Kisah Mantan Panglima TNI Pernah Jadi Penjaga Warung, Pembuat Donat, hingga Caddy

Senin, 23 Mei 2022 - 06:22 WIB
loading...
Kisah Mantan Panglima TNI Pernah Jadi Penjaga Warung, Pembuat Donat, hingga Caddy
Mantan Panglima TNI Marsekal TNI Purnawirawan Hadi Tjahjanto lahir dari keluarga yang perekonomiannya serba berkekurangan dan prihatin. Foto/Dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Mantan Panglima TNI Marsekal TNI Purnawirawan Hadi Tjahjanto lahir dari keluarga yang perekonomiannya serba berkekurangan dan prihatin. Maka itu, masa kecil Hadi Tjahjanto penuh perjuangan.

Pria kelahiran 8 November 1963, Malang, Jawa Timur itu merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Orang tua mereka adalah Bambang Sudarto dan Nur Saa'dah.

Mereka tinggal di Kompleks Pancar Gas atau Pagas, Blok C 180 yang letaknya sekitar lima kilometer dari Lanud Abdulrachman Saleh, Kabupaten Malang. Rumah mereka sederhana, berukuran 9 x 6 meter dan hanya memiliki dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan dapur.

Kisah Mantan Panglima TNI Pernah Jadi Penjaga Warung, Pembuat Donat, hingga Caddy

Darmawisata SMPN VII Singasari ke Borobudur. Hadi Tjahjanto (kanan). Foto/Istimewa





Ayahnya adalah prajurit TNI Angkatan Udara (AU). Ayahnya yang bekerja sebagai mekanik pesawat tempur membuat keluarga Hadi tidak bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

Untuk menutup kebutuhan sehari-hari, Nur Saa'dah mulai membuka warung rujak. Gaji sang suami habis untuk kebutuhan sekolah lima anaknya.

"Kadang saya hanya menerima gaji Bapak separuh karena sudah dipotong koperasi untuk membayar angsuran pinjaman," kata Artiningsih Tjahjanti atau Nining, adik Hadi Tjahjanto yang bertugas mengelola keuangan keluarga, dikutip dari buku berjudul Anak Sersan Jadi Panglima karya Eddy Suprapto.

Kisah Mantan Panglima TNI Pernah Jadi Penjaga Warung, Pembuat Donat, hingga Caddy

Hadi Tjahjanto sewaktu SMA. Foto: Istimewa



Sebagai kakak tertua yang masih memiliki tiga adik, Hadi Tjahjanto dan Nining bahu-membahu membantu orang tua mereka mulai dari membuat kue, mengirim kue ke pasar, hingga menjaga warung.

Rasa tanggung jawab sebagai anak pertama mendorong Hadi Tjahjanto tidak berdiam diri melihat perekonomian keluarga. Walaupun masih duduk di bangku Kelas VI SD, Hadi Tjahjanto ikut mencari tambahan untuk mencukupi kebutuhan adik-adiknya.

"Ibu saya berjualan rujak dan tape di depan rumah. Tugas saya berbelanja bahan-bahan untuk rujak dan mencari singkong untuk dibikin tape," kata Hadi mengenang masa kecilnya.



Jualan mereka cukup laris kala itu. Akan tetapi, tetangga mereka yang tinggal tidak jauh dari rumahnya meniru berjualan rujak. Warung mereka pun bersaing.

Saat itu, Hadi memutuskan untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi caddy di lapangan golf Kompleks Lanud Abdulrachman Saleh yang kala itu baru saja selesai dibangun. Kala itu, lapangan golf tersebut diperuntukkan bagi orang-orang Jepang atau pejabat tinggi lainnya.

Hadi menjadi caddy tidak setiap hari. Pekerjaan itu dilakoninya saat hari-hari libur sekolah atau Sabtu dan Minggu. Caddy bukanlah pekerjaan yang ringan untuk anak seusia Hadi saat itu.



Ya, seorang caddy harus memanggul tas berisi beberapa tingkat golf. Berat satu tas golf hampir mencapai 15 kilogram. Para caddy harus memanggul dan mengikuti ke mana pun para pemain golf itu bergerak.

Para pemain golf umumnya memainkan 18 hingga 27 holes. Sehingga, jarak yang harus ditempuh sekitar lima hingga sepuluh kilometer. Para caddy juga harus memunguti bola yang terpental ke mana-mana.

Tak hanya itu, para caddy juga harus mencuci stik golf dan sepatu para pemain. Saat itu, Jadi mendapatkan upah Rp200. "Saat itu, uang sejumlah itu cukup untuk membeli lima liter beras," kata Herry, sesama caddy.



Setelah lulus SD, Hadi melanjutkan sekolah di SMP Negeri 7 Singasari, Malang. Pergaulan Hadi pun mulai meluas. Dia berkenalan dengan anak-anak di luar kompleks, juga dengan anak-anak perwira yang tinggal di blok lain (umumnya disebut mes perwira, tapi masih dalam kompleks yang sama).

"Satu kali saya melihat teman saya, anak seorang penerbang, ikut bapaknya main golf. Saya lari menjauh karena malu sekali kalau ketahuan jadi caddy. Saya kira dia juga pasti akan malu punya teman seorang caddy," kata Hadi.

Sejak itu, Hadi berhenti mencari uang di lapangan golf. Sebagai gantinya, Hadi membantu orang tuanya berjualan rujak dan membuat donat di rumah, di samping panganan lainnya.

Aktivitas membuat donat masih tetap dilakukannya saat duduk di bangku SMA. Tugas Hadi adalah menguleni adonan donat agar bisa mengembang, sementara menggoreng dan membungkus adalah tugas ibunya dan Nining.

Saat masuk sekolah siang, pagi harinya Hadi bertugas menjaga warung. Hadi juga bertugas mengantar dan menitipkan donat kepada Mak Jah, pedagang jajanan di Pasar Singasari yang jaraknya empat kilometer dari rumahnya.

Hadi biasanya mengambil uang hasil penjualan donat itu. Semuanya itu dilakukan Hadi demi mendapatkan uang saku dan untuk ongkos kendaraan umum ke sekolah.

Jika itu tidak dikerjakan, Hadi tidak akan bisa berangkat ke sekolah karena tidak ada uang. Hasil berjualan memang sedikit, tapi dapat menopang kebutuhan rumah tangga.

Selain menjaga warung, Hadi sebagai anak lelaki tertua juga harus menimba air, mengepel lantai, serta melakukan pekerjaan anak lelaki pada umumnya. Di tengah keprihatinan ekonomi, kedua orang tuanya juga menekankan soal ibadah dengan harapan kelak mereka menjadi orang besar.

"Mas Hadi sejak kelas 4 SD sudah menjalankan puasa Senin-Kamis, sedangkan saya selalu berlomba dengan Mas Hadi. Jika sudah berhasil tujuh kali berturut-turut puasa Senin-Kamis, kami akan dapat hadiah dari Ibu berupa jajanan pasar," ujar Nining.

Nur Saa'dah selalu mengembuskan mantra yang menjadi pegangan anak-anaknya. Segala kekurangan ekonomi merupakan ujian. Jika ingin sukses menjadi orang besar, harus lulus ujian, harus mampu menjalani hidup dalam kekurangan dengan tabah.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2392 seconds (0.1#10.140)