Bulan: Terikat dan Terpikat
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Penulis buku Di Telapak Cerita (2022)
Sejak ribuan tahun lalu, bulan menjadi cerita tak rampung. Cerita-cerita diwariskan dengan pikat dan dampak berbeda. Cerita-cerita “meralat” dan baru terus diciptakan. Masa demi masa, bulan di langit menjadi bulan di hati, pikiran, bebatuan, lontar, kertas, dan kain.
Sindhunata dalam buku berjudul Mata Air Bulan (1998) mengajukan renungan: “Menurut pikiran manusia: bulan seharusnya selalu memberi hiburan, terang, dan kegembiraan. Menurut penyelenggaraan ilahi, sebaliknyalah yang terjadi: bulan itu memberikan kegelapan, dukacita, dan barangkali keputusasaan. Sanggupkah manusia bertahan dan menanggung keadaan demikian berlawanan itu?”
Sindhunata terus menjawab melalui puisi, novel, dan esai. Ia tampak terikat dan terpikat bulan. Selama puluhan tahun, ia belum selesai bercerita bulan. Ikhtiar menafsir dan membeberkan tak pernah sampai akhir. Sindhunata mungkin mengakui mustahil khatam dalam membaca bulan untuk dituliskan dengan bahasa-bahasa menghampiri manusia merangsang keinsafan dan ketakjuban. Bulan selalu ada, belum ingin absen dalam lakon semesta. Cerita-cerita lama mungkin terlupa. Cerita-cerita baru mungkin masih disangkal ragu. Sindhunata pun pantang jemu selalu menulis bulan.
Sains sanggup menjelaskan bulan. Penjelasan mengandung kebenaran-kebenaran. Sains dimengerti tapi imajinasi bulan mengalir tanpa ada ujung. Sindhunata memilih di titian cerita ketimbang mengurusi bulan dengan studi-studi sains. Konon, cerita-cerita bulan melenakan tapi menguak kebenaran-kebenaran jarang tampak mata atau sulit “terbaca” para astronom dan ilmuwan.
Kita dihadapkan kalimat-kalimat Sindhunata melulu bulan: “Nak, carilah mata air bulan! Di sanalah, kamu akan menemukan jawaban, mengapa air dan bulan bisa bersatu dalam kerinduan.” Petuah setelah orang melihat keindahan dan menginginkan terang atas pengalaman. Sindhunata sedang membuat bibliografi bulan meski berulang. Ia memberi khotbah: “Air terpisah dari bulan. Tetapi di fajar pagi itu, kamu merasakan betapa bulan hanyut dalam aliran air, lebur menjadi sebuah kerinduan. Sepanjang kerinduan air, seterang itu kerinduan bulan. Bulan tak pernah hilang meski bersama aliran air. Terangnya ditelan samudera berulang-ulang. Terang bulan tak pernah padam kendati ia harus hanyut dalam kerinduan air yang mengalir tanpa berakhir.” Khotbah membumi, bukan ketetapan melangit.
Pada 2022, Sindhunata berusia 70 tahun. Ia mempersembahkan cerita masih bulan. Buku terbit mengartikan si pengarang tetap “terbit, belum tenggelam oleh usia atau kebosanan. Buku itu berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan. Pembaca tak usah tergesa mencari gambar bulan. Di kulit muka buku, kita justru melihat ibu mengandung dua anak. Bulan itu ibu? Bulan belum tampak di sampul tapi kita bakal terikat dan terpikat bulan dalam ratusan halaman. Di Indonesia, Sindhunata mungkin pengarang terpenting keranjingan bercerita bulan. Kita tak jemu-jemu turut melanggengkan bulan mula-mula cerita, sebelum mengakui kebenaran sains.
Tokoh bernama Sukrosono (raksasa bajang) sedang dilanda sedih dan merasa tenggelam dalam duka tak bernama. Di hutan, ia menanggungkan nasib ingin terang tapi gelap melanda dengan duka dan kesepian. Sindhunata bercerita: “Di ujung kegelapan ini tampak bulan sedang turun serendah-rendahnya, menghamparkan remang-remang terangnya. Betapa bahagia raksasa bajang ketika ia kembali melihat sinar bulan setelah sekian lama terbenam tanpa jalan keluar dalam kegelapan. Dengan helai-helai sinar bulan, ia mengamati sekelilingnya. Ia mendapati dirinya sedang berdiri di tengah hamparan kembang campaka yang membentang jadi pelataran bulan purnama. Bulan tiba-tiba menjadi penuh, cahayanya memecah kesunyian, dan gugurlah daun-daun malam yang bergemerisik, membangunkan kesepian raksasa bajang.”
Kita melihat peristiwa puitis. Ketakjuban tak mungkin selesai dengan selusin alinea. Sindhunata masih bersabar tak mengumbar bulan cuma di halaman-halaman awal. Peristiwa dialami Sukrosono di hutan Jatirasa membenarkan anggapan: bulan itu perempuan, bulan itu ibu, bulan itu kerinduan, bulan itu kenangan. Pembaca dibuat terharu dalam pertemuan anak dan ibu. Perpisahan dan kegamangan nasib dijawab bulan. Sukrosono merindukan ibu. Perempuan merasa bersalah dan menginginkan pertemuan dengan anak pernah dibuang gara-gara bertubuh dan bertampang jelek. Dua sosok bertemu sulit dalam berbahasa tapi merasa mengerti dengan pelukan dan ciuman. Sindhunata memberi adegan mengharukan: “Merasakan pelukan yang demikian mesra, makin deraslah perempuan itu mencucurkan air matanya. Ia tak dapat berkata-kata, kecuali menciumi pipi raksasa bajang itu dengan tak kalah mesranya.”
