APBN Penjaga Ekonomi
loading...
A
A
A
Di sisi lainMonetaristberpendapat bahwa inflasi berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini didukung oleh peristiwa pada 1970 di mana negara-negara dengan inflasi tinggi seperti Amerika Latin mulai mengalami penurunan tingkat pertumbuhan.
Peningkatan inflasi yang terus terjadi di berbagai negara, mengarah pada desakan kebijakan peningkatan tingkat suku bunga. Bank sentral memiliki seperangkat kebijakan yang mampu memengaruhi tingkat inflasi guna mengatur stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Tak aneh karena bank sentral adalah pemegang otoritas tertinggi dalam menentukan kebijakan moneter. Maka, atas kewenangan tersebut, bank sentral juga dapat memanipulasi suku bunga jangka pendek untuk memengaruhi tingkat inflasi dalam perekonomian.
Peningkatan suku bunga masih diyakini mampu menjadi formula efektif untuk menurunkan tingginya inflasi. Para ekonom meyakini bahwa ketika suku bunga naik, permintaan terhadap pinjaman akan menurun karena masyarakat lebih memilih untuk menabung dengan harapan tingkat pengembalian dari tabungan lebih tinggi.
Hal itu selanjutnya akan berimbas pada lebih sedikitnya jumlah uang yang dibelanjakan sehingga terjadi perlambatan perekonomian dan inflasi mengalami penurunan. Data menunjukkan bahwa pejabat pembuat kebijakan The Fed, bank sentral AS, telah menanggapi kenaikan inflasi ini dengan dua kali menaikkan suku bunga, termasuk kenaikan agresif 50 basis poin (bps) pada pekan lalu. Meski demikian The Fed masih membuka peluang untuk menaikkan suku bunga 50 bps dalam beberapa waktu ke depan. Sementara itu bank sentral Inggris juga telah merilis kebijakan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali yang masing-masing sebesar 25 bps.
Ancaman inflasi di tengah proses pemulihan ekonomi membawa dilema yang tak mudah dihadapi. Formula menaikkan tingkat suku bunga mutlak dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi. Pasalnya, selama masa pemulihan ekonomi, BI telah mempertahankan suku bunga rendah dan longgarnya likuiditas demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada kondisi ini, prinsip kehati-hatian sangat diperlukan untuk menentukan langkah kebijakan dalam menaikkan tingkat suku bunga. Di India, Moody's Analytics mencatat bahwa bank sentral India mengambil pendekatan lebih hati-hati walaupun inflasi sudah di atas tingkat kenyamanan hingga semester I/2022. Selain itu India tetap fokus pada pemulihan ekonomi domestik sebagai upaya meredam inflasi yang sudah bergerak naik.
Di Indonesia, perbankan saat ini masih terkendala perkembangan sektor riil yang masih tumbuh rendah. Bank Indonesia mencatat bahwa pertumbuhan kredit per Desember 2021 baru pada angka 4,9% (yoy). Oleh sebab itu jika tingkat bunga harus meningkat untuk meredam tekanan inflasi, peran APBN semakin besar dan penting untuk menggerakkan sektor riil.
Stabilisasi Ekonomi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah kunci penopangdaya beli masyarakatdan peredam inflasi (shock absorber). Peran APBN dipastikan dapat menurunkan tensi kenaikan harga berbagai komoditas yang dipicu ketidakpastian perekonomian global. Anggaran belanja yang dikeluarkan pemerintah melalui bantuan sosial merupakan salah satu formula belanja yang diharapkan dapat menopang daya beli masyarakat selama terjadi ancaman inflasi. Baru-baru ini pemerintah juga telah merevisi jumlah anggaran untuk kompensasi energi dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun.
Dengan demikian, total anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi melonjak dari Rp152,5 triliun menjadi Rp443,6 triliun. Sejalan dengan itu, pemerintah juga menambah anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp18,6 triliun guna menjaga daya beli di tengah ancaman lonjakan inflasi.
