Pengetahuan Lokal untuk Sumber Daya Hayati
loading...
A
A
A
Arti Penting Pengetahuan Lokal
Pengetahuan lokal adalah seluruh gagasan bijaksana, penuh kearifan yang mengandung nilai baik dan mampu bertahan dalam arus budaya asing yang kemudian keseluruhan tersebut diakseskan dalam satu titik atau sumber ilmu pengetahuan yang memiliki nilai universal yang tinggi dalam kehidupan manusia (Kondarus, 2015). Sebagai milik masyarakat atau budaya tertentu, ia berkembang lama sebagai hasil proses hubungan timbal balik antara masyarakat dan lingkungannya.
Pengetahuan lokal dianggap menjelaskan orang atau teritorial tertentu dan terus-menerus berkembang sebagai jawaban atas perubahan lingkungan (Daulay, 2011). Maka akar pengetahuan ini adalah komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu yang secara turun-temurun dan terus berkembang mengikuti perubahan lingkungan (Permana, 2010).
Pengetahuan lokal dekat dengan pelestarian sumber daya hayati seperti dalam tradisi Betawi dan masyarakat Jawa. Dalam tradisi Betawi, flora dan fauna digunakan sebagai perumpamaan perilaku masyarakat saat berkomunikasi, baik tumbuhan maupun binatang sebagai ajaran budi pekerti. Beberapa ungkapan bisa disebutkan seperti: kutilang pantat kuning (orang yang kikir), uler kepala due (penghasut), buaya pasar (pencuri). Sementara itu masyarakat Jawa menghormati flora atau tumbuh-tumbuhan dengan mengabadikannya pada nama wilayah atau daerah-daerah tertentu. Misalnya nama-nama pohon seperti jati, pandan, lawang, bayem dan pohon lain sebagai nama daerah atau wilayah.
Strategi Pelembagaan
Indonesia kaya kearifan lokal baik yang berkembang di komunitas pegunungan, hutan, dataran rendah, pantai, laut, sungai maupun kepulauan. Beberapa bisa disebutkan seperti Banjar (Kalsel), Ammatoa (Sulsel), Mandar Gunung (Sulsel), Hulu Atas (Papua).
Kearifan itu meliputi pengaturan penanaman, mamali (larangan), dan pesan-pesan yang sarat dengan budi pekerti. Maka konservasi membutuhkan langkah-langkah pelembagaan (institutionalization) yang penulis paparkan sebagai berikut.
Pertama, kontekstualisasi nilai. Nilai-nilai dalam pengetahuan lokal sangat dibutuhkan dalam konservasi karena terbukti mengajarkan keserasian dengan alam. Selain itu jarang ditemukan ambisi masyarakat lokal mengapitalisasi sumber daya hayati sebagai industri masif. Nilai-nilai pengetahuan lokal yang bisa dikembangkan antara lain hemat, bersahaja, dan pemenuhan kebutuhan subsisten.
Kedua, praktik sederhana. Banyak filosofi keanekaragaman dari masyarakat lokal sekilas terlihat sederhana. Praktik sederhana seperti menanam berbagai tanaman di pekarangan rumah. Masyarakat Dayak mengenal istilah batang garing, menyanggar, memapas lewu, dan belom bahadat (Nurhidayah, 2020). Kita bisa mengambil keuntungan dari rantai ekosistem dan praktik konservasi ini yang sejatinya memihak pada biodiversitas.
Ketiga, menyemai etika. Etika lingkungan terlembaga di dalam pengetahuan lokal. Etika lingkungan ini mendorong konservasi sumber daya hayati sehingga tidak butuh regulasi mengikat secara formal. Masyarakat mempraktikkan kearifan lokal dan memberikan sanksi pada pelanggaran berdasar adat. Di sini pengetahuan lokal mampu mengarahkan dan sekaligus mengontrol perilaku yang merusak sumber daya hayati.
Keempat, diwadahi komunitas. Salah satu kelebihan pengetahuan lokal adalah mengikat solidaritas sosial. Bahkan komunitas leluasa membuka berbagai macam kegiatan, termasuk wisata berbasis komunitas dan ekowisata. Kesamaan geografis dalam ikatan komunitas disatukan oleh pengetahuan lokal tersebut. Wangari Maathai (1977) dalam Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement) di Nairobi, Kenya, mencontohkan hal tersebut. Melalui komunitas yang dibangun, ia kembangkan pemberdayaan lingkungan, salah satunya dengan cara menghormati keanekaragaman hayati.
Kelima, membuka diri pengelolaan bersama. Sekalipun komunitas pelestari pengetahuan lokal memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya alam, mereka tidak boleh meninggalkan peran negara. Hal ini disebabkan negara memiliki legitimasi politik dan sumber daya penting dan dibutuhkan dalam konservasi. Dengan adanya politik kawasan strategis pembangunan nasional dan desentralisasi, hari ini negara memiliki program-program yang menyentuh realitas lokal.