Sindhunata bercerita bulan mengacu warisan epos-epos bersemi di Jawa. Ia memasuki jagat cerita telah dialami orang-orang terdahulu menghidupi Mahabharata dan Ramayana. Di Jawa atau Nusantara, epos-epos itu bertumbuh dan bercabang menghasilkan ribuan cerita. Epos sebagai acuan mendapat imbuhan dari pembacaan kitab suci dan sejarah peradaban memungkinkan pembesaran bahasa-sains. Sindhunata belum bermaksud menceritakan bulan sebagai kebenaran-kebenaran rasional. Sekian cerita ingin mengembalikan bulan dalam pengalaman-pengalaman keindahan, keimanan, dan asmara.
Bercerita bulan bukan untuk bualan tapi buaian kesejatian manusia, alam, dan Tuhan. Di khazanah sastra Jawa, kemahiran Sindhunata mengisahkan bulan sudah didahului para pujangga atau penggubah tembang-tembang, sejak ratusan tahun lalu. Di Jawa, bulan itu acuan menimbulkan keberlimpahan cerita untuk terbaca-terdengar atau kenikmatan menembang dalam kesendirian atau kebersamaan. Sindhunata berada di jalan sudah dilewati orang-orang terpukau bulan.
Di buku berjudul Kebudayaan Jawa (1984), Koentjaraningrat menjelaskan pelbagai seni dan sastra mementingkan pengisahan alam-semesta. Bulan menjadi acuan terlanggengkan. Di kalangan priyayi dan petani, bulan ditemukan dalam beragam seni. Di persembahan sastra-sastra lama beralamat keraton atau tetembangan desa, bulan senantiasa menakjubkan dalam ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan keindahan. Bulan pun renungan atau tamsil. Di Jawa, bulan makin berarti dengan kesadaran arsitektur rumah dan tata cara pertanian. Bulan bukan milik orang-orang Jawa saja tapi kepemilikan itu erat.
Sindhunata menuliskan bulan untuk orang-orang masih mau memberi tatapan ketakjuban ketimbang penelantaran akibat peradaban terlalu berubah oleh lampu-lampu dan pemandangan buatan. Di halaman-halaman Anak Bajang Mengayun Bulan, kita menikmati lagi cerita-cerita bergerak lambat untuk nikmat bagi pendamba makna-makna terhubung kesilaman dan epos tak pernah kedaluwarsa.
Kita diminta mengandaikan pengalaman bergejolak tokoh-tokoh dipengaruhi bulan. Sindhunata menuliskan bulan dan nafsu. Kita membaca tanpa sangkaan picisan. Kita mengingat adegan Begawan Swandagni dan Dewi Sokawati di bawah bulan, penentu kehamilan dan kelahiran dua anak berbeda rupa: Sumantri dan Sukrosono. Begawan Swandagni dikutuk salah dan keinginan pengampunan: “Sering, di saat malam sedang indah dengan terang bulannya, ia berjalan sendiri di pelataran Jatisrana. Terputarlah kembali dalam ingatannya, ketika ia melakukan perbuatan asmara, yang membuat nafsunya membara. Ia sangat menikmati nafsunya ketika bercinta dengan Dewi Sokawati pada malam itu, namun mengapa ia menolak buah dari nafsu itu, hingga ia menganggap Sukrosono bukanlah buah dari perbuatan cintanya? Ia menyesali perbuatannya.”
Di bawah bulan, lelaki dan perempuan dalam pemenuhan nafsu. Kenikmatan makin indah dengan terang bulan. Kenikmatan disusul ingkar dan kesalahan. Dewi Sokawati melahirkan Sumantri dan Sukrosono. Sumantri bertampang rupawan. Sukrosono mula-mula dilihat buruk berakibat dibuang atas “perintah” Begawan Swandagni. Derita, keajaiban, dan kutukan perlahan menjadikan cerita terbaca mendebarkan. Sukrosono justru sosok baik, setia, dan berani. Sumantri sering memburu ingin muluk-muluk dan merasa malu memiliki adik Sukrosono.
Di beragam perjalanan dan peristiwa, Sumantri dan Sukrosono bertemu para tokoh berurusan asmara, keluarga, kekuasaan, alam, dan lain-lain. Kita tak mampu memihak dengan pujian mutlak atau mengutuk tokoh pasti salah. Tokoh-tokoh dalam Anak Bajang Mengayun Bulan meminta pembaca tekun mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah, benci-cinta, damai-perang, erat-renggang, suci-kotor, dan lain-lain.
