Bulan: Terikat dan Terpikat

Sabtu, 14 Mei 2022 - 07:53 WIB
loading...
A A A
Bercerita bulan bukan untuk bualan tapi buaian kesejatian manusia, alam, dan Tuhan. Di khazanah sastra Jawa, kemahiran Sindhunata mengisahkan bulan sudah didahului para pujangga atau penggubah tembang-tembang, sejak ratusan tahun lalu. Di Jawa, bulan itu acuan menimbulkan keberlimpahan cerita untuk terbaca-terdengar atau kenikmatan menembang dalam kesendirian atau kebersamaan. Sindhunata berada di jalan sudah dilewati orang-orang terpukau bulan.

Di buku berjudul Kebudayaan Jawa (1984), Koentjaraningrat menjelaskan pelbagai seni dan sastra mementingkan pengisahan alam-semesta. Bulan menjadi acuan terlanggengkan. Di kalangan priyayi dan petani, bulan ditemukan dalam beragam seni. Di persembahan sastra-sastra lama beralamat keraton atau tetembangan desa, bulan senantiasa menakjubkan dalam ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan keindahan. Bulan pun renungan atau tamsil. Di Jawa, bulan makin berarti dengan kesadaran arsitektur rumah dan tata cara pertanian. Bulan bukan milik orang-orang Jawa saja tapi kepemilikan itu erat.

Sindhunata menuliskan bulan untuk orang-orang masih mau memberi tatapan ketakjuban ketimbang penelantaran akibat peradaban terlalu berubah oleh lampu-lampu dan pemandangan buatan. Di halaman-halaman Anak Bajang Mengayun Bulan, kita menikmati lagi cerita-cerita bergerak lambat untuk nikmat bagi pendamba makna-makna terhubung kesilaman dan epos tak pernah kedaluwarsa.

Kita diminta mengandaikan pengalaman bergejolak tokoh-tokoh dipengaruhi bulan. Sindhunata menuliskan bulan dan nafsu. Kita membaca tanpa sangkaan picisan. Kita mengingat adegan Begawan Swandagni dan Dewi Sokawati di bawah bulan, penentu kehamilan dan kelahiran dua anak berbeda rupa: Sumantri dan Sukrosono. Begawan Swandagni dikutuk salah dan keinginan pengampunan: “Sering, di saat malam sedang indah dengan terang bulannya, ia berjalan sendiri di pelataran Jatisrana. Terputarlah kembali dalam ingatannya, ketika ia melakukan perbuatan asmara, yang membuat nafsunya membara. Ia sangat menikmati nafsunya ketika bercinta dengan Dewi Sokawati pada malam itu, namun mengapa ia menolak buah dari nafsu itu, hingga ia menganggap Sukrosono bukanlah buah dari perbuatan cintanya? Ia menyesali perbuatannya.”

Di bawah bulan, lelaki dan perempuan dalam pemenuhan nafsu. Kenikmatan makin indah dengan terang bulan. Kenikmatan disusul ingkar dan kesalahan. Dewi Sokawati melahirkan Sumantri dan Sukrosono. Sumantri bertampang rupawan. Sukrosono mula-mula dilihat buruk berakibat dibuang atas “perintah” Begawan Swandagni. Derita, keajaiban, dan kutukan perlahan menjadikan cerita terbaca mendebarkan. Sukrosono justru sosok baik, setia, dan berani. Sumantri sering memburu ingin muluk-muluk dan merasa malu memiliki adik Sukrosono.

Di beragam perjalanan dan peristiwa, Sumantri dan Sukrosono bertemu para tokoh berurusan asmara, keluarga, kekuasaan, alam, dan lain-lain. Kita tak mampu memihak dengan pujian mutlak atau mengutuk tokoh pasti salah. Tokoh-tokoh dalam Anak Bajang Mengayun Bulan meminta pembaca tekun mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah, benci-cinta, damai-perang, erat-renggang, suci-kotor, dan lain-lain.

Pembaca biasa dalam dilema-dilema mengartikan peristiwa dan peran tokoh-tokoh. Di buku berjudul Kisah Karna dan Dendam Kita (1999), Mohamad Sobary mengingatkan bahwa epos-epos masih referensi bagi orang-orang Indonesia membincangkan moral, politik, kebenaran, kebahagiaan, dan lain-lain. Penilaian tak mungkin tetap dan mutlak dalam mengerti tokoh-tokoh. Tragedi-tragedi dalam epos memungkinkan pembaca mengetahui nasib dan keajaiban tercipta. Epos menguak sifat-sifat manusia sering berpasangan tapi terbahasakan tak gamblang. Kebiasaan orang-orang Jawa mengisahkan tokoh-tokoh dalam epos itu pengajaran menjadi manusia berbarengan menilik ulang sifat-sifat mengejawantah tanpa mengabaikan takdir terselenggara sulit ditebak.

Usaha mengerti hal-hal sulit absolut mendapat pijakan ajaran dari Semar. Sindhunata menghadapkan Sukrosono dengan petuah Semar. Petuah bersuasanakan malam berbulan. Kita membaca: “Sukrosono berkata lirih. Dan jatuhlah air matanya. Kesedihannya yang terdalam ternyata bisa memanggil bulan… Ketika bulan menjadi seluruhnya terang, tak satu pun kesedihan tertinggal. Kesedihan Sukrosono sudah hilang ditelan bulan. Sukrosono pun dibawamasuk ke dalam samar…” Bulan membawakan pesan Semar: “Anakku, akan datang saatnya kau harus hidup dalam sejatinya samar. Di sana kau akan hilang karena harus memberikan seluruh hidupmu dalam keikhlasan. Berbahagialah kau bila datang saatnya kau benar-benar dituntun oleh sejatinya samar.”

Selama puluhan tahun, Sindhunata rajin menghadirkan Semar dan petuah-petuah melalui cerita dan esai. Kita makin mengerti jagat kesusastraan dan keintelektualan Sindhunata memang berakar di epos-epos. Ia pernah menekuni filsafat Barat tapi membawa ke gejolak-gejolak Jawa dan religius dalam persembahan tulisan-tulisan. Semar itu tokoh dan pokok.

Sindhunata tak sendirian mementingkan Semar. Di majalah Jakarta Jakarta, 25-31 Mei 1996, Seno Gumira Ajidarma mengabarkan: “Citra tokoh Semar menjadi bagian hidup sehari-hari.” Di Jawa, Semar itu panutan. Ia dikagumi dengan segala petuah jarang gamblang. Orang-orang justru ingin mengerti maksud Semar dalam samar tak berkesudahan. Semar menghuni gubahan sastra di Jawa, sejak ratusan tahun lalu. Pada suatu masa, Sindhunata mengisahkan dalam buku tipis berjudul Semar Mencari Raga. Pembacaan sosok Semar oleh Seno Gumira Ajidarma mengesankan Semar itu ada dan datang dalam situasi-situasi darurat. Di buku Anak Bajang Mengayun Bulan, Sindhunata menghadirkan Semar memang saat darurat. Semar sebagai “jawaban” atau “peringatan”.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1693 seconds (0.1#10.140)