Pendidikan yang Kita Rindukan
loading...
A
A
A
Totok Amin Soefijanto
Dosen dan Peneliti Kebijakan Publik Universitas Paramadina dan UNJ
USAIpandemi, situasi pendidikan kita tidak baik-baik saja. Walaupun sudah diantisipasi, tetap saja kondisi pendidikan kita lumayan berat. Benar kegiatan pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai normal sampai 100%, tetapi unjuk kinerjanya di sisi anak didik dan tenaga kependidikan masih belum sesuai harapan.
Menurut Kajian Akademik yang diterbitkan Kemendikbudristek mengenai Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran (edisi 1, Februari 2022), anak didik kita mengalami ketertinggalan pembelajaran (learning loss) sekitar lima bulan pembelajaran dengan Kurikulum 2013; kalau diukur dari capaian numerasi kehilangan sekitar 40 poin (seharusnya 522 tetapi hanya tercapai 482) dan dari capaian literasi kehilangan 51 poin (seharusnya 583, tercapai hanya 532). Beruntung, menurut kajian yang sama, adanya Kurikulum Darurat selama 4 bulan dapat mengurangi ketertinggalan tadi masing-masing capaian menjadi hanya kehilangan 5 poin dan 13 poin saja.
Walaupun demikian, pendidikan kita sudah masuk tahap kritis sejak sebelum ada pandemi. Studi RISE dan SMERU dalam laporan bertajuk "Indonesian Children: In School but Not Learning" yang mengamati kinerja pendidikan pada periode 2000-2014 menyimpulkan capaian belajar cenderung menurun dan hanya sedikit sekali peningkatan kompetensi murid antar jenjang kelas.
Kalau diamati lagi dari hasil tes PISA 2018, maka menurut pengamat pendidikan Najelaa Shihab, skornya cenderung mengalami penurunan. Secara umum, menurut Najelaa, anak didik usia 15 tahun yang mencapai kompetensi literasi minimal hanya di kisaran 30% pada membaca, 29% pada matematika, dan 40% pada sains.
Artinya, kebanyakan anak didik kita hanya bisa membaca bacaan sederhana, tanpa bisa memahami maknanya. Menurut Laporan Bank Dunia dalam "The Promise of Education in Indonesia" (2020), anak Indonesia memang memiliki masa persekolahan (years of schooling) sampai 12,4 tahun, tetapi masa pembelajarannya (years of learning) hanya 7,8 tahun. Kinerja yang menurun ini dikonfirmasi juga oleh hasil Ujian Nasional pada saat itu.
Pendidikan kita sedang memasuki kondisi gawat darurat. Kita tidak bisa berdalih bahwa negara-negara lain juga mengalami penurunan akibat pandemi yang berkepanjangan sampai 2 tahun ini. Persoalannya, kondisi kita sudah di bawah sebelum pandemi, kemudian makin terpuruk sesudah dihantam pandemi ini. Masa depan anak didik kita yang juga menjadi masa depan bangsa ini akan menjadi kian suram bila kita semua tidak mengambil langkah serius dalam mengatasi masalah mutu pendidikan ini.
Kebetulan saat ini pemerintah sedang menyiapkan perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional yang memang sudah ketinggalan jaman. Terbit tahun 2003 dan efektif tahun 2005, UU Sisdiknas ini konon akan diganti dengan sekaligus mengkonsolidasikan dua UU lainnya, yaitu UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Niat yang sangat mulia dan ambisius, tetapi kita semua perlu mendukungnya dengan terlibat secara aktif menguji dari semua aspek agar landasan hukum yang penting di sektor pendidikan ini dapat berjalan efektif dalam mengatasi berbagai masalah pendidikan kita saat ini.
Senyampang para wakil rakyat dan pemerintah sedang berkutat "mengunyah" pasal demi pasal RUU Sisdiknas tersebut, ada baiknya kita semua memberikan usulan yang konstruktif ke dalam prosesnya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam sektor pendidikan kita yang saat ini relatif masih tercecer, sehingga mungkin saja menjadi penyebab kinerja pendidikan kita hanya jalan di tempat.
Pertama, kompetensi guru dan tenaga kependidikan yang kurang dijaga proses peningkatannya. Program uji kompetensi guru yang direncanakan berjalan rutin sejak 2012, akhirnya dihentikan pada 2015; kecuali untuk wilayah DKI Jakarta yang masih dijalankan pada 2019 untuk seluruh guru. Uji kompetensi dan pelatihan profesi berkelanjutan (continuous professional development) adalah dua mata uang yang saling berkaitan. Pelatihan tanpa mengukur kekurangan setiap guru itu seperti menebak kucing dalam karung: sama meongnya tapi tidak tahu kondisi sebenarnya.
