Mitigasi Pengawasan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024

Sabtu, 23 April 2022 - 10:43 WIB
loading...
Mitigasi Pengawasan...
Nining Susanti. FOTO/Dok SINDO
A A A
Nining Susanti
Anggota Bawaslu Kota Semarang

Dilantiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2022-20027 pada 12 April lalu seolah memberikan oase bagi publik, di tengah santernya isu penundaan pemilu dan pilkada serentak 2024.

Pelantikan ini setidaknya memberikan harapan, jadwal dan tahapan pemilu dan pilkada akan segera ditetapkan oleh KPU, sehingga memberi kepastian hukum penyelenggaraan pemilu dan pemilihan terumit dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Dalam perspektif pengawasan, mitigasi pengawasan pemilu dan pilkada 2024 jugaurgentsegera dilakukan. Mitigasi pengawasan dimaknai sebagai upaya untuk mendeteksi potensi kerawanan dalam proses pengawasan pemilu dan pemilihan, tujuanya untuk memaksimalkan kerja-kerja pengawasan dan meminimalisasi potensi pelanggaran dalam setiap tahapan.

Potensi Kerawanan
Penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak yang diselenggarakan pada tahun yang sama yakni di 2024, memunculkan beberapa potensi kerawanan dalam tiap tahapannya, yaitu;Pertama,data pemilih. Di negara-negara penganut sistem demokrasi, dikenal setidaknya tiga cara untuk memutakhirkan data pemilih.Periodic List,metode pendaftaran pemilih yang disusun secara periodik atau hanya pada setiap pemilu/pemilihan dan berakhir ketika tahapan pemilu/pemilihan selesai. Metode ini di Indonesia diterapkan pada tahun 1955-2004.

Secara umum metode ini banyak dijalankan di negara-negara berkembang. YakniCivil Registry List, metode pendaftaran pemilih yang disusun berdasarkan basis data kependudukan pencatatan sipil untuk mendata nama, alamat kewarganegaraan, umur dan nomor identitas. Hal Ini diterapkan di Indonesia pada Tahun 2005-2015.

KemudianContinuous List, merupakan metode pendaftaran data pemilih yang dilaksanakan dengan menyimpan data pemilih dan terus diperbarui secara berkelanjutan. Di Indonesia, metode ini diterapkan sejak 2017 hingga sekarang.

Berdasarkan informasi KPU yang disampaikan pada saat uji publik draf Peraturan KPU tentang pemutakhiran data pemilih, data pemilih yang digunakan untuk pemilu/pemilihan serentak tahun 2024 merupakan sinkronisasi daftar pemilih berkelanjutan (DPB) dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang disusun oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil (Dispendukcapil)

Metode ini merupakan langkah progresif dari KPU untuk menyajikan data pemilih yang valid. Namun, tetap ada potensi kerawanan yang perlu diwaspadai, yaitu kualitas DPB dan kualitas data SIAK.

Dalam penyusunan DPB suplai data yang digunakan KPU Kabupaten/Kota berasal dari masukan Bawaslu, masyarakat, Dispendukcapil dan dinas-dinas terkait serta berasal dari aplikasi DPB yang dibuat oleh KPU Kabupaten/kota. Bagi KPU Kabupaten/Kota yang dalam penyusunan DPB setiap bulannya mendapat banyak masukan data maka kualitas DPB bisa diandalkan. Namun, bagi yang sebaliknya masukan data dari eksternal dan internal minim maka kualitas DPB perlu diwaspadai.

Terkait SIAK, data dalam sistem administrasi kependudukan ini bisa diperbaharui jika ada laporan dari masyarakat jika ada perubahan administrasi kependudukan terkait dirinya, keluarga atau masyarakat dilingkungannya. Perubahan data kependudukan ini meliputi data kematian atau pindah domisili. Permasalahannya kesadaran masyarakat untuk melaporkan pada Dispendukcapil terkait ini tidak merata diseluruh wilayah di Indonesia. Hal ini juga berakibat signifikan pada kwalitas data SIAK.