Pembaca biasa dalam dilema-dilema mengartikan peristiwa dan peran tokoh-tokoh. Di buku berjudul Kisah Karna dan Dendam Kita (1999), Mohamad Sobary mengingatkan bahwa epos-epos masih referensi bagi orang-orang Indonesia membincangkan moral, politik, kebenaran, kebahagiaan, dan lain-lain. Penilaian tak mungkin tetap dan mutlak dalam mengerti tokoh-tokoh. Tragedi-tragedi dalam epos memungkinkan pembaca mengetahui nasib dan keajaiban tercipta. Epos menguak sifat-sifat manusia sering berpasangan tapi terbahasakan tak gamblang. Kebiasaan orang-orang Jawa mengisahkan tokoh-tokoh dalam epos itu pengajaran menjadi manusia berbarengan menilik ulang sifat-sifat mengejawantah tanpa mengabaikan takdir terselenggara sulit ditebak.
Usaha mengerti hal-hal sulit absolut mendapat pijakan ajaran dari Semar. Sindhunata menghadapkan Sukrosono dengan petuah Semar. Petuah bersuasanakan malam berbulan. Kita membaca: “Sukrosono berkata lirih. Dan jatuhlah air matanya. Kesedihannya yang terdalam ternyata bisa memanggil bulan… Ketika bulan menjadi seluruhnya terang, tak satu pun kesedihan tertinggal. Kesedihan Sukrosono sudah hilang ditelan bulan. Sukrosono pun dibawamasuk ke dalam samar…” Bulan membawakan pesan Semar: “Anakku, akan datang saatnya kau harus hidup dalam sejatinya samar. Di sana kau akan hilang karena harus memberikan seluruh hidupmu dalam keikhlasan. Berbahagialah kau bila datang saatnya kau benar-benar dituntun oleh sejatinya samar.”
Selama puluhan tahun, Sindhunata rajin menghadirkan Semar dan petuah-petuah melalui cerita dan esai. Kita makin mengerti jagat kesusastraan dan keintelektualan Sindhunata memang berakar di epos-epos. Ia pernah menekuni filsafat Barat tapi membawa ke gejolak-gejolak Jawa dan religius dalam persembahan tulisan-tulisan. Semar itu tokoh dan pokok.
Sindhunata tak sendirian mementingkan Semar. Di majalah Jakarta Jakarta, 25-31 Mei 1996, Seno Gumira Ajidarma mengabarkan: “Citra tokoh Semar menjadi bagian hidup sehari-hari.” Di Jawa, Semar itu panutan. Ia dikagumi dengan segala petuah jarang gamblang. Orang-orang justru ingin mengerti maksud Semar dalam samar tak berkesudahan. Semar menghuni gubahan sastra di Jawa, sejak ratusan tahun lalu. Pada suatu masa, Sindhunata mengisahkan dalam buku tipis berjudul Semar Mencari Raga. Pembacaan sosok Semar oleh Seno Gumira Ajidarma mengesankan Semar itu ada dan datang dalam situasi-situasi darurat. Di buku Anak Bajang Mengayun Bulan, Sindhunata menghadirkan Semar memang saat darurat. Semar sebagai “jawaban” atau “peringatan”.
Tokoh-tokoh diceritakan Sindhunata dalam babak awal sampai akhir memiliki derajat-derajat perubahan nasib kadang mengejutkan. Pembaca dituntun mengetahui kedirian tokoh tanpa tergesa memberi penilaian paripurna. “Pluralisme moral menyelubungi seluruh jagat wayang,” tulis Benedict Anderson dalam buku berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2003). Para penikmat atau penafsir epos-epos mewujud dalam sastra dan pentas di Jawa menanggungkan ambiguitas moral saat mengikuti biografi para tokoh.
Sindhunata membuktikan dengan menghadirkan tokoh-tokoh tak pasti atau selalu benar dan salah. Konon, semua itu bergerak di jalan takdir. Sumantri sering berlaku bohong dan kejam tapi terikat “kebenaran” lambat terperoleh. Sukrosono menuruti kebaikan-kebaikan tapi terpencil di tatanan hidup. Dua bersaudara terbaca dalam pertentangan dan perbedaan. Kita teledor atau salah membaca kadang gagal menemukan ikatan-ikatan berdalil kebaikan bersama.
Pertemuan Sumantri-Sukrosono setelah terpisah lama menimbulkan keinginan bersama dan keberjarakkan. Sindhunata mengajukan Sumantri sebagai pihak dirundung bimbang dan membuat kesalahan. Pada saat berdua dengan Sukrosono, ia menampilkan diri sebagai sosok baik dan memberi kasih. Sumantri justru dalam “permainan” menghasilkan luka-luka bakal tersesali. Pembaca diminta tak gegabah mengecam dan prihatin: “Seperti dulu, setiap kali mendengar suara kakaknya, Sukrosono tak menunggu lama untuk bisa memejamkan matanya. Ia tertidur di pangkuan Sumantri. Ia bermimpi naik ke bulan. Di sana, ia melihat bulan, tidak hanya satu tapi seribu. Ia bisa bermain dengan sesukanya. Dilemparnya bulan bagaikan bulan. Dan ia merasa tanggallah satu per satu kesedihan-kesedihannya.” Keikhlasan dan kesetiaan Sukrosono kepada Sumantri itu kesejatian. Sumantri tersadarkan bahwa Sukrosono “berwajah bulan purnama”.
