Sjafrie Sjamsoeddin, Jenderal Tampan Peredam Kerusuhan Mei 98 di Jakarta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hari ini tepatnya 21 Mei, Soeharto memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Keputusan tersebut diambil menyusul aksi demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat yang berujung pada kerusuhan di sejumlah daerah khususnya di Ibu Kota Jakarta.
Kerusuhan tersebut berawal saat para mahasiswa tengah mengenang empat mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada 12 Mei 1998. Mereka adalah, Hery Hartanto, Hafidhin Alifidin Royan, Elang Mulia Lesmana, dan Hendriawan Sie di Kampus Trisakti. Gugurnya keempat mahasiswa tersebut memicu kemarahan rakyat.
Prosesi mengenang gugurnya empat mahasiswa di Kampus Trisakti, di Kawasan Grogol, Jakarta Barat pada 13 Mei yang bermula berlangsung damai tiba-tiba berubah memanas. Menjelang siang, entah siapa yang memulai tiba-tiba kerusuhan pecah. Sejumlah pertokoan menjadi sasaran kemarahan. Hingga tengah malam, aksi penjarahan dan pembakaran terus terjadi. Situasi Jakarta sangat mencekam.
aca juga: Kilas Balik 21 Mei 1998, Demo Besar-besaran hingga Kerusuhan yang Berujung Mundurnya Soeharto
Pangdam Jaya yang kala itu dijabat Mayjen TNI Sjafrie Syamsudin langsung mengambil tindakan cepat dan tegas. Pria kelahiran Ujungpandang, Sulawesi Selatan pada 30 Oktober 1952 mengerahkan pasukannya untuk mengendalikan situasi di Ibu Kota yang kacau balau.
Tentara menggelar patroli keamanan di Jakarta. Foto/istimewa
Menjelang tengah malam, puluhan tentara yang menaiki panser turun membubarkan kerumunan massa yang tengah melakukan penjarahan. Sikap tegas Jenderal Kopassus dalam menindak para perusuh dan penjarah terbukti ampuh. Kerusuhan dapat dicegah sehingga tidak semakin meluas dan berlarut.
Jenderal berwajah tampan dengan gaya bicaranya yang luwes dan lemah lembut untuk ukuran seorang tentara ini pun berhasil meredam kerusuhan dan mengembalikan stabilitas keamanan di Ibu Kota. Bahkan, untuk memastikan kondusivitas, Jenderal Kopassus itu berkeliling Jakarta dengan mengendarai kendaraan tempur.
”Sebagai orang yang yang dianggap dekat dengan Presiden Soeharto, mungkin seharusnya setelah 1998 Pak Sjafrie bisa mengalami karier yang lebih tinggi lagi. Tapi itu risiko, sejak awal kita telah diingatkan oleh senior-senior bahwa semua jabatan di tentara Kolonel ke atas adalah jabatan politis. Sesudah Kolonel yang semua tergantung politik. Nasib kalian belum tentu sama dengan profesionalisme,” kata Prabowo Subianto dalam buku biografinya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI Purn Prabowo Subianto dikutip SINDOnews, Sabtu (21/5/2022).
Kerusuhan tersebut berawal saat para mahasiswa tengah mengenang empat mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada 12 Mei 1998. Mereka adalah, Hery Hartanto, Hafidhin Alifidin Royan, Elang Mulia Lesmana, dan Hendriawan Sie di Kampus Trisakti. Gugurnya keempat mahasiswa tersebut memicu kemarahan rakyat.
Prosesi mengenang gugurnya empat mahasiswa di Kampus Trisakti, di Kawasan Grogol, Jakarta Barat pada 13 Mei yang bermula berlangsung damai tiba-tiba berubah memanas. Menjelang siang, entah siapa yang memulai tiba-tiba kerusuhan pecah. Sejumlah pertokoan menjadi sasaran kemarahan. Hingga tengah malam, aksi penjarahan dan pembakaran terus terjadi. Situasi Jakarta sangat mencekam.
aca juga: Kilas Balik 21 Mei 1998, Demo Besar-besaran hingga Kerusuhan yang Berujung Mundurnya Soeharto
Pangdam Jaya yang kala itu dijabat Mayjen TNI Sjafrie Syamsudin langsung mengambil tindakan cepat dan tegas. Pria kelahiran Ujungpandang, Sulawesi Selatan pada 30 Oktober 1952 mengerahkan pasukannya untuk mengendalikan situasi di Ibu Kota yang kacau balau.
Tentara menggelar patroli keamanan di Jakarta. Foto/istimewa
Menjelang tengah malam, puluhan tentara yang menaiki panser turun membubarkan kerumunan massa yang tengah melakukan penjarahan. Sikap tegas Jenderal Kopassus dalam menindak para perusuh dan penjarah terbukti ampuh. Kerusuhan dapat dicegah sehingga tidak semakin meluas dan berlarut.
Jenderal berwajah tampan dengan gaya bicaranya yang luwes dan lemah lembut untuk ukuran seorang tentara ini pun berhasil meredam kerusuhan dan mengembalikan stabilitas keamanan di Ibu Kota. Bahkan, untuk memastikan kondusivitas, Jenderal Kopassus itu berkeliling Jakarta dengan mengendarai kendaraan tempur.
”Sebagai orang yang yang dianggap dekat dengan Presiden Soeharto, mungkin seharusnya setelah 1998 Pak Sjafrie bisa mengalami karier yang lebih tinggi lagi. Tapi itu risiko, sejak awal kita telah diingatkan oleh senior-senior bahwa semua jabatan di tentara Kolonel ke atas adalah jabatan politis. Sesudah Kolonel yang semua tergantung politik. Nasib kalian belum tentu sama dengan profesionalisme,” kata Prabowo Subianto dalam buku biografinya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI Purn Prabowo Subianto dikutip SINDOnews, Sabtu (21/5/2022).