Kedua,potensi sengketa. Sengketa proses pemilu dapat terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara (KPU) atau antara peserta dengan peserta.

Pada tahapan pencalonan, potensi sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu diprediksi tinggi. Objek dari sengketa adalah berita acara atau surat keputusan dari KPU. Potensi ini terjadi karena jumlah kontestan yang banyak serta tahapan pencalonan menjadi tahapan pintu masuk bagi partai politik, calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden untuk menjadi peserta pemilu tahun 2024.

Ketiga,potensi logistik /surat suara tertukar dan cuaca yang susah diprediksi.Keempat,potensi suara tidak sah tinggi. Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019, suara sah 154.257.601 dan suara tidak sah 3.754.905 (2,37%). Jumlah ini meningkat empat kali lipat pada pada pemilu legislatif suara sah 139.971.260 dan suara tidak sah 17.503.953.

Faktor penyebabnya yaitu belum maksimalnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu dan partai politik, rumitnya desain surat suara dan pengetahuan dari pemilih masih jauh dari yang diharapkan.

Jika ketiga faktor ini pada pemilu dan pilkada serentak 2024 masih ada, maka potensi kerawanan di tahapan ini diprediksi tinggi.

Kelima,inklusivitas pemilu. Minimnya keterlibatan disabilitas dalam penyelenggaraan pemilu, kurangnya pemahaman dari penyelenggara terhadap kebutuhan dan perlakuan terhadap disabilitas karena isu disabilitas belum menjadi agenda yang diutamakan dalam bintek penyelenggara pemilu.

Selain permasalahan di atas, dari sisi Bawaslu ada potensi permasalahan yang juga harus disikapi secara tepat yaitu berkaitan minimnya minat masyarakat untuk bergabung di jajaran badanad hocBadan Pengawas pemilu. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 117 Ayat 1 B UU No 7 Tahun 2017
Usia Minimal 25 tahun bagi calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Dan Pengawas TPS.

Batasan usia ini lebih tinggi jika dibandingkan batasan usia minimal badanad hocKomisi Pemilihan Umum yang diatur dalam Pasal 72
yaitu minimal 17 Tahun.

Akibat ketentuan ini, pada pilkada serentak tahun 2018 dan Pemilu tahun 2019 terjadi perpanjangan pendaftaran badanad hocBawaslu di beberapa wilayah di Indonesia. Di Jawa Tengah terjadi perpanjangan Panwaslu kecamatan di 335 kecamatan dan perpanjangan Panwaslu kelurahan 2.726 desa/kelurahan.

Agar fenomena itu tidak terulang, solusi terkait dalam penyebaran informasi rekruitmen badanad hocBawaslu untuk pemilu dan Pilkada 2024 harus disertai dengan pembentukan opini publik bahwa seleksi ini merupakan seleksi yang terbuka, fair dan inklusif. Hal ini penting untuk menghapus stigma bahwa yang akan terpilih adalah panwaslu kecamatan dan panwaslu kelurahan yang sebelumnya sudah pernah bergabung pada pemilu/pilkada sebelumnya.

Selanjutnya, Bawaslu kabupaten/Kota mulai saat ini menyiapkan data base masyarakat yang pernah terlibat dalam forum sosialiasi pengawasan partisipatif Bawaslu minimal dari tahun 2018-2021. Data base ini berguna untuk penyebaran informasi secara massif.

Pemilu dan Pilkada serentak 2024, merupakan perhelatan demokrasi yang akan menjadi torehan sejarah pergantian kekuasaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Oleh karenanya pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu kiranya mengakomodir usulan/masukan dari seluruh segmen masyarakat khususnya LSM/pegiat pemilu yang selama ini konsen dengan isu-isu kepemiluan.

Saran/masukan terkait kekurangan dalam penyelenggaraan dan pengawasan pemilu sebelumnya merupakan bagian dari mitigasi untuk mewujudkan pemilu indonesia yang tidak hanya berkualitas dari sisi prosedural namun juga secara berkualitas dari sisi demokrasi substansial.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1062 seconds (0.1#10.140)