Urusan asmara dan keluarga disahkan bulan bertambah dengan kekuasaan. Sindhunata fasih mengisahkan kekuasaan sering sulit terpahamkan dalam logika-politik modern. Epos-epos berisi perang, rebutan kekuasaan, pemujaan raja, dendam bersambung, sengketa berpusat perempuan, dan lain-lain. Anak Bajang Mengayun Bulan pun mengandung girang dan derita akibat kekuasaan. Sindhunata tak lupa tetap menautkan kekuasaan dengan bulan.
Sumantri memenuhi hasrat menjadi satria, mengabdi kepada Raja Maespati (Prabu Arjunasasrabahu). Raja itu menginginkan Dewi Citrawati saat diperebutkan seribu raja melalui perang terlalu membingungkan. Sumantri tampil sebagai “pemenang” dalam menunaikan titah Prabu Arjunasasrabahu. Dewi Citrawati bakal termiliki Prabu Arjunasasrabahu atas pengabdian Sumantri dalam perang mengalahkan para raja.
Raihan-raihan Sumantri dalam kekuasaan ditentukan keberanian dan kebaikan Sukrosono. Sosok tak tampak bagi orang-orang telanjur mengagumi Sumantri. Pada saat menuruti perintah Prabu Sasrabahu agar menghadirkan Taman Sriwedari di Maespati atas permintaan Dewi Citrawati, Sumantri merasa dihadapkan kemustahilan. Penjawab dan pemberi bukti justru Sukrosono. Ia berhasil memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Tokoh di muka untuk membuktikan di hadapan raja dan Dewi Citrawati tentu Sumantri.
Tata cara mewujudkan Taman Sriwedari penuh misteri. Sukrosono berpesan kepada Sumantri: “Tunggulah sampai malam tiba, di mana akan datang bulan purnama. Mintalah mereka datang ke dataran luas yang ada di Maespati ini. Taruhlah kuncup bunga Wijayakusuma ini di telapak tanganmu, lalu bersemadilah!” Peristiwa akbar tergelar. Taman Sriwedari menimbulkan ketakjuban. Pembaca diingatkan pemenuhan hasrat demi asmara dan kekuasaan dipengaruhi bulan. Dewi Citrawati menjadi permaisuri. Perempuan cantik jelita itu bersanding Prabu Arjunasasrabahu. Sumantri menjadi sosok “penentu” dalam pemenuhan ingin Dewi Citrawati dan kehormatan raja.
Sumantri sulit mengelak dari keinginan memiliki Dewi Citrawati tapi mengerti posisi sebagai satria di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Pada suatu hari, hasrat asmara itu mewujud. Di Taman Sriwedari, Sumantri dan Dewi Citrawati berdua dalam kerinduan dan berahi. Percakapan mereka mengenai bulan. Kita mengerti bulan sebagai tamsil perasaan dan keinginan memadu kasih.
“Bulan sabit itu masih cukup terang bagi Sumantri dan Dewi Citrawati,” tulis Sindhunata menjelang perbuatan asmara dua tokoh. “Sumantri, akankah kauberikan padaku belaian bulan yang kunantikan itu,” pinta Dewi Citrawati. Di bawah bulan, mereka mewujudkan kenikmatan.
Sindhunata mengisahkan: “… Dewi Citrawati demikian cantik ketika ia merintih di ujung berahinya. Sumantri memberikan apa yang diminta Dewi Citrawati. Langit tampak berjumbai dengan helai-helai sinar bulan. Dan Dewi Citrawati merasa seperti dibelai dengan belaian bulan. Pada saat itulah ia merasa tubuhnya meledak dalam kepuasan, seperti bunga Wijayakusuma yang mekar karena dibelai cahaya bulan.” Pergumulan berahi mereka dalam pertaruhan kekuasaan dan restu bulan. Maespati sedang bergolak berahi: Sumantri-Dewi Citrawati. Di Maespati, bulan sering memberi pengaruh lakon kekuasaan, tak sekadar kenikmati berahi.
Khatam menikmati Anak Bajang Mengayun Bulan, kita mengerti ketekunan Sindhunata mengisahkan segala dengan menghadirkan bulan. Ia mungkin berlebihan menaruh bulan dalam merestui dan membenarkan pelbagai kejadian. Kita maklum bulan memang bergelimang cerita. Buku sudah ditutup meski bulan tak pernah redup.
Kita mulai berpikiran ikhtiar Sindhunata dalam pengisahan dan penjelasan. Di buku berjudul Bayang-Bayang Ratu Adil (1999), kita mengingat penjelasan: “Dalam wayang, kebaikan itu ‘diputihkan’ dan kejahatan ‘dihitamkan’. Sebagaimana putih tak pernah bisa bercampur dengan hitam, demikian pula kebaikan itu senantiasa terpisah dari kejahatan. Dan sebagaimana kebaikan selalu menang, demikian pula kebaikan selalu kalah.” Penjelasan itu samar saat kita membaca pengisahan Anak Bajang Mengayun Bulan. Buku tebal tak memudahkan pembaca sadar hitam-putih. Samar dalam penafsiran makin menguat saat pembaca selalu bertemu bulan. Begitu.
