Bulan: Terikat dan Terpikat
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Penulis buku Di Telapak Cerita (2022)
Sejak ribuan tahun lalu, bulan menjadi cerita tak rampung. Cerita-cerita diwariskan dengan pikat dan dampak berbeda. Cerita-cerita “meralat” dan baru terus diciptakan. Masa demi masa, bulan di langit menjadi bulan di hati, pikiran, bebatuan, lontar, kertas, dan kain.
Sindhunata dalam buku berjudul Mata Air Bulan (1998) mengajukan renungan: “Menurut pikiran manusia: bulan seharusnya selalu memberi hiburan, terang, dan kegembiraan. Menurut penyelenggaraan ilahi, sebaliknyalah yang terjadi: bulan itu memberikan kegelapan, dukacita, dan barangkali keputusasaan. Sanggupkah manusia bertahan dan menanggung keadaan demikian berlawanan itu?”
Sindhunata terus menjawab melalui puisi, novel, dan esai. Ia tampak terikat dan terpikat bulan. Selama puluhan tahun, ia belum selesai bercerita bulan. Ikhtiar menafsir dan membeberkan tak pernah sampai akhir. Sindhunata mungkin mengakui mustahil khatam dalam membaca bulan untuk dituliskan dengan bahasa-bahasa menghampiri manusia merangsang keinsafan dan ketakjuban. Bulan selalu ada, belum ingin absen dalam lakon semesta. Cerita-cerita lama mungkin terlupa. Cerita-cerita baru mungkin masih disangkal ragu. Sindhunata pun pantang jemu selalu menulis bulan.
Sains sanggup menjelaskan bulan. Penjelasan mengandung kebenaran-kebenaran. Sains dimengerti tapi imajinasi bulan mengalir tanpa ada ujung. Sindhunata memilih di titian cerita ketimbang mengurusi bulan dengan studi-studi sains. Konon, cerita-cerita bulan melenakan tapi menguak kebenaran-kebenaran jarang tampak mata atau sulit “terbaca” para astronom dan ilmuwan.
Kita dihadapkan kalimat-kalimat Sindhunata melulu bulan: “Nak, carilah mata air bulan! Di sanalah, kamu akan menemukan jawaban, mengapa air dan bulan bisa bersatu dalam kerinduan.” Petuah setelah orang melihat keindahan dan menginginkan terang atas pengalaman. Sindhunata sedang membuat bibliografi bulan meski berulang. Ia memberi khotbah: “Air terpisah dari bulan. Tetapi di fajar pagi itu, kamu merasakan betapa bulan hanyut dalam aliran air, lebur menjadi sebuah kerinduan. Sepanjang kerinduan air, seterang itu kerinduan bulan. Bulan tak pernah hilang meski bersama aliran air. Terangnya ditelan samudera berulang-ulang. Terang bulan tak pernah padam kendati ia harus hanyut dalam kerinduan air yang mengalir tanpa berakhir.” Khotbah membumi, bukan ketetapan melangit.
Pada 2022, Sindhunata berusia 70 tahun. Ia mempersembahkan cerita masih bulan. Buku terbit mengartikan si pengarang tetap “terbit, belum tenggelam oleh usia atau kebosanan. Buku itu berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan. Pembaca tak usah tergesa mencari gambar bulan. Di kulit muka buku, kita justru melihat ibu mengandung dua anak. Bulan itu ibu? Bulan belum tampak di sampul tapi kita bakal terikat dan terpikat bulan dalam ratusan halaman. Di Indonesia, Sindhunata mungkin pengarang terpenting keranjingan bercerita bulan. Kita tak jemu-jemu turut melanggengkan bulan mula-mula cerita, sebelum mengakui kebenaran sains.
Tokoh bernama Sukrosono (raksasa bajang) sedang dilanda sedih dan merasa tenggelam dalam duka tak bernama. Di hutan, ia menanggungkan nasib ingin terang tapi gelap melanda dengan duka dan kesepian. Sindhunata bercerita: “Di ujung kegelapan ini tampak bulan sedang turun serendah-rendahnya, menghamparkan remang-remang terangnya. Betapa bahagia raksasa bajang ketika ia kembali melihat sinar bulan setelah sekian lama terbenam tanpa jalan keluar dalam kegelapan. Dengan helai-helai sinar bulan, ia mengamati sekelilingnya. Ia mendapati dirinya sedang berdiri di tengah hamparan kembang campaka yang membentang jadi pelataran bulan purnama. Bulan tiba-tiba menjadi penuh, cahayanya memecah kesunyian, dan gugurlah daun-daun malam yang bergemerisik, membangunkan kesepian raksasa bajang.”
