Pengetahuan Lokal untuk Sumber Daya Hayati

Selasa, 24 Mei 2022 - 10:15 WIB
loading...
Pengetahuan Lokal untuk Sumber Daya Hayati
Rachmad K Dwi Susilo (Foto; Ist)
A A A
Rachmad K Dwi Susilo
Dosen Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam pada FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ph.D lulusan Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo

HARI Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity) diperingati oleh komunitas dunia setiap 22 Mei. Peringatan ini sejatinya bukan produk bangsa Indonesia asli, tetapi ia dideklarasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1993. Tujuan peringatan ini adalah sebagai salah satu upaya meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan masalah dan isu keanekaragaman hayati.

Sebagai kesatuan Nusantara, bangsa Indonesia berkepentingan pada konservasi sumber daya hayati karena Indonesia merupakan salah satu pusat mega-biodiversity di dunia dengan 47 tipe ekosistem mulai dari padang es dan alpine padang rumput di Papua hingga berbagai macam hutan dataran rendah yang lembap, dari danau yang dalam hingga rawa yang dangkal, dan dari karang yang spektakuler terumbu karangnya hingga padang lamun dan rawa bakau (Changho Park dkk, 2010).

Selain itu, menurut UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity, keterlibatan konservasi pada tingkat dunia ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia ikut bertanggung jawab dan terlibat menyelamatkan kelangsungan hidup manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya.

Kekayaan sumber daya hayati membuat bangsa kita makmur. Untuk itu jangan hanya "mental" eksploitatif yang dipraktikkan, tetapi justru konservasi yang didorong. Konservasi merupakan pengelolaan dan pemanfaatan bijaksana demi menjamin kesinambungan persediaannya, pemeliharaan dan peningkatan kualitas nilai serta sumber daya hayatinya. Gagasan ini tertulis dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Untuk itu isu utama konservasi sumber daya hayati adalah mencegah kepunahan di semua tingkatan baik pada ekosistem, spesies maupun genetik. Untuk itu isu-isu lingkungan diformulasikan baik yang berbentuk undang-undang seperti UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity, dan regulasi lain sampai termasuk peraturan pemerintah dan keputusan menteri.

Selama ini target kebijakan konservasi masih jauh dari harapan. Kita kehilangan sekitar 40% sumber daya perikanan di pantura. Terjadi kemerosotan wilayah pesisir seperti ekosistem-ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan populasi ikan. Juga menyusutnya luas kawasan Cagar Alam Muara Angke akibat perluasan pembangunan permukiman di Jakarta Utara yang menyebabkan memburuknya banjir musiman secara konstan.

Persoalan yang tidak kalah krusial adalah peran negara dominan baik dalam perumusan maupun implementasi kebijakan lingkungan. Negara masih dominan dengan pendampingan yang kurang maksimal pada masyarakat lokal. Akibatnya menjadi sesuatu yang ironis manakala stakeholders yang tinggal dekat sumber daya alam justru jauh dari partisipasi.

Selain itu masih ada kelompok masyarakat yang memandang remeh pada peran pengetahuan lokal ini. Faktor penyebab beragam, kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan modern yang berlebihan, fanatik pada ajaran atau keyakinan tertentu yang menganggap pengetahuan lokal sebagai "ancaman", dan faktor struktural seperti kemiskinan akibat keterdesakan struktur ekonomi politik dan sosial.

Persoalan-persoalan di atas sejatinya harus mendapat perhatian, maka langkah mendesak dan strategis dibutuhkan. Kita perlu menghidupkan pengetahuan lokal untuk peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi sumber daya hayati tersebut.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2546 seconds (0.1#10.140)