Judul : Anak Bajang Mengayun Bulan
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : 2022
Tebal : 556 halaman
ISBN : 978 602 06 5603 8
Penulis buku Di Telapak Cerita (2022)
Sejak ribuan tahun lalu, bulan menjadi cerita tak rampung. Cerita-cerita diwariskan dengan pikat dan dampak berbeda. Cerita-cerita “meralat” dan baru terus diciptakan. Masa demi masa, bulan di langit menjadi bulan di hati, pikiran, bebatuan, lontar, kertas, dan kain.
Sindhunata dalam buku berjudul Mata Air Bulan (1998) mengajukan renungan: “Menurut pikiran manusia: bulan seharusnya selalu memberi hiburan, terang, dan kegembiraan. Menurut penyelenggaraan ilahi, sebaliknyalah yang terjadi: bulan itu memberikan kegelapan, dukacita, dan barangkali keputusasaan. Sanggupkah manusia bertahan dan menanggung keadaan demikian berlawanan itu?”
Sindhunata terus menjawab melalui puisi, novel, dan esai. Ia tampak terikat dan terpikat bulan. Selama puluhan tahun, ia belum selesai bercerita bulan. Ikhtiar menafsir dan membeberkan tak pernah sampai akhir. Sindhunata mungkin mengakui mustahil khatam dalam membaca bulan untuk dituliskan dengan bahasa-bahasa menghampiri manusia merangsang keinsafan dan ketakjuban. Bulan selalu ada, belum ingin absen dalam lakon semesta. Cerita-cerita lama mungkin terlupa. Cerita-cerita baru mungkin masih disangkal ragu. Sindhunata pun pantang jemu selalu menulis bulan.
Sains sanggup menjelaskan bulan. Penjelasan mengandung kebenaran-kebenaran. Sains dimengerti tapi imajinasi bulan mengalir tanpa ada ujung. Sindhunata memilih di titian cerita ketimbang mengurusi bulan dengan studi-studi sains. Konon, cerita-cerita bulan melenakan tapi menguak kebenaran-kebenaran jarang tampak mata atau sulit “terbaca” para astronom dan ilmuwan.
Kita dihadapkan kalimat-kalimat Sindhunata melulu bulan: “Nak, carilah mata air bulan! Di sanalah, kamu akan menemukan jawaban, mengapa air dan bulan bisa bersatu dalam kerinduan.” Petuah setelah orang melihat keindahan dan menginginkan terang atas pengalaman. Sindhunata sedang membuat bibliografi bulan meski berulang. Ia memberi khotbah: “Air terpisah dari bulan. Tetapi di fajar pagi itu, kamu merasakan betapa bulan hanyut dalam aliran air, lebur menjadi sebuah kerinduan. Sepanjang kerinduan air, seterang itu kerinduan bulan. Bulan tak pernah hilang meski bersama aliran air. Terangnya ditelan samudera berulang-ulang. Terang bulan tak pernah padam kendati ia harus hanyut dalam kerinduan air yang mengalir tanpa berakhir.” Khotbah membumi, bukan ketetapan melangit.
Pada 2022, Sindhunata berusia 70 tahun. Ia mempersembahkan cerita masih bulan. Buku terbit mengartikan si pengarang tetap “terbit, belum tenggelam oleh usia atau kebosanan. Buku itu berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan. Pembaca tak usah tergesa mencari gambar bulan. Di kulit muka buku, kita justru melihat ibu mengandung dua anak. Bulan itu ibu? Bulan belum tampak di sampul tapi kita bakal terikat dan terpikat bulan dalam ratusan halaman. Di Indonesia, Sindhunata mungkin pengarang terpenting keranjingan bercerita bulan. Kita tak jemu-jemu turut melanggengkan bulan mula-mula cerita, sebelum mengakui kebenaran sains.
Tokoh bernama Sukrosono (raksasa bajang) sedang dilanda sedih dan merasa tenggelam dalam duka tak bernama. Di hutan, ia menanggungkan nasib ingin terang tapi gelap melanda dengan duka dan kesepian. Sindhunata bercerita: “Di ujung kegelapan ini tampak bulan sedang turun serendah-rendahnya, menghamparkan remang-remang terangnya. Betapa bahagia raksasa bajang ketika ia kembali melihat sinar bulan setelah sekian lama terbenam tanpa jalan keluar dalam kegelapan. Dengan helai-helai sinar bulan, ia mengamati sekelilingnya. Ia mendapati dirinya sedang berdiri di tengah hamparan kembang campaka yang membentang jadi pelataran bulan purnama. Bulan tiba-tiba menjadi penuh, cahayanya memecah kesunyian, dan gugurlah daun-daun malam yang bergemerisik, membangunkan kesepian raksasa bajang.”
Kita melihat peristiwa puitis. Ketakjuban tak mungkin selesai dengan selusin alinea. Sindhunata masih bersabar tak mengumbar bulan cuma di halaman-halaman awal. Peristiwa dialami Sukrosono di hutan Jatirasa membenarkan anggapan: bulan itu perempuan, bulan itu ibu, bulan itu kerinduan, bulan itu kenangan. Pembaca dibuat terharu dalam pertemuan anak dan ibu. Perpisahan dan kegamangan nasib dijawab bulan. Sukrosono merindukan ibu. Perempuan merasa bersalah dan menginginkan pertemuan dengan anak pernah dibuang gara-gara bertubuh dan bertampang jelek. Dua sosok bertemu sulit dalam berbahasa tapi merasa mengerti dengan pelukan dan ciuman. Sindhunata memberi adegan mengharukan: “Merasakan pelukan yang demikian mesra, makin deraslah perempuan itu mencucurkan air matanya. Ia tak dapat berkata-kata, kecuali menciumi pipi raksasa bajang itu dengan tak kalah mesranya.”