Kita melihat peristiwa puitis. Ketakjuban tak mungkin selesai dengan selusin alinea. Sindhunata masih bersabar tak mengumbar bulan cuma di halaman-halaman awal. Peristiwa dialami Sukrosono di hutan Jatirasa membenarkan anggapan: bulan itu perempuan, bulan itu ibu, bulan itu kerinduan, bulan itu kenangan. Pembaca dibuat terharu dalam pertemuan anak dan ibu. Perpisahan dan kegamangan nasib dijawab bulan. Sukrosono merindukan ibu. Perempuan merasa bersalah dan menginginkan pertemuan dengan anak pernah dibuang gara-gara bertubuh dan bertampang jelek. Dua sosok bertemu sulit dalam berbahasa tapi merasa mengerti dengan pelukan dan ciuman. Sindhunata memberi adegan mengharukan: “Merasakan pelukan yang demikian mesra, makin deraslah perempuan itu mencucurkan air matanya. Ia tak dapat berkata-kata, kecuali menciumi pipi raksasa bajang itu dengan tak kalah mesranya.”
Sindhunata bercerita bulan mengacu warisan epos-epos bersemi di Jawa. Ia memasuki jagat cerita telah dialami orang-orang terdahulu menghidupi Mahabharata dan Ramayana. Di Jawa atau Nusantara, epos-epos itu bertumbuh dan bercabang menghasilkan ribuan cerita. Epos sebagai acuan mendapat imbuhan dari pembacaan kitab suci dan sejarah peradaban memungkinkan pembesaran bahasa-sains. Sindhunata belum bermaksud menceritakan bulan sebagai kebenaran-kebenaran rasional. Sekian cerita ingin mengembalikan bulan dalam pengalaman-pengalaman keindahan, keimanan, dan asmara.
Penulis buku Di Telapak Cerita (2022)
Sejak ribuan tahun lalu, bulan menjadi cerita tak rampung. Cerita-cerita diwariskan dengan pikat dan dampak berbeda. Cerita-cerita “meralat” dan baru terus diciptakan. Masa demi masa, bulan di langit menjadi bulan di hati, pikiran, bebatuan, lontar, kertas, dan kain.
Sindhunata dalam buku berjudul Mata Air Bulan (1998) mengajukan renungan: “Menurut pikiran manusia: bulan seharusnya selalu memberi hiburan, terang, dan kegembiraan. Menurut penyelenggaraan ilahi, sebaliknyalah yang terjadi: bulan itu memberikan kegelapan, dukacita, dan barangkali keputusasaan. Sanggupkah manusia bertahan dan menanggung keadaan demikian berlawanan itu?”
Sindhunata terus menjawab melalui puisi, novel, dan esai. Ia tampak terikat dan terpikat bulan. Selama puluhan tahun, ia belum selesai bercerita bulan. Ikhtiar menafsir dan membeberkan tak pernah sampai akhir. Sindhunata mungkin mengakui mustahil khatam dalam membaca bulan untuk dituliskan dengan bahasa-bahasa menghampiri manusia merangsang keinsafan dan ketakjuban. Bulan selalu ada, belum ingin absen dalam lakon semesta. Cerita-cerita lama mungkin terlupa. Cerita-cerita baru mungkin masih disangkal ragu. Sindhunata pun pantang jemu selalu menulis bulan.
Sains sanggup menjelaskan bulan. Penjelasan mengandung kebenaran-kebenaran. Sains dimengerti tapi imajinasi bulan mengalir tanpa ada ujung. Sindhunata memilih di titian cerita ketimbang mengurusi bulan dengan studi-studi sains. Konon, cerita-cerita bulan melenakan tapi menguak kebenaran-kebenaran jarang tampak mata atau sulit “terbaca” para astronom dan ilmuwan.