Pengetahuan lokal adalah seluruh gagasan bijaksana, penuh kearifan yang mengandung nilai baik dan mampu bertahan dalam arus budaya asing yang kemudian keseluruhan tersebut diakseskan dalam satu titik atau sumber ilmu pengetahuan yang memiliki nilai universal yang tinggi dalam kehidupan manusia (Kondarus, 2015). Sebagai milik masyarakat atau budaya tertentu, ia berkembang lama sebagai hasil proses hubungan timbal balik antara masyarakat dan lingkungannya.
Pengetahuan lokal dianggap menjelaskan orang atau teritorial tertentu dan terus-menerus berkembang sebagai jawaban atas perubahan lingkungan (Daulay, 2011). Maka akar pengetahuan ini adalah komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu yang secara turun-temurun dan terus berkembang mengikuti perubahan lingkungan (Permana, 2010).
Pengetahuan lokal dekat dengan pelestarian sumber daya hayati seperti dalam tradisi Betawi dan masyarakat Jawa. Dalam tradisi Betawi, flora dan fauna digunakan sebagai perumpamaan perilaku masyarakat saat berkomunikasi, baik tumbuhan maupun binatang sebagai ajaran budi pekerti. Beberapa ungkapan bisa disebutkan seperti: kutilang pantat kuning (orang yang kikir), uler kepala due (penghasut), buaya pasar (pencuri). Sementara itu masyarakat Jawa menghormati flora atau tumbuh-tumbuhan dengan mengabadikannya pada nama wilayah atau daerah-daerah tertentu. Misalnya nama-nama pohon seperti jati, pandan, lawang, bayem dan pohon lain sebagai nama daerah atau wilayah.
Strategi Pelembagaan
Indonesia kaya kearifan lokal baik yang berkembang di komunitas pegunungan, hutan, dataran rendah, pantai, laut, sungai maupun kepulauan. Beberapa bisa disebutkan seperti Banjar (Kalsel), Ammatoa (Sulsel), Mandar Gunung (Sulsel), Hulu Atas (Papua).
Kearifan itu meliputi pengaturan penanaman, mamali (larangan), dan pesan-pesan yang sarat dengan budi pekerti. Maka konservasi membutuhkan langkah-langkah pelembagaan (institutionalization) yang penulis paparkan sebagai berikut.
Pertama, kontekstualisasi nilai. Nilai-nilai dalam pengetahuan lokal sangat dibutuhkan dalam konservasi karena terbukti mengajarkan keserasian dengan alam. Selain itu jarang ditemukan ambisi masyarakat lokal mengapitalisasi sumber daya hayati sebagai industri masif. Nilai-nilai pengetahuan lokal yang bisa dikembangkan antara lain hemat, bersahaja, dan pemenuhan kebutuhan subsisten.
Kedua, praktik sederhana. Banyak filosofi keanekaragaman dari masyarakat lokal sekilas terlihat sederhana. Praktik sederhana seperti menanam berbagai tanaman di pekarangan rumah. Masyarakat Dayak mengenal istilah batang garing, menyanggar, memapas lewu, dan belom bahadat (Nurhidayah, 2020). Kita bisa mengambil keuntungan dari rantai ekosistem dan praktik konservasi ini yang sejatinya memihak pada biodiversitas.
Ketiga, menyemai etika. Etika lingkungan terlembaga di dalam pengetahuan lokal. Etika lingkungan ini mendorong konservasi sumber daya hayati sehingga tidak butuh regulasi mengikat secara formal. Masyarakat mempraktikkan kearifan lokal dan memberikan sanksi pada pelanggaran berdasar adat. Di sini pengetahuan lokal mampu mengarahkan dan sekaligus mengontrol perilaku yang merusak sumber daya hayati.
Keempat, diwadahi komunitas. Salah satu kelebihan pengetahuan lokal adalah mengikat solidaritas sosial. Bahkan komunitas leluasa membuka berbagai macam kegiatan, termasuk wisata berbasis komunitas dan ekowisata. Kesamaan geografis dalam ikatan komunitas disatukan oleh pengetahuan lokal tersebut. Wangari Maathai (1977) dalam Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement) di Nairobi, Kenya, mencontohkan hal tersebut. Melalui komunitas yang dibangun, ia kembangkan pemberdayaan lingkungan, salah satunya dengan cara menghormati keanekaragaman hayati.
Kelima, membuka diri pengelolaan bersama. Sekalipun komunitas pelestari pengetahuan lokal memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya alam, mereka tidak boleh meninggalkan peran negara. Hal ini disebabkan negara memiliki legitimasi politik dan sumber daya penting dan dibutuhkan dalam konservasi. Dengan adanya politik kawasan strategis pembangunan nasional dan desentralisasi, hari ini negara memiliki program-program yang menyentuh realitas lokal.