Sindhunata bercerita bulan mengacu warisan epos-epos bersemi di Jawa. Ia memasuki jagat cerita telah dialami orang-orang terdahulu menghidupi Mahabharata dan Ramayana. Di Jawa atau Nusantara, epos-epos itu bertumbuh dan bercabang menghasilkan ribuan cerita. Epos sebagai acuan mendapat imbuhan dari pembacaan kitab suci dan sejarah peradaban memungkinkan pembesaran bahasa-sains. Sindhunata belum bermaksud menceritakan bulan sebagai kebenaran-kebenaran rasional. Sekian cerita ingin mengembalikan bulan dalam pengalaman-pengalaman keindahan, keimanan, dan asmara.
Bercerita bulan bukan untuk bualan tapi buaian kesejatian manusia, alam, dan Tuhan. Di khazanah sastra Jawa, kemahiran Sindhunata mengisahkan bulan sudah didahului para pujangga atau penggubah tembang-tembang, sejak ratusan tahun lalu. Di Jawa, bulan itu acuan menimbulkan keberlimpahan cerita untuk terbaca-terdengar atau kenikmatan menembang dalam kesendirian atau kebersamaan. Sindhunata berada di jalan sudah dilewati orang-orang terpukau bulan.
Di buku berjudul Kebudayaan Jawa (1984), Koentjaraningrat menjelaskan pelbagai seni dan sastra mementingkan pengisahan alam-semesta. Bulan menjadi acuan terlanggengkan. Di kalangan priyayi dan petani, bulan ditemukan dalam beragam seni. Di persembahan sastra-sastra lama beralamat keraton atau tetembangan desa, bulan senantiasa menakjubkan dalam ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan keindahan. Bulan pun renungan atau tamsil. Di Jawa, bulan makin berarti dengan kesadaran arsitektur rumah dan tata cara pertanian. Bulan bukan milik orang-orang Jawa saja tapi kepemilikan itu erat.
Sindhunata menuliskan bulan untuk orang-orang masih mau memberi tatapan ketakjuban ketimbang penelantaran akibat peradaban terlalu berubah oleh lampu-lampu dan pemandangan buatan. Di halaman-halaman Anak Bajang Mengayun Bulan, kita menikmati lagi cerita-cerita bergerak lambat untuk nikmat bagi pendamba makna-makna terhubung kesilaman dan epos tak pernah kedaluwarsa.
Kita diminta mengandaikan pengalaman bergejolak tokoh-tokoh dipengaruhi bulan. Sindhunata menuliskan bulan dan nafsu. Kita membaca tanpa sangkaan picisan. Kita mengingat adegan Begawan Swandagni dan Dewi Sokawati di bawah bulan, penentu kehamilan dan kelahiran dua anak berbeda rupa: Sumantri dan Sukrosono. Begawan Swandagni dikutuk salah dan keinginan pengampunan: “Sering, di saat malam sedang indah dengan terang bulannya, ia berjalan sendiri di pelataran Jatisrana. Terputarlah kembali dalam ingatannya, ketika ia melakukan perbuatan asmara, yang membuat nafsunya membara. Ia sangat menikmati nafsunya ketika bercinta dengan Dewi Sokawati pada malam itu, namun mengapa ia menolak buah dari nafsu itu, hingga ia menganggap Sukrosono bukanlah buah dari perbuatan cintanya? Ia menyesali perbuatannya.”
Di bawah bulan, lelaki dan perempuan dalam pemenuhan nafsu. Kenikmatan makin indah dengan terang bulan. Kenikmatan disusul ingkar dan kesalahan. Dewi Sokawati melahirkan Sumantri dan Sukrosono. Sumantri bertampang rupawan. Sukrosono mula-mula dilihat buruk berakibat dibuang atas “perintah” Begawan Swandagni. Derita, keajaiban, dan kutukan perlahan menjadikan cerita terbaca mendebarkan. Sukrosono justru sosok baik, setia, dan berani. Sumantri sering memburu ingin muluk-muluk dan merasa malu memiliki adik Sukrosono.
Di beragam perjalanan dan peristiwa, Sumantri dan Sukrosono bertemu para tokoh berurusan asmara, keluarga, kekuasaan, alam, dan lain-lain. Kita tak mampu memihak dengan pujian mutlak atau mengutuk tokoh pasti salah. Tokoh-tokoh dalam Anak Bajang Mengayun Bulan meminta pembaca tekun mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah, benci-cinta, damai-perang, erat-renggang, suci-kotor, dan lain-lain.
