Bulan: Terikat dan Terpikat

Sabtu, 14 Mei 2022 - 07:53 WIB
loading...
A A A
Tokoh-tokoh diceritakan Sindhunata dalam babak awal sampai akhir memiliki derajat-derajat perubahan nasib kadang mengejutkan. Pembaca dituntun mengetahui kedirian tokoh tanpa tergesa memberi penilaian paripurna. “Pluralisme moral menyelubungi seluruh jagat wayang,” tulis Benedict Anderson dalam buku berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2003). Para penikmat atau penafsir epos-epos mewujud dalam sastra dan pentas di Jawa menanggungkan ambiguitas moral saat mengikuti biografi para tokoh.

Sindhunata membuktikan dengan menghadirkan tokoh-tokoh tak pasti atau selalu benar dan salah. Konon, semua itu bergerak di jalan takdir. Sumantri sering berlaku bohong dan kejam tapi terikat “kebenaran” lambat terperoleh. Sukrosono menuruti kebaikan-kebaikan tapi terpencil di tatanan hidup. Dua bersaudara terbaca dalam pertentangan dan perbedaan. Kita teledor atau salah membaca kadang gagal menemukan ikatan-ikatan berdalil kebaikan bersama.

Pertemuan Sumantri-Sukrosono setelah terpisah lama menimbulkan keinginan bersama dan keberjarakkan. Sindhunata mengajukan Sumantri sebagai pihak dirundung bimbang dan membuat kesalahan. Pada saat berdua dengan Sukrosono, ia menampilkan diri sebagai sosok baik dan memberi kasih. Sumantri justru dalam “permainan” menghasilkan luka-luka bakal tersesali. Pembaca diminta tak gegabah mengecam dan prihatin: “Seperti dulu, setiap kali mendengar suara kakaknya, Sukrosono tak menunggu lama untuk bisa memejamkan matanya. Ia tertidur di pangkuan Sumantri. Ia bermimpi naik ke bulan. Di sana, ia melihat bulan, tidak hanya satu tapi seribu. Ia bisa bermain dengan sesukanya. Dilemparnya bulan bagaikan bulan. Dan ia merasa tanggallah satu per satu kesedihan-kesedihannya.” Keikhlasan dan kesetiaan Sukrosono kepada Sumantri itu kesejatian. Sumantri tersadarkan bahwa Sukrosono “berwajah bulan purnama”.

Urusan asmara dan keluarga disahkan bulan bertambah dengan kekuasaan. Sindhunata fasih mengisahkan kekuasaan sering sulit terpahamkan dalam logika-politik modern. Epos-epos berisi perang, rebutan kekuasaan, pemujaan raja, dendam bersambung, sengketa berpusat perempuan, dan lain-lain. Anak Bajang Mengayun Bulan pun mengandung girang dan derita akibat kekuasaan. Sindhunata tak lupa tetap menautkan kekuasaan dengan bulan.

Sumantri memenuhi hasrat menjadi satria, mengabdi kepada Raja Maespati (Prabu Arjunasasrabahu). Raja itu menginginkan Dewi Citrawati saat diperebutkan seribu raja melalui perang terlalu membingungkan. Sumantri tampil sebagai “pemenang” dalam menunaikan titah Prabu Arjunasasrabahu. Dewi Citrawati bakal termiliki Prabu Arjunasasrabahu atas pengabdian Sumantri dalam perang mengalahkan para raja.

Raihan-raihan Sumantri dalam kekuasaan ditentukan keberanian dan kebaikan Sukrosono. Sosok tak tampak bagi orang-orang telanjur mengagumi Sumantri. Pada saat menuruti perintah Prabu Sasrabahu agar menghadirkan Taman Sriwedari di Maespati atas permintaan Dewi Citrawati, Sumantri merasa dihadapkan kemustahilan. Penjawab dan pemberi bukti justru Sukrosono. Ia berhasil memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Tokoh di muka untuk membuktikan di hadapan raja dan Dewi Citrawati tentu Sumantri.

Tata cara mewujudkan Taman Sriwedari penuh misteri. Sukrosono berpesan kepada Sumantri: “Tunggulah sampai malam tiba, di mana akan datang bulan purnama. Mintalah mereka datang ke dataran luas yang ada di Maespati ini. Taruhlah kuncup bunga Wijayakusuma ini di telapak tanganmu, lalu bersemadilah!” Peristiwa akbar tergelar. Taman Sriwedari menimbulkan ketakjuban. Pembaca diingatkan pemenuhan hasrat demi asmara dan kekuasaan dipengaruhi bulan. Dewi Citrawati menjadi permaisuri. Perempuan cantik jelita itu bersanding Prabu Arjunasasrabahu. Sumantri menjadi sosok “penentu” dalam pemenuhan ingin Dewi Citrawati dan kehormatan raja.

Sumantri sulit mengelak dari keinginan memiliki Dewi Citrawati tapi mengerti posisi sebagai satria di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Pada suatu hari, hasrat asmara itu mewujud. Di Taman Sriwedari, Sumantri dan Dewi Citrawati berdua dalam kerinduan dan berahi. Percakapan mereka mengenai bulan. Kita mengerti bulan sebagai tamsil perasaan dan keinginan memadu kasih.

“Bulan sabit itu masih cukup terang bagi Sumantri dan Dewi Citrawati,” tulis Sindhunata menjelang perbuatan asmara dua tokoh. “Sumantri, akankah kauberikan padaku belaian bulan yang kunantikan itu,” pinta Dewi Citrawati. Di bawah bulan, mereka mewujudkan kenikmatan.

Sindhunata mengisahkan: “… Dewi Citrawati demikian cantik ketika ia merintih di ujung berahinya. Sumantri memberikan apa yang diminta Dewi Citrawati. Langit tampak berjumbai dengan helai-helai sinar bulan. Dan Dewi Citrawati merasa seperti dibelai dengan belaian bulan. Pada saat itulah ia merasa tubuhnya meledak dalam kepuasan, seperti bunga Wijayakusuma yang mekar karena dibelai cahaya bulan.” Pergumulan berahi mereka dalam pertaruhan kekuasaan dan restu bulan. Maespati sedang bergolak berahi: Sumantri-Dewi Citrawati. Di Maespati, bulan sering memberi pengaruh lakon kekuasaan, tak sekadar kenikmati berahi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1062 seconds (0.1#10.140)