Kita dihadapkan kalimat-kalimat Sindhunata melulu bulan: “Nak, carilah mata air bulan! Di sanalah, kamu akan menemukan jawaban, mengapa air dan bulan bisa bersatu dalam kerinduan.” Petuah setelah orang melihat keindahan dan menginginkan terang atas pengalaman. Sindhunata sedang membuat bibliografi bulan meski berulang. Ia memberi khotbah: “Air terpisah dari bulan. Tetapi di fajar pagi itu, kamu merasakan betapa bulan hanyut dalam aliran air, lebur menjadi sebuah kerinduan. Sepanjang kerinduan air, seterang itu kerinduan bulan. Bulan tak pernah hilang meski bersama aliran air. Terangnya ditelan samudera berulang-ulang. Terang bulan tak pernah padam kendati ia harus hanyut dalam kerinduan air yang mengalir tanpa berakhir.” Khotbah membumi, bukan ketetapan melangit.
Pada 2022, Sindhunata berusia 70 tahun. Ia mempersembahkan cerita masih bulan. Buku terbit mengartikan si pengarang tetap “terbit, belum tenggelam oleh usia atau kebosanan. Buku itu berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan. Pembaca tak usah tergesa mencari gambar bulan. Di kulit muka buku, kita justru melihat ibu mengandung dua anak. Bulan itu ibu? Bulan belum tampak di sampul tapi kita bakal terikat dan terpikat bulan dalam ratusan halaman. Di Indonesia, Sindhunata mungkin pengarang terpenting keranjingan bercerita bulan. Kita tak jemu-jemu turut melanggengkan bulan mula-mula cerita, sebelum mengakui kebenaran sains.
Tokoh bernama Sukrosono (raksasa bajang) sedang dilanda sedih dan merasa tenggelam dalam duka tak bernama. Di hutan, ia menanggungkan nasib ingin terang tapi gelap melanda dengan duka dan kesepian. Sindhunata bercerita: “Di ujung kegelapan ini tampak bulan sedang turun serendah-rendahnya, menghamparkan remang-remang terangnya. Betapa bahagia raksasa bajang ketika ia kembali melihat sinar bulan setelah sekian lama terbenam tanpa jalan keluar dalam kegelapan. Dengan helai-helai sinar bulan, ia mengamati sekelilingnya. Ia mendapati dirinya sedang berdiri di tengah hamparan kembang campaka yang membentang jadi pelataran bulan purnama. Bulan tiba-tiba menjadi penuh, cahayanya memecah kesunyian, dan gugurlah daun-daun malam yang bergemerisik, membangunkan kesepian raksasa bajang.”
Kita melihat peristiwa puitis. Ketakjuban tak mungkin selesai dengan selusin alinea. Sindhunata masih bersabar tak mengumbar bulan cuma di halaman-halaman awal. Peristiwa dialami Sukrosono di hutan Jatirasa membenarkan anggapan: bulan itu perempuan, bulan itu ibu, bulan itu kerinduan, bulan itu kenangan. Pembaca dibuat terharu dalam pertemuan anak dan ibu. Perpisahan dan kegamangan nasib dijawab bulan. Sukrosono merindukan ibu. Perempuan merasa bersalah dan menginginkan pertemuan dengan anak pernah dibuang gara-gara bertubuh dan bertampang jelek. Dua sosok bertemu sulit dalam berbahasa tapi merasa mengerti dengan pelukan dan ciuman. Sindhunata memberi adegan mengharukan: “Merasakan pelukan yang demikian mesra, makin deraslah perempuan itu mencucurkan air matanya. Ia tak dapat berkata-kata, kecuali menciumi pipi raksasa bajang itu dengan tak kalah mesranya.”
Sindhunata bercerita bulan mengacu warisan epos-epos bersemi di Jawa. Ia memasuki jagat cerita telah dialami orang-orang terdahulu menghidupi Mahabharata dan Ramayana. Di Jawa atau Nusantara, epos-epos itu bertumbuh dan bercabang menghasilkan ribuan cerita. Epos sebagai acuan mendapat imbuhan dari pembacaan kitab suci dan sejarah peradaban memungkinkan pembesaran bahasa-sains. Sindhunata belum bermaksud menceritakan bulan sebagai kebenaran-kebenaran rasional. Sekian cerita ingin mengembalikan bulan dalam pengalaman-pengalaman keindahan, keimanan, dan asmara.