Pembaca biasa dalam dilema-dilema mengartikan peristiwa dan peran tokoh-tokoh. Di buku berjudul Kisah Karna dan Dendam Kita (1999), Mohamad Sobary mengingatkan bahwa epos-epos masih referensi bagi orang-orang Indonesia membincangkan moral, politik, kebenaran, kebahagiaan, dan lain-lain. Penilaian tak mungkin tetap dan mutlak dalam mengerti tokoh-tokoh. Tragedi-tragedi dalam epos memungkinkan pembaca mengetahui nasib dan keajaiban tercipta. Epos menguak sifat-sifat manusia sering berpasangan tapi terbahasakan tak gamblang. Kebiasaan orang-orang Jawa mengisahkan tokoh-tokoh dalam epos itu pengajaran menjadi manusia berbarengan menilik ulang sifat-sifat mengejawantah tanpa mengabaikan takdir terselenggara sulit ditebak.
Usaha mengerti hal-hal sulit absolut mendapat pijakan ajaran dari Semar. Sindhunata menghadapkan Sukrosono dengan petuah Semar. Petuah bersuasanakan malam berbulan. Kita membaca: “Sukrosono berkata lirih. Dan jatuhlah air matanya. Kesedihannya yang terdalam ternyata bisa memanggil bulan… Ketika bulan menjadi seluruhnya terang, tak satu pun kesedihan tertinggal. Kesedihan Sukrosono sudah hilang ditelan bulan. Sukrosono pun dibawamasuk ke dalam samar…” Bulan membawakan pesan Semar: “Anakku, akan datang saatnya kau harus hidup dalam sejatinya samar. Di sana kau akan hilang karena harus memberikan seluruh hidupmu dalam keikhlasan. Berbahagialah kau bila datang saatnya kau benar-benar dituntun oleh sejatinya samar.”
Selama puluhan tahun, Sindhunata rajin menghadirkan Semar dan petuah-petuah melalui cerita dan esai. Kita makin mengerti jagat kesusastraan dan keintelektualan Sindhunata memang berakar di epos-epos. Ia pernah menekuni filsafat Barat tapi membawa ke gejolak-gejolak Jawa dan religius dalam persembahan tulisan-tulisan. Semar itu tokoh dan pokok.
Sindhunata tak sendirian mementingkan Semar. Di majalah Jakarta Jakarta, 25-31 Mei 1996, Seno Gumira Ajidarma mengabarkan: “Citra tokoh Semar menjadi bagian hidup sehari-hari.” Di Jawa, Semar itu panutan. Ia dikagumi dengan segala petuah jarang gamblang. Orang-orang justru ingin mengerti maksud Semar dalam samar tak berkesudahan. Semar menghuni gubahan sastra di Jawa, sejak ratusan tahun lalu. Pada suatu masa, Sindhunata mengisahkan dalam buku tipis berjudul Semar Mencari Raga. Pembacaan sosok Semar oleh Seno Gumira Ajidarma mengesankan Semar itu ada dan datang dalam situasi-situasi darurat. Di buku Anak Bajang Mengayun Bulan, Sindhunata menghadirkan Semar memang saat darurat. Semar sebagai “jawaban” atau “peringatan”.
Tokoh-tokoh diceritakan Sindhunata dalam babak awal sampai akhir memiliki derajat-derajat perubahan nasib kadang mengejutkan. Pembaca dituntun mengetahui kedirian tokoh tanpa tergesa memberi penilaian paripurna. “Pluralisme moral menyelubungi seluruh jagat wayang,” tulis Benedict Anderson dalam buku berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2003). Para penikmat atau penafsir epos-epos mewujud dalam sastra dan pentas di Jawa menanggungkan ambiguitas moral saat mengikuti biografi para tokoh.
Sindhunata membuktikan dengan menghadirkan tokoh-tokoh tak pasti atau selalu benar dan salah. Konon, semua itu bergerak di jalan takdir. Sumantri sering berlaku bohong dan kejam tapi terikat “kebenaran” lambat terperoleh. Sukrosono menuruti kebaikan-kebaikan tapi terpencil di tatanan hidup. Dua bersaudara terbaca dalam pertentangan dan perbedaan. Kita teledor atau salah membaca kadang gagal menemukan ikatan-ikatan berdalil kebaikan bersama.
Pertemuan Sumantri-Sukrosono setelah terpisah lama menimbulkan keinginan bersama dan keberjarakkan. Sindhunata mengajukan Sumantri sebagai pihak dirundung bimbang dan membuat kesalahan. Pada saat berdua dengan Sukrosono, ia menampilkan diri sebagai sosok baik dan memberi kasih. Sumantri justru dalam “permainan” menghasilkan luka-luka bakal tersesali. Pembaca diminta tak gegabah mengecam dan prihatin: “Seperti dulu, setiap kali mendengar suara kakaknya, Sukrosono tak menunggu lama untuk bisa memejamkan matanya. Ia tertidur di pangkuan Sumantri. Ia bermimpi naik ke bulan. Di sana, ia melihat bulan, tidak hanya satu tapi seribu. Ia bisa bermain dengan sesukanya. Dilemparnya bulan bagaikan bulan. Dan ia merasa tanggallah satu per satu kesedihan-kesedihannya.” Keikhlasan dan kesetiaan Sukrosono kepada Sumantri itu kesejatian. Sumantri tersadarkan bahwa Sukrosono “berwajah bulan purnama”.
