Mitigasi Pengawasan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024
loading...
A
A
A
Terkait SIAK, data dalam sistem administrasi kependudukan ini bisa diperbaharui jika ada laporan dari masyarakat jika ada perubahan administrasi kependudukan terkait dirinya, keluarga atau masyarakat dilingkungannya. Perubahan data kependudukan ini meliputi data kematian atau pindah domisili. Permasalahannya kesadaran masyarakat untuk melaporkan pada Dispendukcapil terkait ini tidak merata diseluruh wilayah di Indonesia. Hal ini juga berakibat signifikan pada kwalitas data SIAK.
Kedua,potensi sengketa. Sengketa proses pemilu dapat terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara (KPU) atau antara peserta dengan peserta.
Pada tahapan pencalonan, potensi sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu diprediksi tinggi. Objek dari sengketa adalah berita acara atau surat keputusan dari KPU. Potensi ini terjadi karena jumlah kontestan yang banyak serta tahapan pencalonan menjadi tahapan pintu masuk bagi partai politik, calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden untuk menjadi peserta pemilu tahun 2024.
Ketiga,potensi logistik /surat suara tertukar dan cuaca yang susah diprediksi.Keempat,potensi suara tidak sah tinggi. Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019, suara sah 154.257.601 dan suara tidak sah 3.754.905 (2,37%). Jumlah ini meningkat empat kali lipat pada pada pemilu legislatif suara sah 139.971.260 dan suara tidak sah 17.503.953.
Faktor penyebabnya yaitu belum maksimalnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu dan partai politik, rumitnya desain surat suara dan pengetahuan dari pemilih masih jauh dari yang diharapkan.
Jika ketiga faktor ini pada pemilu dan pilkada serentak 2024 masih ada, maka potensi kerawanan di tahapan ini diprediksi tinggi.
Kelima,inklusivitas pemilu. Minimnya keterlibatan disabilitas dalam penyelenggaraan pemilu, kurangnya pemahaman dari penyelenggara terhadap kebutuhan dan perlakuan terhadap disabilitas karena isu disabilitas belum menjadi agenda yang diutamakan dalam bintek penyelenggara pemilu.
Selain permasalahan di atas, dari sisi Bawaslu ada potensi permasalahan yang juga harus disikapi secara tepat yaitu berkaitan minimnya minat masyarakat untuk bergabung di jajaran badanad hocBadan Pengawas pemilu. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 117 Ayat 1 B UU No 7 Tahun 2017
Usia Minimal 25 tahun bagi calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Dan Pengawas TPS.
Batasan usia ini lebih tinggi jika dibandingkan batasan usia minimal badanad hocKomisi Pemilihan Umum yang diatur dalam Pasal 72
yaitu minimal 17 Tahun.
Akibat ketentuan ini, pada pilkada serentak tahun 2018 dan Pemilu tahun 2019 terjadi perpanjangan pendaftaran badanad hocBawaslu di beberapa wilayah di Indonesia. Di Jawa Tengah terjadi perpanjangan Panwaslu kecamatan di 335 kecamatan dan perpanjangan Panwaslu kelurahan 2.726 desa/kelurahan.
Kedua,potensi sengketa. Sengketa proses pemilu dapat terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara (KPU) atau antara peserta dengan peserta.
Pada tahapan pencalonan, potensi sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu diprediksi tinggi. Objek dari sengketa adalah berita acara atau surat keputusan dari KPU. Potensi ini terjadi karena jumlah kontestan yang banyak serta tahapan pencalonan menjadi tahapan pintu masuk bagi partai politik, calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden untuk menjadi peserta pemilu tahun 2024.
Ketiga,potensi logistik /surat suara tertukar dan cuaca yang susah diprediksi.Keempat,potensi suara tidak sah tinggi. Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019, suara sah 154.257.601 dan suara tidak sah 3.754.905 (2,37%). Jumlah ini meningkat empat kali lipat pada pada pemilu legislatif suara sah 139.971.260 dan suara tidak sah 17.503.953.
Faktor penyebabnya yaitu belum maksimalnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu dan partai politik, rumitnya desain surat suara dan pengetahuan dari pemilih masih jauh dari yang diharapkan.
Jika ketiga faktor ini pada pemilu dan pilkada serentak 2024 masih ada, maka potensi kerawanan di tahapan ini diprediksi tinggi.
Kelima,inklusivitas pemilu. Minimnya keterlibatan disabilitas dalam penyelenggaraan pemilu, kurangnya pemahaman dari penyelenggara terhadap kebutuhan dan perlakuan terhadap disabilitas karena isu disabilitas belum menjadi agenda yang diutamakan dalam bintek penyelenggara pemilu.
Selain permasalahan di atas, dari sisi Bawaslu ada potensi permasalahan yang juga harus disikapi secara tepat yaitu berkaitan minimnya minat masyarakat untuk bergabung di jajaran badanad hocBadan Pengawas pemilu. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 117 Ayat 1 B UU No 7 Tahun 2017
Usia Minimal 25 tahun bagi calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Dan Pengawas TPS.
Batasan usia ini lebih tinggi jika dibandingkan batasan usia minimal badanad hocKomisi Pemilihan Umum yang diatur dalam Pasal 72
yaitu minimal 17 Tahun.
Akibat ketentuan ini, pada pilkada serentak tahun 2018 dan Pemilu tahun 2019 terjadi perpanjangan pendaftaran badanad hocBawaslu di beberapa wilayah di Indonesia. Di Jawa Tengah terjadi perpanjangan Panwaslu kecamatan di 335 kecamatan dan perpanjangan Panwaslu kelurahan 2.726 desa/kelurahan.