Dosen dan Peneliti Kebijakan Publik Universitas Paramadina dan UNJ
USAIpandemi, situasi pendidikan kita tidak baik-baik saja. Walaupun sudah diantisipasi, tetap saja kondisi pendidikan kita lumayan berat. Benar kegiatan pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai normal sampai 100%, tetapi unjuk kinerjanya di sisi anak didik dan tenaga kependidikan masih belum sesuai harapan.
Menurut Kajian Akademik yang diterbitkan Kemendikbudristek mengenai Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran (edisi 1, Februari 2022), anak didik kita mengalami ketertinggalan pembelajaran (learning loss) sekitar lima bulan pembelajaran dengan Kurikulum 2013; kalau diukur dari capaian numerasi kehilangan sekitar 40 poin (seharusnya 522 tetapi hanya tercapai 482) dan dari capaian literasi kehilangan 51 poin (seharusnya 583, tercapai hanya 532). Beruntung, menurut kajian yang sama, adanya Kurikulum Darurat selama 4 bulan dapat mengurangi ketertinggalan tadi masing-masing capaian menjadi hanya kehilangan 5 poin dan 13 poin saja.
Walaupun demikian, pendidikan kita sudah masuk tahap kritis sejak sebelum ada pandemi. Studi RISE dan SMERU dalam laporan bertajuk "Indonesian Children: In School but Not Learning" yang mengamati kinerja pendidikan pada periode 2000-2014 menyimpulkan capaian belajar cenderung menurun dan hanya sedikit sekali peningkatan kompetensi murid antar jenjang kelas.
Kalau diamati lagi dari hasil tes PISA 2018, maka menurut pengamat pendidikan Najelaa Shihab, skornya cenderung mengalami penurunan. Secara umum, menurut Najelaa, anak didik usia 15 tahun yang mencapai kompetensi literasi minimal hanya di kisaran 30% pada membaca, 29% pada matematika, dan 40% pada sains.
Artinya, kebanyakan anak didik kita hanya bisa membaca bacaan sederhana, tanpa bisa memahami maknanya. Menurut Laporan Bank Dunia dalam "The Promise of Education in Indonesia" (2020), anak Indonesia memang memiliki masa persekolahan (years of schooling) sampai 12,4 tahun, tetapi masa pembelajarannya (years of learning) hanya 7,8 tahun. Kinerja yang menurun ini dikonfirmasi juga oleh hasil Ujian Nasional pada saat itu.
Pendidikan kita sedang memasuki kondisi gawat darurat. Kita tidak bisa berdalih bahwa negara-negara lain juga mengalami penurunan akibat pandemi yang berkepanjangan sampai 2 tahun ini. Persoalannya, kondisi kita sudah di bawah sebelum pandemi, kemudian makin terpuruk sesudah dihantam pandemi ini. Masa depan anak didik kita yang juga menjadi masa depan bangsa ini akan menjadi kian suram bila kita semua tidak mengambil langkah serius dalam mengatasi masalah mutu pendidikan ini.
Kebetulan saat ini pemerintah sedang menyiapkan perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional yang memang sudah ketinggalan jaman. Terbit tahun 2003 dan efektif tahun 2005, UU Sisdiknas ini konon akan diganti dengan sekaligus mengkonsolidasikan dua UU lainnya, yaitu UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Niat yang sangat mulia dan ambisius, tetapi kita semua perlu mendukungnya dengan terlibat secara aktif menguji dari semua aspek agar landasan hukum yang penting di sektor pendidikan ini dapat berjalan efektif dalam mengatasi berbagai masalah pendidikan kita saat ini.
Senyampang para wakil rakyat dan pemerintah sedang berkutat "mengunyah" pasal demi pasal RUU Sisdiknas tersebut, ada baiknya kita semua memberikan usulan yang konstruktif ke dalam prosesnya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam sektor pendidikan kita yang saat ini relatif masih tercecer, sehingga mungkin saja menjadi penyebab kinerja pendidikan kita hanya jalan di tempat.
Pertama, kompetensi guru dan tenaga kependidikan yang kurang dijaga proses peningkatannya. Program uji kompetensi guru yang direncanakan berjalan rutin sejak 2012, akhirnya dihentikan pada 2015; kecuali untuk wilayah DKI Jakarta yang masih dijalankan pada 2019 untuk seluruh guru. Uji kompetensi dan pelatihan profesi berkelanjutan (continuous professional development) adalah dua mata uang yang saling berkaitan. Pelatihan tanpa mengukur kekurangan setiap guru itu seperti menebak kucing dalam karung: sama meongnya tapi tidak tahu kondisi sebenarnya.