Urusan asmara dan keluarga disahkan bulan bertambah dengan kekuasaan. Sindhunata fasih mengisahkan kekuasaan sering sulit terpahamkan dalam logika-politik modern. Epos-epos berisi perang, rebutan kekuasaan, pemujaan raja, dendam bersambung, sengketa berpusat perempuan, dan lain-lain. Anak Bajang Mengayun Bulan pun mengandung girang dan derita akibat kekuasaan. Sindhunata tak lupa tetap menautkan kekuasaan dengan bulan.
Sumantri memenuhi hasrat menjadi satria, mengabdi kepada Raja Maespati (Prabu Arjunasasrabahu). Raja itu menginginkan Dewi Citrawati saat diperebutkan seribu raja melalui perang terlalu membingungkan. Sumantri tampil sebagai “pemenang” dalam menunaikan titah Prabu Arjunasasrabahu. Dewi Citrawati bakal termiliki Prabu Arjunasasrabahu atas pengabdian Sumantri dalam perang mengalahkan para raja.
Raihan-raihan Sumantri dalam kekuasaan ditentukan keberanian dan kebaikan Sukrosono. Sosok tak tampak bagi orang-orang telanjur mengagumi Sumantri. Pada saat menuruti perintah Prabu Sasrabahu agar menghadirkan Taman Sriwedari di Maespati atas permintaan Dewi Citrawati, Sumantri merasa dihadapkan kemustahilan. Penjawab dan pemberi bukti justru Sukrosono. Ia berhasil memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Tokoh di muka untuk membuktikan di hadapan raja dan Dewi Citrawati tentu Sumantri.
Tata cara mewujudkan Taman Sriwedari penuh misteri. Sukrosono berpesan kepada Sumantri: “Tunggulah sampai malam tiba, di mana akan datang bulan purnama. Mintalah mereka datang ke dataran luas yang ada di Maespati ini. Taruhlah kuncup bunga Wijayakusuma ini di telapak tanganmu, lalu bersemadilah!” Peristiwa akbar tergelar. Taman Sriwedari menimbulkan ketakjuban. Pembaca diingatkan pemenuhan hasrat demi asmara dan kekuasaan dipengaruhi bulan. Dewi Citrawati menjadi permaisuri. Perempuan cantik jelita itu bersanding Prabu Arjunasasrabahu. Sumantri menjadi sosok “penentu” dalam pemenuhan ingin Dewi Citrawati dan kehormatan raja.
Sumantri sulit mengelak dari keinginan memiliki Dewi Citrawati tapi mengerti posisi sebagai satria di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Pada suatu hari, hasrat asmara itu mewujud. Di Taman Sriwedari, Sumantri dan Dewi Citrawati berdua dalam kerinduan dan berahi. Percakapan mereka mengenai bulan. Kita mengerti bulan sebagai tamsil perasaan dan keinginan memadu kasih.
“Bulan sabit itu masih cukup terang bagi Sumantri dan Dewi Citrawati,” tulis Sindhunata menjelang perbuatan asmara dua tokoh. “Sumantri, akankah kauberikan padaku belaian bulan yang kunantikan itu,” pinta Dewi Citrawati. Di bawah bulan, mereka mewujudkan kenikmatan.
Sindhunata mengisahkan: “… Dewi Citrawati demikian cantik ketika ia merintih di ujung berahinya. Sumantri memberikan apa yang diminta Dewi Citrawati. Langit tampak berjumbai dengan helai-helai sinar bulan. Dan Dewi Citrawati merasa seperti dibelai dengan belaian bulan. Pada saat itulah ia merasa tubuhnya meledak dalam kepuasan, seperti bunga Wijayakusuma yang mekar karena dibelai cahaya bulan.” Pergumulan berahi mereka dalam pertaruhan kekuasaan dan restu bulan. Maespati sedang bergolak berahi: Sumantri-Dewi Citrawati. Di Maespati, bulan sering memberi pengaruh lakon kekuasaan, tak sekadar kenikmati berahi.
Khatam menikmati Anak Bajang Mengayun Bulan, kita mengerti ketekunan Sindhunata mengisahkan segala dengan menghadirkan bulan. Ia mungkin berlebihan menaruh bulan dalam merestui dan membenarkan pelbagai kejadian. Kita maklum bulan memang bergelimang cerita. Buku sudah ditutup meski bulan tak pernah redup.
Kita mulai berpikiran ikhtiar Sindhunata dalam pengisahan dan penjelasan. Di buku berjudul Bayang-Bayang Ratu Adil (1999), kita mengingat penjelasan: “Dalam wayang, kebaikan itu ‘diputihkan’ dan kejahatan ‘dihitamkan’. Sebagaimana putih tak pernah bisa bercampur dengan hitam, demikian pula kebaikan itu senantiasa terpisah dari kejahatan. Dan sebagaimana kebaikan selalu menang, demikian pula kebaikan selalu kalah.” Penjelasan itu samar saat kita membaca pengisahan Anak Bajang Mengayun Bulan. Buku tebal tak memudahkan pembaca sadar hitam-putih. Samar dalam penafsiran makin menguat saat pembaca selalu bertemu bulan. Begitu.
Judul : Anak Bajang Mengayun Bulan
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : 2022
Tebal : 556 halaman
ISBN : 978 602 06 5603 8
(hdr)