR terkait Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RUU KUHP ). Di antaranya mengenai perzinahan, kohabitasi ( kumpul kebo ), dan pemerkosaan.

Mengenai perzinahan dalam Pasal 417, Edward menjelaskan bahwa tidak ada satu pun agama yang memperbolehkan perzinahan. Perzinahan merupakan kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain, tetapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku di masyarakat.

Pemerintah menambahkan siapa saja yang boleh mengadukan perzinahan ini. “Pasal ini merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan. Tetapi ketentuan dalam pasal ini merupakan delik aduan. Hanya saja ditambah, yang boleh mengadu ini bukan hanya suami atau istri, tapi orang tua atau anaknya,” kata pria yang akrab disapa Eddy ini dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/5/2022).





Selanjutnya, kata Eddy, mengenai kohabitasi (kumpul kebo) pada Pasal 418 ini merupakan delik aduan. Pemerintah mengusulkan untuk menghapus ketentuan kepala desa (kades) yang dapat mengajukan aduan.

“Kalau kepala desa bisa mengadu berarti dia sudah bukan lagi delik aduan,” imbuhnya.

Terakhir, Eddy menjelaskan, mengenai perkosaan Pasal 479, marital rape atau perkosaan dalam perkawinan dimasukkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

“Kemudian Pasal 479 memuat tentang statutory rape (hubungan seksual dengan anak secara konsensual) dan hal-hal lain yang disamakan dengan perkosaan,” sambung Eddy.

“Begitulah hasil sosialisasi dan masukan, melakukan penambahan berupa penjelasan pasal dan memperhalus bahasa pada ketentuan yang ada,” pungkasnya.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3683 seconds (0.1#10.140)