Sebagai aktor penting, program subsidi dan perlindungan sosial dari APBN akan terus diberikan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, Kartu Prakerja, BLT Desa, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), serta program subsidi bunga bagi masyarakat untuk meningkatkan usahanya (UMKM) dengan pendanaan murah melalui program Kredit Umi (Kredit Ultramikro) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Peningkatan inflasi yang terus terjadi di berbagai negara, mengarah pada desakan kebijakan peningkatan tingkat suku bunga. Bank sentral memiliki seperangkat kebijakan yang mampu memengaruhi tingkat inflasi guna mengatur stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Tak aneh karena bank sentral adalah pemegang otoritas tertinggi dalam menentukan kebijakan moneter. Maka, atas kewenangan tersebut, bank sentral juga dapat memanipulasi suku bunga jangka pendek untuk memengaruhi tingkat inflasi dalam perekonomian.
Peningkatan suku bunga masih diyakini mampu menjadi formula efektif untuk menurunkan tingginya inflasi. Para ekonom meyakini bahwa ketika suku bunga naik, permintaan terhadap pinjaman akan menurun karena masyarakat lebih memilih untuk menabung dengan harapan tingkat pengembalian dari tabungan lebih tinggi.
Hal itu selanjutnya akan berimbas pada lebih sedikitnya jumlah uang yang dibelanjakan sehingga terjadi perlambatan perekonomian dan inflasi mengalami penurunan. Data menunjukkan bahwa pejabat pembuat kebijakan The Fed, bank sentral AS, telah menanggapi kenaikan inflasi ini dengan dua kali menaikkan suku bunga, termasuk kenaikan agresif 50 basis poin (bps) pada pekan lalu. Meski demikian The Fed masih membuka peluang untuk menaikkan suku bunga 50 bps dalam beberapa waktu ke depan. Sementara itu bank sentral Inggris juga telah merilis kebijakan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali yang masing-masing sebesar 25 bps.
Ancaman inflasi di tengah proses pemulihan ekonomi membawa dilema yang tak mudah dihadapi. Formula menaikkan tingkat suku bunga mutlak dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi. Pasalnya, selama masa pemulihan ekonomi, BI telah mempertahankan suku bunga rendah dan longgarnya likuiditas demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada kondisi ini, prinsip kehati-hatian sangat diperlukan untuk menentukan langkah kebijakan dalam menaikkan tingkat suku bunga. Di India, Moody's Analytics mencatat bahwa bank sentral India mengambil pendekatan lebih hati-hati walaupun inflasi sudah di atas tingkat kenyamanan hingga semester I/2022. Selain itu India tetap fokus pada pemulihan ekonomi domestik sebagai upaya meredam inflasi yang sudah bergerak naik.
Di Indonesia, perbankan saat ini masih terkendala perkembangan sektor riil yang masih tumbuh rendah. Bank Indonesia mencatat bahwa pertumbuhan kredit per Desember 2021 baru pada angka 4,9% (yoy). Oleh sebab itu jika tingkat bunga harus meningkat untuk meredam tekanan inflasi, peran APBN semakin besar dan penting untuk menggerakkan sektor riil.
Stabilisasi Ekonomi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah kunci penopangdaya beli masyarakatdan peredam inflasi (shock absorber). Peran APBN dipastikan dapat menurunkan tensi kenaikan harga berbagai komoditas yang dipicu ketidakpastian perekonomian global. Anggaran belanja yang dikeluarkan pemerintah melalui bantuan sosial merupakan salah satu formula belanja yang diharapkan dapat menopang daya beli masyarakat selama terjadi ancaman inflasi. Baru-baru ini pemerintah juga telah merevisi jumlah anggaran untuk kompensasi energi dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun.
Dengan demikian, total anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi melonjak dari Rp152,5 triliun menjadi Rp443,6 triliun. Sejalan dengan itu, pemerintah juga menambah anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp18,6 triliun guna menjaga daya beli di tengah ancaman lonjakan inflasi.
Sebagai aktor penting, program subsidi dan perlindungan sosial dari APBN akan terus diberikan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, Kartu Prakerja, BLT Desa, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), serta program subsidi bunga bagi masyarakat untuk meningkatkan usahanya (UMKM) dengan pendanaan murah melalui program Kredit Umi (Kredit Ultramikro) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).