Pemulihan dan Perampasan Aset Tindak Pidana/Negara
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
KEBIJAKAN pemerintah Joko Widodo mengenai alternatif/opsi lain dalam menyiapkan strategi (baru) selain tetap menjalankan politik pemidanaan, hanya bobot dan frekuensi pemidanaan/penghukuman dikurangi, sepatutnya diapresiasi.
Ada beberapa alasan kenapa kebijakan tersebut perlu diapresiasi. Pertama, penghukuman/pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana termasuk korupsi tidak memgurangi secara signifikan tetapi bahkan menambah jumlah hunian di lembaga pemasyarakatan (lapas) sehingga terjadi overkapasitas sebanyak 200% di seluruh lapas di Indonesia.
Kedua, fakta dan data di Kejaksaan dan KPK telah terjadi kenaikan yang signifikan dalam pengembalian aset-aset korupsi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dampak negatif penghukuman.
Ketiga, kebijakan baru dalam pemberantasan korupsi tersebut sejalan dengan ketentuan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Di dalam Pasal 3 Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dinyatakan bahwa unsur kerugian negara tidak diperlukan sebagai unsur korupsi sehingga menjadi cukup alasan kebijakan baru pemerintah dalam pemberantasaan korupsi terutama dilihat dari aspek hubungan kerja sama pemberantasan korupsi antar sesama negara anggota Konvensi tersebut.
Ketiga justifikasi kebijakan baru pemerintah tersebut telah diawali dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana yang kini telah termasuk salah satu RUU yang akan dibahas dalam Prolegnas 2023/2024. Di dalam RUU Perampasan Aset yang telah diajukan pemerintah, saat ini pemerintah tengah menyiapkan perancangan 4 (empat) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah menetapkan berlaku pada tanggal 1 Januari 2026.
Alasan pengajuan RUU Perampasan Aset adalah bahwa perkembangan tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional sekaligus mengurangi kemampuan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan umum sehingga diperlukan pengaturan mengenai perampasan aset terkait dengan tindak pidana. Bahwa sistem dan mekanisme yang berlaku mengenai perampasan aset terkait tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan sehingga diperlukan pengaturan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel.
RUU Perampasan Aset yang disusun pemerintah, Kementerian Hukum dan HAM (2019), menganut perampasan aset berdasarkan Civil-Based Forfeiture, dalam arti bahwa perampasan aset tindak pidana tidak didasarkan pada penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana. Namun demikian RUU Perampasan Aset ini tidak juga menghapuskan sama sekali kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
Merujuk pada pengaturan tersebut menunjukkan bahwa RUU Perampasan Aset yang dirancang pemerintah menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan in -rem forfeiture dan in personam forfeiture. Di dalam RUU Perampasan Aset telah diatur mengenai jenis-jenis aset tindak pidana yang dapat dirampas yaitu:
KEBIJAKAN pemerintah Joko Widodo mengenai alternatif/opsi lain dalam menyiapkan strategi (baru) selain tetap menjalankan politik pemidanaan, hanya bobot dan frekuensi pemidanaan/penghukuman dikurangi, sepatutnya diapresiasi.
Ada beberapa alasan kenapa kebijakan tersebut perlu diapresiasi. Pertama, penghukuman/pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana termasuk korupsi tidak memgurangi secara signifikan tetapi bahkan menambah jumlah hunian di lembaga pemasyarakatan (lapas) sehingga terjadi overkapasitas sebanyak 200% di seluruh lapas di Indonesia.
Kedua, fakta dan data di Kejaksaan dan KPK telah terjadi kenaikan yang signifikan dalam pengembalian aset-aset korupsi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dampak negatif penghukuman.
Ketiga, kebijakan baru dalam pemberantasan korupsi tersebut sejalan dengan ketentuan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Di dalam Pasal 3 Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dinyatakan bahwa unsur kerugian negara tidak diperlukan sebagai unsur korupsi sehingga menjadi cukup alasan kebijakan baru pemerintah dalam pemberantasaan korupsi terutama dilihat dari aspek hubungan kerja sama pemberantasan korupsi antar sesama negara anggota Konvensi tersebut.
Ketiga justifikasi kebijakan baru pemerintah tersebut telah diawali dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana yang kini telah termasuk salah satu RUU yang akan dibahas dalam Prolegnas 2023/2024. Di dalam RUU Perampasan Aset yang telah diajukan pemerintah, saat ini pemerintah tengah menyiapkan perancangan 4 (empat) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah menetapkan berlaku pada tanggal 1 Januari 2026.
Alasan pengajuan RUU Perampasan Aset adalah bahwa perkembangan tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional sekaligus mengurangi kemampuan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan umum sehingga diperlukan pengaturan mengenai perampasan aset terkait dengan tindak pidana. Bahwa sistem dan mekanisme yang berlaku mengenai perampasan aset terkait tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan sehingga diperlukan pengaturan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel.
RUU Perampasan Aset yang disusun pemerintah, Kementerian Hukum dan HAM (2019), menganut perampasan aset berdasarkan Civil-Based Forfeiture, dalam arti bahwa perampasan aset tindak pidana tidak didasarkan pada penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana. Namun demikian RUU Perampasan Aset ini tidak juga menghapuskan sama sekali kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
Merujuk pada pengaturan tersebut menunjukkan bahwa RUU Perampasan Aset yang dirancang pemerintah menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan in -rem forfeiture dan in personam forfeiture. Di dalam RUU Perampasan Aset telah diatur mengenai jenis-jenis aset tindak pidana yang dapat dirampas yaitu: